Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

IPAL

KALAU kita lewat Jln. Moch. Toha Bandung, pemandangan yang sering terlihat adalah, jalan di sekitar kawasan industri, terutama dari pertigaan Jln. Mengger dengan Jln. Palasari, kerap terlihat rusak. Padahal perbaikan jalan tersebut belum lama ini baru selesai dilaksanakan, namun kembali rusak.

Rusaknya ruas jalan tersebut, karena hampir setiap hari, sekalipun tidak ada hujan, air dari selokan di kiri kanan jalan tiba-tiba meluap. Bahkan kalau malam hari, tidak sedikit pabrik yang berada di kawasan tersebut, membuang air limbahnya yang masih panas ke selokan, sehingga kerap terlihat kepulan uap berbarengan dengan melubernya air di selokan.

Padahal di kawasan ini sudah dibangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadu yang berada di Cisirung. Namun karena belum digarap secara optimal, sejumlah pabrik tetap saja membuang limbahnya ke selokan atau sungai yang berada di kawasan itu. Ironisnya, tidak pernah satu industri pun yang diseret ke pengadilan karena telah membuang limbah cairnya ke sungai. Maka sungai atau selokan yang ada di sini sebenarnya bisa dijadikan "tujuan wisata", karena airnya kerap berubah warna.

IPAL Terpadu hakikatnya sangat diperlukan untuk daerah-daerah kawasan industri. Namun masalahnya, pembuatan IPAL Terpadu sendiri ternyata belum bisa mengintegrasikan sistem instalasinya, agar semua pabrik yang ada di kawasan industri itu bisa menyalurkan limbahnya ke sana, untuk kemudian dinetralisasi sebelum akhirnya di buang ke sungai.

Gagasan tersebut pernah juga dilontarkan untuk kawasan industri Rancaekek. Namun hingga sekarang, rencana ini tetap menggantung dan industri-industri yang berada di Rancaekek, mengolah limbah cairnya sendiri-sendiri. Bahkan ada yang tak dilengkapi IPAL sehingga kerap "ngadodoho" datangnya hujan. Begitu hujan datang, limbah cair pabrik pun dengan leluasa digelontorkan ke selokan atau sungai.

Wakil Bupati Kab. Bandung, H. Yadi Srimulyadi pernah melontarkan gagasan untuk melengkapi semua kawasan industri dengan fasilitas memadai. Menurutnya, di kawasan industri, para pengusaha tidak perlu lagi memikirkan IPAL, semua idealnya disediakan pemerintah. Sehingga begitu investor menginvestasikan dananya, sudah tidak perlu lagi memikirkan perizinan, kelengkapan sarana, listrik, kebutuhan air, dan lain-lain.

Tentu kita berharap juga saat masyaraat Desa Cangkorah, Giriasih, Laksana Mekar, dan Batujajar Timur, Kec. Batujajar, Kab. Bandung Barat berencana membangun IPAL Terpadu, seyogianya benar-benar terintegrasi dengan semua pabrik yang ada di sana. Sehingga pengangkutan limbah cair tidak perlu secara manual menggunakan mobil tangki, melainkan melalui instalasi yang terhubung dengan semua pabrik di kawasan itu.

Kehadiran industri bagaimanapun akan mendorong penguatan ekonomi masyarakat, sehingga kehadirannya benar-benar harus dibuat nyaman. Jangan sampai kesannya pemerintah seolah-olah menarik-narik investor, setelah mereka datang malah dijadikan objek untuk memperkaya diri. Akhirnya, kerusakan lingkungan pun tak dapat dicegah. (Sabtu, 12 Desember 2009) **

Kredit Usaha Rakyat

AGAMA mengajarkan, kalau kita ingin tambah rezeki dan panjang usia, maka kembangkanlah silaturahmi. Maka, acara yang digagas Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah (KUMKM) dan Dewan Koperasi Indonesia Wilayah (Dekopinwil) Jawa Barat, pada Rabu, 9 Desember 2009 lalu bertajuk "Mapag Menteri KUMKM", di Gedung Sentra Bisnis Usaha Kecil (Senbik), Jln. Soekarno-Hatta Bandung, terasa sekali maknanya.

Pada silaturahmi pertamanya di Kota Bandung, Menteri KUMKM yang baru, Syarifuddin Hasan menjanjikan adanya pengalokasian dana khusus untuk kredit usaha rakyat (KUR) mulai tahun 2010 sebesar Rp 20 triliun. Selain itu, ia berusaha memangkas 2% tingkat suku bunga yang semula 16% menjadi 14%, menambah bank pelaksana yang semula 6 bank menjadi 15 bank, dan yang lebih penting, menyederhanakan persyaratan kredit.

KUR dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya krisis keuangan global yang terjadi bagi pelaku UKM. Maka dari itu pemerintah melalui berbagai kementerian bersatu membuat program KUR tersebut. Namun semangat perbankan dalam menyalurkan program KUR berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah. Pihak perbankan masih menganggap feasibility dan bankable sebagai penilaian dalam menyalurkan KUR.

Pada tahun lalu, kalau boleh dikatakan, penyaluran KUR terkesan mengalami kemunduran. KUR yang tersalurkan pada pelaku UMKM hanya Rp 2,4 triliun. Itu artinya dalam satu bulan KUR hanya tersalur Rp 300 miliar hingga Rp 350 miliar. Padahal hingga 31 Desember 2008, realisasi KUR yang sudah disalurkan sebesar Rp 12,4561 triliun untuk 1.656.544 debitur. Atau rata-rata kredit per debitur Rp 7,52 juta. Dari total KUR yang tersalurkan, BRI menyalurkan Rp 9,03 triliun atau sekitar 72,5%.

Berdasarkan data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, sejak diluncurkan pada November 2007, nilai KUR yang disalurkan kepada UMKM dan koperasi telah mencapai Rp 16,256 triliun.

Lambatnya penyaluran KUR ini, seringkali karena alasan meningkatnya kredit bermasalah (NPL) oleh bank pelaksana. Padahal NPL sampai 10% pun, bank-bank pelaksana tersebut masih aman karena nilai kredit yang disalurkan tidak melebihi jaminan yang sudah ditempatkan pemerintah.

Faktanya dari NPL yang terjadi pada tahun 2008 di sebuah bank pemerintah terhadap sejumlah 82.572 debitur KUR, ternyata hanya 1.615 yang berkategori kredit macet milik Bank Perkreditan Rakyat (0,1%), koperasi 1,5% serta UKM 0,13%. Sisanya, sejumlah 38.331 debitur memiliki utang kartu kredit, 38.247 utang individu (kredit pribadi, kredit konsumen, kredit karyawan, kredit profesional, dll.), dan 3.855 utang perusahaan.

Untuk itu, kita harapkan, makin besarnya alokasi KUR ini benar-benar bisa dimanfaatkan kalangan KUMKM di Jawa Barat. Tentunya kita juga harus benar-benar ikut mengawasi, jangan-jangan karena sosialisasi terhadap KUMKM kurang, "jatah" kredit ini lagi-lagi dicaplok pengusaha besar yang berubah wujud menjadi beberapa UKM. (Jumat, 11 Desember 2009)**

Perang Bubat

RENCANA pembuatan film Perang Bubat tampaknya tidak akan mulus, melihat penolakan yang dilakukan beberapa budayawan Sunda dan anggota DPRD Jabar. Padahal sejak awal dimunculkan rencana itu, pembuatan film tersebut justru diharapkan bisa lebih meluruskan atau mengungkap fakta sejarah yang mendekati kebenaran, yang lebih menyatukan pemikiran urang Sunda dengan Jawa.

Tentu pembuat film tidak akan gegabah membuat film tersebut dengan membangkitkan luka lama saat --menurut catatan sejarah-- Mahapatih Gajah Mada memperdaya Raja Galuh dan membuat putrinya Dyah Pitaloka bunuh diri karena merasa dipermalukan. Bagaimana sebenarnya jalan sejarah yang terjadi?

Dalam cerita yang kita dapat selama ini, Perang Bubat terjadi karena adanya permainan orang-orang yang punya ambisi dan ego yang keblinger. Semestinya rombongan dari Sunda Galuh disambut tepat pada waktunya, tapi karena adanya berita menyesatkan, yang menyebutkan bahwa rombongan Sunda Galuh bakal telat tujuh hari --padahal mereka datang tepat waktu-- membuat pihak Majapahit tidak menyambut rombongan sebagaimana mestinya. Jadi timbul salah paham, rombongan dari Sunda Galuh merasa dilecehkan (padahal hanya salah pengertian dan miskomunikasi).

Cerita yang kita dapat selama ini seperti mendukung konsistensi sikap Gajah Mada yang bersumpah Palapa, untuk menjadikan daerah-daerah yang belum tunduk terhadap Majapahit sebagai wilayah kekuasaan, juga makin membuat kesalahpahaman semakin besar. Tentunya film ini tidak akan dibuat segegabah itu.

Kita tentu berharap, hadirnya film yang bisa lebih mendorong kesepahaman dan rasa kekeluargaan antara orang Sunda dengan orang Jawa ini, bisa memberikan perspektif baru dalam dunia perfilman kita yang deras dihujani film-film murahan. Terlebih film ini rencananya dianggarkan sampai Rp 5 miliar, sehingga tentu benar-benar digarap secara matang.

Dari sisi biaya, dibandingkan dengan film-film box office di luar negeri tentu tidak seberapa. Kita pun tentu masih ingat, dengan biaya sekitar Rp 200 miliar, film Titanic, sebuah karya kolosal mampu memuncaki tangga box office seluruh dunia sepanjang masa dengan pemasukan mencapai Rp 1,8 triliun dan merupakan rekor yang belum bisa ditandingi film mana pun. Atau film Aliens yang dibuat dengan biaya sekitar Rp 20 miliar.

Kita memahami kalau sebagian kalangan budayawan maupun DPRD Jabar boleh tidak setuju dengan pembuatan film ini, karena selain biaya yang dianggarkan cukup besar, juga ada kekhawatiran munculnya sentimen Sunda-Jawa. Namun kalau kita tidak ada keberanian untuk mengungkap fakta sejarah yang lebih mendalam, tentu sentimen ini akan tetap berpotensi muncul untuk generasi yang akan datang. Karena belum ada fakta baru yang bisa lebih menyatukan rasa hubungan kekeluargaan antara kedua suku itu.

Akan lebih bijaksana kalau penggarap diberi kesempatan untuk memparkan fakta sejarah, seperti apa yang akan diangkat dalam film tersebut. Siapa tahu ada nilai sejarah yang sangat berharga dari rencana tersebut, bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak-anak cucu kita. (Kamis, 10 Desember 2009)**

Korupsi

TAHUN 2003 dan 2004, Cina ditetapkan para peneliti dan para aktivis antikorupsi sebagai negara paling korup di dunia. Disusul kemudian oleh Indonesia, India, Brasil, dan Peru. Tahun 2005, Cina masih menduduki tempat teratas dan disusul India, Brasil, Peru, dan Filipina.

Atas hasil penelitian itu, ketika Konferensi Asia Afrika Amerika di Taman Mini, seorang pejabat/delegasi Cina menyatakan keheranannya kepada seorang pejabat Indonesia yang menemuinya bersama beberapa pejabat negara-negara itu.

Delegasi Cina, "Hai, Pak Pejabat, sepertinya korupsi di Indonesia hampir menyamai di negeri kami, tapi kok negara Anda bisa keluar dari lima besar. Apakah sudah ada gerakan antikorupsi besar-besaran di pemerintahan Anda?"

Delegasi India, Brasil, Peru, dan Filipina, "Iya nih, kita juga terkejut mendengar itu. Bagaimana bisa?"

Dengan senyum ramah dan nada ceria sang pejabat Indonesia menjawab, "Ooo... mudah saja, itu semua gampang diatur."

Delegasi Cina, "Caranya bagaimana?"

Pejabat Indonesia, "Caranya, siapkan uang sepantasnya dan berikan pada para peneliti itu dengan permintaan supaya negara saya diturunkan dari peringkat lima besar..."

Anekdot ini menggambarkan begitu piawainya pejabat kita dalam menjarah uang rakyat. Korupsi memang penyakit akut yang ada sejak republik ini berdiri dan stadiumnya makin tinggi. Dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis, kita baca tentang orang-orang yang mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri ketika yang lain-lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.

Pramoedya pernah menulis cerita tentang pegawai negeri yang melakukan korupsi kecil-kecilan. Pada waktu itu koruptor mulai diseret ke pengadilan. Mr. M, seorang pegawai negeri diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman karena korupsi, walaupun dilihat dengan skala sekarang korupsinya tidak berarti. Tapi Mr. M itu pada zaman Soeharto sempat diangkat jadi menteri. Di Indonesia memang tidak ada undang-undang yang melarang koruptor atau bekas koruptor diangkat menjadi menteri atau pejabat negara yang lain.

Begitu pula ketika zamannya Demokrasi Terpimpin, korupsi kian marak, tetapi yang diseret ke pengadilan hampir tidak ada, atau kalaupun ada dibebaskan atau dijatuhi hukuman ringan saja, sehingga di kalangan rakyat lahir pemeo: maling ayam dihukum tiga bulan, tapi kalau maling duit negara jutaan, bebas. Pada waktu itu hukum kian tersendat-sendat jalannya dalam menghadapi koruptor, sehingga rakyat mengartikan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menjadi kasih uang habis perkara!

Pada masa Orde Baru, korupsi makin tumbuh dan berkembang, sampai ada istilah korupsi berjemaah. Dan, ilmu itu terus dikembangkan sampai sekarang --juga oleh orang-orang yang secara politis menjatuhkannya.

Hari ini, 9 Desember 2009, ribuan orang turun ke jalan untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Mampukah membersihkan virus korupsi yang menggerogoti rasa keadilan masyarakat ? (Rabu, 09 Desember 2009)**

Remaja dan Seks

APA yang diungkapkan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr. dr. Sugiri Syarief, M.P.A. pada pembukaan grandfinal lomba rap dan Ajang Ngumpul Remaja Tingkat Nasional di Bandung, Minggu (6/12) ini tentu berdasarkan hasil survei yang akurat. Katanya, 47% remaja di Kota Bandung mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. Persentase tersebut relatif lebih kecil dibandingkan kasus yang sama di Jabotabek yang mencapai 51%, Surabaya 54%, dan Medan 52%.

Persentase ini juga memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK Pusbih) menunjukkan, hampir 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah.

Yang lebih mengenaskan, semua responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka dan adanya kebutuhan. Selain itu, ada sebagian responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak bersifat komersial.

Perasaan berdosa melakukan hubungan seks pranikah begitu memudarnya di kalangan remaja kita. Tentu ini sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh kita semua. Apakah ini karena begitu longgarnya pengawasan para orangtua dalam mengendalikan anak-anaknya yang telah remaja? Atau karena para orangtuanya juga mengalami masalah yang sama sebelum mereka menikah?

Dan yang lebih menyedihkan, wibawa para penyampai nasihat keagamaan sepertinya kalah dibandingkan informasi yang mereka dapat dari internet atau dari media audio visual lainnya. Padahal sedikitnya 600 juta situs seks dan pornografi saat ini mengintai pelajar pengguna internet. Situs-situs ini bisa diakses siapa saja yang terkoneksi internet. Para pelajar termasuk yang mungkin mengakses situs-situs ini.

Siapa yang sangat dirugikan seks pranikah ini? Ada fakta penelitian menarik. Dari sebuah hasil penelitian, disebutkan bahwa ada korelasi antara pasangan nikah yang kemudian bercerai dengan hubungan seks pranikah yang mereka lakukan. Ternyata, banyak pasangan nikah yang kemudian bercerai pernah melakukan hubungan seks pranikah!

Hubungan seks pranikah yang dilakukan oleh pasangan akan cenderung menyebabkan berkurangnya kekuatan ikatan tali cinta di antara mereka.

Dua fakta di atas tentu bukan tanpa alasan yang kuat. Karena kita lihat di Amerika Serikat, misalnya, banyak orangtua tunggal. Saya yakin, mereka, yang saat ini jadi orangtua tunggal, pada awalnya tidak berkeinginan untuk berpisah dengan pasangan yang dicintainya.

Murthadha Mutahhari mengatakan, pemisahan antara dua pihak yang saling mencintai tidak akan memperlemah ikatan tali cinta di antara mereka, tapi bahkan memperkuat.(Selasa, 08 Desember 2009)**

Geng Motor

KEEKSOTIKAN Kota Bandung yang mengundang para wisatawan datang ke sini dinodai aksi-aksi geng motor yang begitu menyeramkan. Mereka bisa beraksi tanpa pandang bulu dan menyerang secara keroyokan.

Kawanan ini bisa tiba-tiba datang dari arah belakang kendaraan kita, seperti sekelompok setan jalanan. Mereka dengan tiba-tiba bisa menyerang kendaraan yang digunakan siapa pun yang dilewatinya. Tidak hanya menimbulkan kerusakan dan korban luka, beberapa di antaranya sampai menghilangkan nyawa orang lain.

Aksi-aksi yang dilakukan kawanan ini sebenarnya bisa ditekan kalau pihak polisi bisa melakukan tindakan tegas dan tanpa pandang bulu (disinyalir, para anggota kawanan ini banyak dari keluarga aparat pemerintah dan penegak hukum). Hal ini terbukti saat Kapolda sebelumnya yang bertindak tegas, bisa melenyapkan aksi-aksi mereka. Ketika tindakan dari petugas polisi mengendur, mereka kembali berulah.

Pada Jumat (4/12) lalu, remaja yang tergabung dalam geng motor melakukan penyerangan terhadap SMK Merdeka di Jln. Pahlawan Bandung. Empat dari pelaku, langsung bisa disergap polisi dan menjalani pemeriksaan di Mapolresta Bandung Tengah.

Beruntung aksi penyerangan itu tidak sampai menimbulkan korban luka maupun korban jiwa. Pasalnya waktu penyerangan bersamaan dengan pelaksanaan salat Jumat, sehingga di SMK Merdeka tidak ada kegiatan belajar mengajar.

Para pelaku, menurut petugas, dikenai pasal pelanggaran tindak pidana pasal 406 KUHPidana tentang Perusakan dan 170 KUHPidana tentang Pengeroyokan.

Geng motor awalnya hanya kumpulan anak-anak remaja yang hobi ngebut dengan motor, baik siang maupun malam hari di Kota Bandung. Mereka melakukan balapan motor alias trek-trekan di jalan umum. Tapi kini, geng motor sudah meresahkan masyarakat, karena sepak terjangnya makin beringas. Kelompok ini pun sekarang sudah menyebar ke berbagai wilayah, meski organisasi induknya tetap berada di Kota Bandung, Jawa Barat.

Di Bandung pada tahun 1999 polisi pernah menemukan buku putih kawanan geng motor. Dokumen setebal 20 halamam itu, menurut petugas yang menemukannya, antara lain berisi sumpah di mana setiap anggota geng motor harus berani melawan polisi berpangkat komisaris ke bawah. Anggota harus berani melawan orangtuanya sendiri. Sumpah terakhir, mereka harus bernyali baja dalam melakukan kejahatan.

Di Bandung sendiri ada empat kawanan geng yang cukup terkenal. Mereka adalah Exalt to Coitus (XTC), Grab on Road (GRB), Berigadir Seven (Briges), dan Moonraker, yang pada hakikatnya memiliki ideologi sama, mencetak anggota dari kalangan siswa SMP dan SMA, menjadi remaja yang berperilaku jahat dan tak lepas dari tiga sumpah di atas. Anggota bukan saja laki-laki, tetapi banyak juga remaja putri yang senang ngumpul-ngumpul, berbaur dengan remaja putra.

Selain menggantungkan harapan pada petugas kepolisian, tentunya kebersamaan dan gotong royong warga, perlu dihidupkan lagi, karena dalam beberapa kasus, partisipasi masyarakat ternyata bisa juga membuat ciut nyali mereka. (Senin, 07 Desember 2009)**

Selamat Datang Para Haji Mabrur

KELOMPOK terbang (kloter) 1 jemaah haji asal Jawa Barat, Kamis (3/12) mulai tiba di debarkasi (tempat pemulangan) Bekasi. Keluarga dan sahabat dengan rindu menunggu kepulangan mereka setelah menunaikan ibadah penyempurna Rukun Islam.

Kehadiran kembali ribuan jemaah haji yang telah menunaikan penyempurna ibadah Rukun Islam itu, kita harapkan benar-benar bisa memelihara kehajiannya. Penyempurnaan Rukun Islam dan Rukun Iman adalah seumpama pilar sebuah bangunan yang kokoh berdiri, menyangga atap atau langit-langit. Tiang-tiang itu ibarat kokohnya hubungan dengan Allah (hablum minallah). Maka lengkapilah pilar-pilar utama tersebut dengan dinding dan langit-langit yang kokoh pula agar tampak sebagai sebuah bangunan yang indah, melalui hubungan antarsesama yang baik (hablum minannas).

Kehadiran para jemaah haji kembali ke daerahnya masing-masing kita harapkan bisa menularkan kesalehan ibadahnya. Hablum minallah mudah-mudahan telah sempurna mereka jalani dan marilah kita kembangkan amal ibadah kita dengan memperkokoh hubungan antarsesama, dengan ikhlas membantu mereka yang ada di lingkungan kita dalam berbagai aspek. Bisa dalam pengembangan aspek ekonomi, pendidikan, budaya, dan aspek-aspek lainnya.

Ladang ibadah untuk memelihara kehajian mereka sangat terbuka luas. Karena berhaji, tentu bukanlah akhir dari ibadah kepada Allah, namun merupakan titik pangkal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Sebuah awal yang baik dalam mengembangkan ibadah-ibadah lainnya, bermodalkan rasa keimanan dan keislaman yang telah tertancap kuat di hati para jemaah haji sepulangnya dari Tanah Suci. Tentu untuk mendapatkan penyempurna dalam hubungan antarmanusia menjadi ihsan.

Dewasa ini, haji mungkin hanya menjadi pendongkrak status sosial di masyarakat. Seseorang yang semula kurang terpandang mendadak dihargai dan dihormati setelah melaksanakan ibadah haji. Tidak sedikit orangyang marah jika tidak dipanggil dengan sebutan haji atau hajah. Jadi di Indonesia (tidak semuanya) haji sebatas simbol berupa tambahan gelar di depan nama dan memakai peci putih lengkap dengan serbannya, yang tidak memiliki manfaat bagi orang banyak. Bagi seorang ustaz, kiai atau tuan guru, tentunya pemakaian gelar haji ini akan meningkatkan nilai jual di mata umat.

Begitu pula di kalangan pejabat, banyak yang telah berhaji, tetapi tidak ada perubahan yang dihasilkan, misalnya berkurangnya korupsi. Yang terjadi malah sebaliknya, praktik korupsi justru menjadi-jadi.

Seharusnya ibadah haji dianggap sebagai rites de passages (ibadah peralihan) bagi setiap muslim. Haji menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam. Setelah menunaikan ibadah haji, tahap kehidupan baru dimulai. Diharapkan ada perubahan pada jemaah haji sepulang dari Tanah Suci. Karena itu, haji menjadi ungkapan roh zaman. Haji memberi warna bagi masa kapan ia dilaksanakan. Semoga menjadi haji mabrur. (Sabtu, 05 Desember 2009)**

Kembali ke Budaya

ALGREN adalah seorang bule pemabuk yang putus asa dan kehilangan makna dalam hidupnya. Namun, ia begitu terpesona oleh jiwa ksatria yang dikembangkan para Samurai di Jepang. Algren melihat perjuangan yang sangat tulus, yang hanya dapat dideskripsikan sebagai "jihad" orang Jepang. Dan, ia pun jatuh cinta kepada "jiwa" (spirit) ini. Mengingatkan dia kembali apa maknanya sebagai seorang ksatria. Tapi dia akan selalu di bawah para samurai, karena pertama dia memang gaijin (orang asing), dan kedua ini hanya terjadi dalam jangka waktu satu tahun.

Dalam film The Last Samurai itu, diceritakan bagaimana para samurai ini percaya bahwa mereka melindungi kaisar dari pengaruh buruk. Dalam kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Shogun dari dulu selalu mempunyai pengaruh lebih tinggi dari kaisar. Cuma karena kaisar adalah dewa, shogun tidak akan pernah melawan kaisar. Pada zaman Meiji, kaisar ingin mengambil alih kekuatan itu dengan menghilangkan kekuatan para shogun. Para shogun tidak suka akan hal ini dan mereka pun memberontak.

Mungkin ada shogun yang percaya bahwa sang kaisar telah kehilangan arahnya dan terkorupsi oleh dunia Barat. Di mana para shogun ini benar-benar percaya bahwa gerakan mereka itu adalah untuk melindungi kaisar.

Banyak rakyat yang tadinya tidak berasal dari kelas bangsawan menjadi punya status seperti menjadi politisi atau tentara. Orang-orang yang tadinya hanya petani atau pedagang tiba-tiba mendapat status banyak membuat orang-orang ini jadi gila kekuasaan dan banyak yang jadi korup. Tindakan semena-mena tentara terhadap anaknya Katsumoto di kota, di mana rambutnya dipotong dan pedangnya diambil, adalah salah satu contoh itu.

Dan yang menarik, di akhir cerita, Katsumoto tewas dan pedangnya diserahkan Algren kepada kaisar. Di sana terjadi dialog yang menarik. Kaisar yang sudah kebarat-baratan diingatkan untuk tetap berpegang pada budayanya.

Dari cerita itu, kita bisa mengambil hikmah, hiruk pikuk di tengah arus demokratisasi kita. Sepertinya kita akan meninggalkan budaya kita untuk menelan penuh budaya luar. Kita sepertinya sedang dalam transformasi budaya menuju budaya liberal seperti di Filipina. Banyak anak-anak kita yang tak mengenal budaya lokalnya. Bahkan kalau mereka dipaksakan untuk bicara dengan bahasa lokal, jadi pabaliut. Padahal, keluhuran budi kita sebagai bangsa Indonesia ada pada budayanya.

Maka semangat untuk kembali ke budaya lokal harus terus dikembangkan. Tentu kita berharap bukan hanya Unpad yang menyelenggarakan Olimpiade Olahraga Tradisional (Oontrad), namun semua pemerintahan kota/kabupaten terus mengadakan kegiatan-kegiatan untuk pengayaan budaya kita. Kearifan lokal harus terus dikembangkan dan mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat. Kita berharap ke depan, budaya politik kita pun kembali akan diwarnai kearifan lokal.(Jumat, 04 Desember 2009) **

Suhu Politik Jelang Pilbup

SUHU politik di Kab. Bandung mulai menghangat, sejalan dengan hitung mundur (final countdown) menuju penggantian kepala daerah. Di dewan, dua kubu, yakni Merah Putih dan Lanjutkan Karya Nurani Bangsa, bersikukuh pada pendiriannya masing-masing. Sehingga mengabaikan kepentingan masyarakat banyak, yakni pembahasan perubahan anggaran 2009 dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2010.

Suasana yang menghangat di ruang DPRD Kab. Bandung menjalar kepada pengurus parta-partai politik yang menempatkan wakilnya di dewan. Hal ini tampak dari pengunduran diri H. Toto Suharto dari Ketua DPC Partai Demokrat Kab. Bandung, digantikan oleh Ton Setiawan. Ada dugaan, pergantian Ketua DPC Partai Demokrat dalam Musyawarah Cabang Luar Biasa (Muscalub) yang berlangsung di Hotel Abang, Ciwidey, Selasa (1/12) tersebut, merupakan bagian dari strategi politik yang dimainkan H. Ahmad Saepudin dan H. Toto untuk mengurangi konflik internal dan tekanan dari luar. Karena ketua terpilih Toni adalah aktivis di FKPPI, sahabat Asep Setia (orang pertama yang diserahi jabatan Ketua DPC Partai Demokrat dari Ketua DPD Partai Demokrat saat itu, Ajeng Ratna Suminar). Menurut pengakuan Asep sendiri, karena masih sebagai PNS di Dinas Pendidikan, maka saat itu ia menyerahkan jabatan tersebut di tengah malam kepada H. Toto.

Suasana hangat di dalam gedung dewan, juga menjalar ke Partai Amanat Nasional (PAN). Sejumlah Pengurus Anak Cabang (PAC) PAN yang dipimpin Muchlis Anwar ngontrog ruang fraksi partai tersebut, Selasa (1/12). Mereka menuding, Fraksi PAN yang bergabung dengan kubu Merah Putih dianggap tidak melalui mekanisme partai, sehingga mereka menilai dukungan terhadap Merah Putih itu sebagai tindakan ilegal. Sehingga Muchlis dkk. meminta Ketua Fraksi PAN, Muhammad Matin, Thoriqoh Nashrullah Fitriyah (sekretaris fraksi), Ahmad Najib Qudratullah, Rizal Perdana Kusumah, dan Dudu Durahman (anggota fraksi), mencabut dukungannya terhadap kubu Merah Putih. ("GM" edisi Rabu, 2/12)

Konflik tampaknya akan terus berlanjut. Partai-partai yang dianggap kurang solid atau memiliki celah konflik internal akan menjadi bulan-bulanan. Sedangkan partai-partai yang konsolidasi internalnya berjalan baik, tampaknya tetap akan konsisten dengan sikapnya dan siap dengan segala risikonya.

Bila melihat skala masalah yang terjadi di dewan, tampaknya masalah akan terus berlanjut. Sehingga "ultimatum" Bupati Bandung H. Obar Sobarna yang memberi tenggat 2-3 hari ke depan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di tubuh dewan, sepertinya tidak akan membawa hasil. Draf APBD Kab. Bandung tahun 2010 terpaksa harus dibahas oleh Pemprov Jabar.

Masalah jelas akan semakin menumpuk. Mulai dari masalah permintaan guru honorer untuk diprioritaskan dalam pengangkatan sebagai PNS, penanganan korban gempa, persiapan menjelang Porda hingga masalah dana BOS provinsi. Kalau sampai batas waktu pencairan, pertengahan Desember 2009, dana BOS provinsi belum juga bisa dicairkan maka otomatis akan hangus. Tentu akan jadi bom waktu. (Kamis, 03 Desember 2009) **

Ujian Nasional

ADALAH Kristiono, warga Depok berusia 50 tahun yang merasa "terzalimi" oleh pelaksanaan ujian nasional (UN). Saat kelabu bagi keluarganya itu terjadi pada 19 Juni 2006, saat pemerintah mengumumkan hasil UN. Putrinya, Indah Kusuma Ningrum, termasuk salah satu siswa dari delapan siswa Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) 7 Depok yang tidak lulus UN.

Padahal dari mata pelajaran yang diujikan, dua mata pelajaran nilainya 8, gara-gara satu mata pelajaran ada yang nilainya 4, maka ia harus batal mengikuti ujian masuk ke Universitas Indonesia (UI). Kristiono merasa anaknya terzalimi pelaksanaan UN tersebut, karena teman-teman Indah yang nilai rata-ratanya hanya 5 bisa lulus UN. "Tidak lulus karena ada nilai 4 itu. Saat itu nilai minimal UN 4,26. Hanya terpaut 0,26. Ini tidak adil," tuturnya.

Apa yang dirasakan Indah, kemungkinan juga dirasakan teman-teman lainnya yang kandas meneruskan studi ke PTN karena tersandung UN. Pada tahun ajaran itu, secara nasional ada 167.865 siswa SMA yang tidak lulus UN.

Ia pun kemudian menyingsingkan lengan baju dan menggugat ketidakadilan itu. Diadukannya masalah tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (Tekun), dan Education Forum (EF) untuk menggugat pemerintah agar UN tidak dijadikan syarat penentu kelulusan. Saat itu, ternyata banyak juga pengaduan dari berbagai daerah, terutama Jabotabek, Medan, dan Surabaya ke LBH. Lantaran banyaknya pengaduan yang masuk, LBH sepakat mengadvokasi persoalan itu. Para wali murid berkumpul. Dukungan dari mahasiswa juga berdatangan. Demikian pula dukungan dari sejumlah artis, seperti Sophia Latjuba dan para pakar pendidikan.

Tak tanggung-tanggung, Kristiono dkk. menggugat Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (SBNP)) yang mereka anggap telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak.

Tiga tahun Kristiono dkk. berjuang, akhirnya Mahkamah Agung (MA) melarang pelaksanaan UN. Atas dikabulkannya gugatan itu, Kristiono dkk. yang tergabung dalam Tekun dan EF mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.

Di lapangan, masalahnya tidak sesederhana itu, karena persiapan untuk UN sudah jauh-jauh hari dilakukan. Terlebih banyak desakan juga agar Mendiknas Moch. Nuh mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA tersebut. Silang pendapat pun bermunculan dan membuat bingung para kepala sekolah, guru, komite sekolah serta para orangtua murid.

Kita berharap, Mendiknas bisa segera mengeluarkan putusan, jadi tidaknya UN dilaksanakan. Silang pendapat memang biasa di alam demokrasi, namun keraguan untuk mengeluarkan keputusan bisa berakibat fatal. Karena semangat belajar para siswa bisa anjlok oleh tidak jelasnya pelaksanaan UN tersebut. Tentu yang rugi adalah dunia pendidikan itu sendiri. (Rabu, 02 Desember 2009)**

Hari HIV/AIDS

SEMAKIN hari, kita harus semakin terbiasa bergaul dengan saudara kita, baik orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) maupun orang yang hidup dengan AIDS (Ohida). Jumlah ODHA di beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan penambahan yang sangat mengkhawatirkan.

Di Kota Bandung sendiri jika pada tahun 1991 hanya terdapat 1 orang penderita HIV/AIDS, maka hingga April 2009 lalu, jumlah penderita wabah tersebut mencapai 1.774 orang. Kalau kita rata-ratakan per tahun lebih 98 orang terjangkit virus tersebut, atau per bulan sebanyak 8 orang lebih terjangkit HIV/AIDS.

Dari jumlah tersebut, menurut data di Dinas Kesehatan Kota Bandung, sebanyak 31 orang pegawai negeri sipil (PNS) merupakan penderita HIV/AIDS. Jumlah tersebut mencapai 1,75% dari total penderita HIV/AIDS di Kota Bandung.

Sementara jumlah penderita HIV/AIDS menurut Komisi Penanggulangan AIDS Jabar beberapa waktu lalu mencapai 3.121 orang, 1.578 orang penderita AIDS dan 1.543 orang HIV positif.

Jumlah penderita HIV di Kota Bandung menduduki peringkat pertama di Jabar dan Jabar sendiri saat ini menduduki peringkat pertama jumlah penderita HIV/AIDS terbesar di Indonesia. Usia rentan terserang HIV mulai dari 15-29 tahun dengan jumlah pengidap mencapai 62-72%. Bahkan ditemukan juga sekitar 2,45% bayi dan anak yang sudah terinfeksi HIV/AIDS. Dari 43 kasus penderita anak, 38 di antaranya balita.

Kita tahu ini tentu sangat serius. Maka, pendirian pusat rehabilitasi penderita HIV/AIDS perlu segera direalisasikan. Karena kita memang memerlukan fasilitas yang bisa memberikan atensi, pelayanan, penelitian, dan pelatihan kepada masyarakat. Ke depan, Jabar mungkin akan menjadi rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang mengalami kondisi yang sama dalam menangani korban HIV/AIDS.

Selain itu perlu dipikirkan pula bagaimana caranya agar setiap anggota masyarakat di Jawa Barat mendapatkan akses mudah untuk melakukan tes darah, untuk mengetahui positif tidaknya terkait virus HIV, begitu juga dengan penyakit lainnya. Tes darah gratis ini bisa dilakukan di pos-pos pelayanan terpadu (posyandu) atau di sekolah-sekolah. Layanan seperti ini tentunya bisa menjadi satu paket (hemat, efektif, dan efisien) untuk mendukung program Indonesia Sehat.

Peringatan hari HIV/AIDS sedunia yang jatuh pada hari ini, 1 Desember 2009, kita berharap bisa menjadi momentum penting untuk memandang sebuah kenyataan yang ada di masyarakat. Di samping terus melakukan pencegahan merebaknya korban-korban virus tersebut, tentu ada baiknya kita juga menangani para korban dengan cara yang lebih manusiawi. Mereka adalah korban-korban transformasi budaya yang membutuhkan pertolongan kita semua.

Bagi para penderita HIV/AIDS, kita berharap tetap mempunyai semangat hidup untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat. Virus HIV bukan akhir dari segalanya, karena sebelum titik akhir itu tiba, masih tersimpan banyak kesempatan untuk maknai hidup! (Selasa, 01 Desember 2009)**

UU No. 22 Tahun 2009

SABTU (28/11) malam di tengah hiruk-pikuk pengunjung Bandung Indah Plaza (BIP), sekitar 20 petugas polisi wisata Polwiltabes Bandung menyebar 1.000 pamflet. Kali ini, polisi bukan menyebar pamflet bergambar teroris yang sedang diburu, melainkan tengah menyosialisasikan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Masyarakat pengguna kendaraan, tentu harus mengetahui isi dari UU LLAJ yang baru disahkan pada 22 Juni 2009 lalu. Hal-hal kecil yang biasanya dianggap sepele, bisa menjadi masalah serius yang bisa menguras kantong pengguna kendaraan bermotor. Sebagai contoh, mobil yang hanya tidak memiliki kotak P3K bisa dikenakan denda Rp 250.000 atau pidana 1 bulan (Pasal 278).

Sedangkan pada Pasal 293 (1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 ( lima belas) hari atau denda paling banyak Rp 100.000 (seratus ribu rupiah).

Tidak hanya itu tentu, namun banyak pasal lain yang sanksinya duit, duit, dan duit. Bayangkan, jika motor Anda tanpa spion dan berboncengan tanpa memakain helm, bisa didenda Rp 500 ribu. Pengemudi mobil yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan P3K bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyak Rp 250.000. Dan setiap pengendara yang tidak memiliki SIM terancam pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000. Sedangkan pengendara yang tidak memiliki STNK dipidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu. Bagitu pula pengendara yang melanggar rambu lalu lintas, bisa dipidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.

Sanksi hukum bagi pelanggar UU ini memang tidak main-main. Hukuman kurungan maupun denda yang dikenakan lumayan bisa membuat jera para pengendara.

Kita tentu sangat mengapresiasi UU LLAJ yang baru ini agar kenyamanan dan ketertiban berkendaraan bisa dirasakan bersama. Namun masalahnya, petugas kepolisian sendiri harus benar-benar bisa steril dari suap, sehingga UU ini bisa efektif dijalankan. Petinggi di kepolisian harus bisa bertindak tegas terhadap bawahannya yang menerima praktik suap di jalan dengan dalih apa pun, termasuk nitip sidang. Bahasa lama yang sering diungkapkan polisi yang menyalahkan masyarakat karena sering melakukan praktik suap, tentu harus ditinggalkan.

Polisi adalah orang-orang terlatih yang dididik untuk berani menegakkan hukum dengan segala konsekuensinya. Mereka yang akan mendidik masyarakat menghormati hukum. Kalau mereka sendiri melecehkan hukum, bagaimana masyarakat bisa menghormati mereka? (Senin, 30 November 2009)**

Idulkurban

SEBUAH ritual Idulkurban baru kita lewati dan marak dilakukan di mana-mana. Tentu kita harus memaknainya tidak sekadar menyembelih hewan kurban, membagikan daging-dagingnya ataupun menikmati daging hewan kurban dengan pesta pora.

Substansi kurban tentu bukan itu, melainkan keikhlasan kita mengorbankan apa yang harus dikorbankan, kesediaan mengorbankan hal yang paling dicintai atau yang terbaik yang dimiliki. Tentunya bukan berarti hanya dengan mengorbankan hewan kurban, kita sudah dikatakan berkorban. Kita tidak tahu, sudah benarkah niat seseorang ketika ikut berkorban dengan hewan kurbannya. Atau sudah bersihkah uang yang digunakan? Maka sungguh yang diinginkan Allah adalah kurban diri kita, hewan kurban hanyalah simbol dan pengganti. Seperti perintah Allah pada Ibrahim dan Ismail, yang kemudian digantikan-Nya dengan seekor domba.

Ingat, Allah hanya menerima pengorbanan yang terbaik. Dan pengorbanan yang terbaik adalah pengorbanan atas apa yang paling kita cintai. Ciri kita mencintai sesuatu, hati kita terasa berat dalam mengorbankannya. Yang paling dicintai Nabi Ibrahim AS saat itu adalah anaknya. Nah, bagi kita sendiri, apa yang paling kita cintai dan berani kita korbankan?

Apakah kita rela mengorbankan waktu kita di jalan Allah, padahal kita sibuk? Apakah kita rela mengorbankan tenaga kita di jalan Allah, padahal kita letih? Apakah kita rela mengorbankan gengsi kita di jalan Allah, padahal kita disanjung? Apakah kita rela mengorbankan uang kita di jalan Allah, padahal kita pas-pasan?

Kita tentu sangat trenyuh dengan solidaritas sosial yang demikian tumbuh dan berkembang dalam pelaksanaan Idulkurban. Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gubernur Jabar Ahmad Heryawan hingga para pengamen yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), ingin membahagiakan masyarakat miskin lainnya untuk bisa menikmati makanan yang lebih bergizi. Yang mungkin jarang juga para pengamen ini dapatkan.

Kita tentu juga sangat trenyuh dengan begitu banyaknya masyarakat yang membutuhkan daging hewan kurban. Di Masjid Raya Jawa Barat, 3.000 kg daging sapi dan domba ludes dalam 45 menit. Di daerah-daerah lainnya, masyarakat saling berebut mendapatkan daging, meski harus berdesak-desakan, bahkan terinjak-injak.

Kondisi sosial seperti ini tentu tidak cukup disikapi hanya dengan rutinitas menyediakan hewan kurban untuk dibagikan setahun sekali. Namun bagaimana para pengambil kebijakan di pemerintahan, bisa mengikhlaskan ego dan kepentingannya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Membuat kebijakan-kebijakan yang mendobrak sistem yang selama ini sengaja memberikan ruang-ruang untuk terjadinya korupsi dan manipulsasi. Keikhlasan untuk menerima uang yang benar-benar haknya, tidak membabi buta melakukan tindakan yang didasari keinginan memperkaya diri, sehingga menjadikan masyarakat yang menjadi objek ibadah mereka terabaikan. (Sabtu, 28 November 2009) **

Menggugat Hasil Training ESQ

PERATURAN Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2009 menjadi acuan di setiap daerah. Kota Bandung baru selesai menggunakan permendagri tersebut untuk dijadikan acuan dalam perubahan anggaran yang telah ditandatangani pada pekan lalu.

Permendagri ini menjadi menarik karena memuat beberapa perubahan atas Permendagri No. 13/2006 yang dimuat dalam Permendagri No. 59/2007. Terbitnya Permendagri No. 32/2008 didasarkan pada pasal 34(2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 58/2005 yang menyatakan bahwa penyusunan rancangan kebijakan umum APBD berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Hal ini pula yang mendasari mengapa pedoman penyusunan APBD sejak tahun anggaran 2007 menggunakan permendagri, bukan lagi surat edaran (SE) Mendagri.

Namun, yang sedikit mengganggu adalah ketika sebuah permendagri kemudian mengakomodasi apa yang diatur Permendagri lainnya. Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa permendagri adalah petunjuk pelaksanaan dari permendagri yang lain. Atau, permendagri penyusunan APBD merupakan operasionalisasi dari permendagri tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.

Di Kab. Bandung, Permendagri No. 32 Tahun 2008 ini menjadi menarik lagi karena terjadinya krisis komunikasi antara bupati yang juga Ketua DPD Partai Golkar dengan DPRD. Ketika Bupati Bandung mengajukan draf perbup tentang rekonstruksi bencana gempa di Kab. Bandung, dewan menilai masih ada hal yang tidak sesuai dengan perundang-undangan.

Salah seorang pimpinan DPRD Kab. Bandung, Triska Hendriawan mengatakan, draf perbup yang diajukan Bupati Bandung, Obar Sobarna masih tidak sesuai dengan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah, terutama Permendagri No. 32 Tahun 2008.

Harusnya, menurut Triska, dalam perbup tersebut tidak semua dimasukkan seperti rekonstruksi korban gempa, biaya operasional sekolah (BOS), dan lainnya. Cukup kalau untuk relokasi korban gempa, ya relokasi gempa saja. Kalau dicampur, katanya, nantinya mirip APBD perubahan. Karena itu, ia minta Bupati Bandung, Obar Sobarna untuk merevisi dulu draf tersebut.

Apa yang terjadi dalam hubungan antara Bupati dengan DPRD Kab. Bandung menunjukkan tengah terjadi lack of communication (kegagalan komunikasi) akibat miskomunikasi yang kita khawatirkan berakhir dengan communication breakdown alias putus komunikasi.

Kecenderungan ke arah sana sangat kuat karena kedua belah pihak tetap merasa benar dengan argumentasinya masing-masing. Bupati masih menganggap alat kelengkapan dewan belum sah, sementara dewan merasa secara de facto mereka sudah sah. Selain memiliki argumen hukum, anggota dewan yang tergabung dalam kubu merah putih merasa didukung oleh mayoritas anggota dewan.

Masyarakat tentu sangat berharap mereka bisa mengurangi egonya masing-masing. Kalau tidak, masyarakat yang sekarang menderita akibat perseteruan mereka akan mempertanyakan apa manfaat dari training emotional spiritual quotient (ESQ) yang telah menghamburkan dana APBD miliaran rupiah itu. (Kamis, 26 November 2009)**

Menanti BOS Provinsi

Cileuk deui cileuk deui, kuli derep di Cinangsi
Lieuk deui lieuk deui, miharep BOS ti provinsi
Kaos nyingsat dadas pisan, babad ukur ditambalan
BOS pusat koredas pisan, waragad anggur nambahan
Sarikaya diuyahan, leahkeun saos tarasi,
Biaya wuwuh nambahan, ngandelkeun ti BOS provinsi
Dirapet-rapet ku leugeut, karaha batu kincirna,
Diarep-arep geus deukeut, iraha atuh cairna

SEBUAH short message service (SMS) nyelonong ke HP seorang teman yang tengah mengikuti Rapat Koordinasi Pembangunan Bidang (Rakorbang) Pendidikan Tingkat Provinsi Jawa Barat se-Wilayah IV Priangan 2009, di Grand Hotel Lembang, Selasa (24/11). SMS yang datang dari seorang kepala sekolah di pelosok daerah terpencil di area perkebunan di Kab. Bandung itu, menunjukkan betapa mereka sudah sangat menantikan kucuran dana biaya operasional sekolah (BOS) dari Pemprov Jabar.

BOS provinsi ini sebenarnya telah lama diprogramkan, bahkan gagasannya mulai bergulir pada November 2008 atau lima bulan pasca pelantikan pasangan Gubernur dan Wagub Jabar terpilih, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade), 13 Juni 2008. BOS provinsi disediakan untuk menunjukkan kepedulian dari pasangan kepala daerah tersebut, yang dalam kampanyenya ingin menciptakan pendidikan gratis pada satuan pendidikan dasar dan menengah pertama. Sekaligus percepatan realisasi program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun.

Dalam APBD Provinsi Jabar pada tahun 2009 ini dianggarkan Rp 631 miliar. Program ini sengaja dialokasikan untuk program yang menyerupai BOS dari pemerintah pusat itu.

Bahkan BOS provinsi kemudian ditetapkan sebagai salah satu program pendidikan unggulan Provinsi Jabar di tahun 2009. Besaran BOS provinsi untuk setiap sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa di seluruh Jabar. Sekolah dasar (SD) dan sederajat memperoleh bantuan Rp 25.000/siswa/tahun, sekolah menengah pertama (SMP) Rp 127.500/siswa/tahun, dan sekolah menengah atas (SMA) Rp 180.000/siswa/tahun.

Namun meski sudah diluncurkan, sampai sekarang masyarakat, khususnya pihak sekolah penerima dana tersebut, masih terus menunggu. Karena program tersebut sudah dicanangkan pemerintah, maka tidak sedikit yang nganjuk-ngahutang dengan pembayaran mengandalkan dana dari BOS provinsi tersebut.

Bagi pihak sekolah, sangat dilematis saat pemerintah provinsi tidak segera mengucurkan dana BOS tersebut, karena berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2008, terhitung 1 Januari 2009, sekolah tak boleh lagi memungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan dana sumbangan pendidikan (DSP). Sementara sekolah terus berjalan dan proses kegiatan belajar mengajar (KBM) tentunya tidak boleh berhenti. Tentu yang terkena dampak hebat dari lambatnya pencairan dana BOS provinsi ini adalah sekolah-sekolah swasta, yang setelah dilarangnya pungutan pada orangtua siswa, benar-benar mengandalkan dana BOS tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri, sekolah swasta harus memikirkan untuk membayar honor mengajar para gurunya dari sini juga. BOS terlambat turun berarti honor para pengajar juga terancam tak terbayar. Artinya, semangat mereka mentransfer ilmu pun menjadi berkurang. Komitmen dan konsistensi pemerintah provinsi untuk mendorong pendidikan gratis, tentu harus dibarengi implementasi yang tepat dan cepat. Kalau tidak, bisa jadi bumerang.(Rabu, 25 November 2009) **

Menanti Efek Pidato SBY

PIDATO 20 menit yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, Senin (23/11) pukul 20.00 WIB, masih menimbulkan multitafsir. Sikap Presiden SBY terhadap kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, masih belum terang benar. Namun, Presiden menginstruksikan Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban dan pembenahan di institusinya.

Pengacara Chandra M. Hamzah sendiri yang nonton bareng mengikuti pidato SBY tersebut, menyatakan masih bingung menafsirkan pidato tersebut. Bagitu juga dialog yang diselenggarakan Jakarta Lawyer Club (JLC) masih memunculkan silang pendapat mengenai kelanjutan kasus pimpinan KPK nonaktif, Bibit-Chandra.

Dalam pekan-pekan ini tentu kita masih menunggu efek dari pidato SBY tersebut. Kita masih menunggu apakah tekanan pidato SBY mengenai pembenahan di instansi Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK akan menimbulkan efek terhadap Kabareskrim Polri, Komjen Pol. Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung, Abdul Hakim Ritonga. Juga terhadap nasib kiprah Bibit dan Chandra sendiri ke depan. Dan tentu yang menarik, bagaimana nasib Anggodo Widjojo (adik buronan Anggoro) dan Wisnu Subroto (mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen) yang dalam rekaman yang disiarkan Mahkamah Konstitusi (MK), jelas-jelas telah membuat tercorengnya wajah hukum kita.

Masyarakat berharap, dalam pidato tersebut Presiden SBY bisa mengambil sikap tegas dengan mengimplementasikan rekomendasi yang diberikan Tim 8 yang diketuai pengacara senior Adnan Buyung Nasution sebagai keberpihakannya kepada rakyat. Rekomendasi yang diberikan Tim 8 dianggap mewakili pandangan masyarakat umum mengenai kasus yang menyeret Bibit-Chandra. Artinya, tinggal keberanian SBY untuk mengambil tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang dengan jelas mengotori wajah hukum kita sebagaimana terungkap dalam rekaman yang disiarkan MK.

Kalau hal ini tetap diambangkan dengan penekanan rakyat diharapkan tetap bersatu, kemungkinan tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan SBY sendiri. Karena, masyarakat melimpahkan kepercayaan sepenuhnya kepada SBY yang dianggap tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi di Indonesia. SBY seharusnya bisa memberikan sikap atau tindakan yang bisa menjawab kepercayaan yang diberikan masyarakat kepadanya itu.

Masyarakat masih menganggap KPK sebagai satu-satunya lembaga yang relatif konsisten dan punya komitmen yang baik dalam memberantas korupsi. Kalau Polri dan kejaksaan di bawah pimpinan Bambang Hendarso Danuri dan Hendarman Supandji mau menunjukkan bahwa lembaganya sudah berbenah, tentu masyarakat harus diberi waktu untuk melihat hasil pembenahan yang dilakukan Polri dan Kejaksaan Agung. Polri dan kejaksaan harus berani menunjukkan kepada masyarakat untuk mensterilkan institusi ini dari oknum-oknum yang merusak wajah kedua lembaga tersebut. Kita tentu menunggu apakah instruksi Presiden dalam pidato tadi malam berefek positif atau tidak. (Selasa, 24 November 2009)**

Banjir Lagi, Mi Instan Lagi

HUJAN lagi, banjir lagi. Banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot sepertinya tak pernah bisa teratasi, setiap kali musim hujan banjir selalu datang. Sabtu (21/11) malam, Jln. Siliwangi Baleendah, depan POM bensin, terputus akibat air yang menggenangi ruas jalan tersebut naik lebih dari setengah meter.

Camat Baleendah Rulia Hadiana, bersama Ketua LPM Baleendah Agus Rusmawan dan sekretarisnya Wawan Chandra yang tengah malam masih nongkrongin banjir mengatakan, salah satu penyebab genangan itu karena tanggul yang dibuat Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum retak. Kondisi ini yang sebelumnya dikhawatirkan warga Kp. Cieunteung, yang secara swadaya membuat tanggul sepanjang 300 meter di pinggiran sungai tersebut. Kualitas tanggul yang dibuat BBWS tersebut, menurut warga, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanggul buatan warga, terutama dalam campuran semennya.

Kalau serius, pemerintah daerah sebetulnya bisa meminimalisasi genangan air yang rutin menyerang warga di kampung tersebut. Selama ini, pemerintah hanya "ngabebenjokeun" dengan makanan atau bahan kebutuhan pokok. Masalah-masalah urgen seperti untuk mengatasi banjir itu sendiri dan kemungkinan terjadinya kekurangan air bersih, nyaris tidak pernah ada upaya yang serius. Atau lebih terkesan mengandalkan bantuan dan upaya dari pemerintah pusat.

Upaya penanggulan pinggiran sungai yang dilakukan warga sebetulnya memakan biaya yang tidak terlalu besar. Untuk membuat tanggul sepanjang 300 meter dengan lebar tanggul 60 cm dan kedalaman rata-rata 2,5 meter hanya menghabiskan anggaran sekira Rp 100 juta (minus tenaga kerja, karena warga otomatis mau kerja bakti untuk menyelamatkan daerahnya sendiri). Kalau kualitas tanggul ini mau ditingkatkan, barangkali dengan anggaran Rp 300 juta, bisa dilakukan penanggulan dengan kualitas yang lebih baik lagi. Penanggulan seperti ini terbukti bisa sedikit mengatasi banjir yang terjadi di kawasan Parunghalang, Kel. Andir.

Selain itu, yang seharusnya ada, yaitu alat untuk pengolahan air bersih, karena saat banjir, air bersih yang disediakan pemerintah melalui mobil tangki bisa jadi bahan rebutan. Pemerintah daerah, sebetulnya bisa menyediakan alat permanen untuk mengolah air Sungai Citarum menjadi air bersih yang bisa langsung diminum, seperti mobil pengolah air yang pernah disediakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kab. Bandung beberapa waktu lalu.

Yang menjadi keprihatinan kita adalah belum adanya upaya yang lebih serius dan simultan dalam mengatasi penderitaan warga tersebut. Kecuali yang menonjol hanyalah mengumpulkan bantuan-bantuan berupa sembako, seperti mi instan, air mineral, dan beras. Sementara sekolah yang terendam hingga sekarang tidak pernah bisa diatasi, rumah-rumah warga yang terendam, setiap tahun semakin tinggi saja air yang menggenanginya kalau tanpa upaya dari warga sendiri. Banjir tidaklah cukup hanya diatasi dengan sembako atau mi instan! (Senin, 23 November 2009)**

Pemadaman Bergilir

PENGUSAHA kecil seperti rental komputer, warung internet, warung telekomunikasi, fotokopi, dan rental game, sangat terpukul oleh pemadaman listrik yang dilakukan tanpa pemberitahuan. Mereka mengaku rata-rata rugi Rp 400 ribu - Rp 600 ribu/hari.

Bahkan para pengusaha tekstil yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat pun merasa usahanya sangat terguncang akibat pemadaman bergilir yang dilakukan PLN. Mereka minta PLN lebih transparan soal penyebab pemadaman bergilir. Transparansi penting, kata Ketua API Ade Sudrajat, agar para pengusaha bisa mengestimasi sampai berapa lama keadaan ini.

Sebelumnya kalangan industri mengira pemadaman bergilir yang terjadi disebabkan rusaknya trafo di Muara Karang, yang pengaruhnya hanya berimbas di seputaran Jabodetabek. Namun ternyata pemadaman bergilir sudah menyentuh kawasan Priangan, di antaranya Kab. Bandung.

Pihak industri sebenarnya sebagian sudah disurati PLN sebagai pemberitahuan akan mendapat jatah pemadaman bergilir. Maka mereka yang mendapat pemberitahuan ini menyiasati jatah pemadaman dengan meliburkan karyawan. Namun masalahnya PLN tidak tepat janji. Karyawan kadung dipulangkan, sementara jadwal mati lampu malah molor.

Kabar yang beredar, pemadaman listrik bergilir ini baru akan berakhir pada akhir Desember 2009. Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir ini. Yakni rusaknya gardu induk PLN di kawasan Jakarta Timur karena terbakar pada 29 September 2009; terbakarnya sebuah trafo yang dimiliki gardu induk tegangan Tinggi Cawang; kerusakan trafo di gardu induk listrik Gandul dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTU) Muara Karang; PLTP Gunung Salak Unit 2 yang terganggu dan lepas dari sistem; juga trafo GITET 500 KV Bandung Selatan yang terganggu.

Sedikit upaya dilakukan PLN Area Pelayanan Jaringan (APJ) Cimahi yang akan memberikan kompensasi berupa pemotongan pembayaran listrik sebesar 10% kepada pelanggan industri dan rumah tangga. Pemotongan, kata Manajer APJ Cimahi, Susiani Mutia, Kamis (19/11) akan dilakukan secara sistematis melalui proses billing pada tagihan bulan Desember.

Pemadaman dilakukan siang hari mulai pukul 08.00 - 17.00 WIB. Kemudian malam hari pukul 16.00 - 22.00 WIB. Pemadaman secara bergilir tersebut setiap harinya terjadi untuk sekitar 15.000 pelanggan dari 365.000 pelanggan di wilayah kerjanya.

Masyarakat berharap, PLN bisa lebih komunikatif terhadap pelanggannya dalam menghadapi problem yang mereka hadapi. Tentu komitmen yang baik terhadap pelanggan dan konsistensi terhadap informasi yang disebarkan, akan memperkecil kemungkinan buruk yang terjadi di masyarakat. Industri yang mengandalkan penuh energi listrik dari PLN saat dilakukan pemadaman bergilir pun tentunya lebih baik libur ketimbang beroperasi tapi semuanya nganggur.

Kita memahami problem berat yang tengah dihadapi PLN dalam pengadaan energi listrik ini, namun kerja sama yang baik dengan pelanggan pun akan mengurangi beban berat yang dihadapi perusahaan milik negara tersebut. (Sabtu, 21 November 2009)**

Dana Tak Terduga

PADA Selasa, 9 Desember 2008, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dan 22 gubernur se-Indonesia, termasuk Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, Kapolri yang diwakili Wakapolri, Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara dan Jaksa Agung yang diwakili Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Dharmono, menyerukan deklarasi untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam melaksanakan tugas.

Mereka juga berjanji untuk memerangi korupsi di wilayah kerja masing-masing untuk menjadikan rakyat Indonesia lebih sejahtera. Deklarasi yang kemudian disebut sebagai Deklarasi Antikorupsi Indonesia tersebut diprakarsai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan digelar di depan Gedung KPK, Jln. H.R. Rasuna Said Jakarta, Selasa (9/12).

Tidak lama setelah pulang dari acara tersebut, pada Senin, 22 Desember 2008, Gubernur Ahmad Heryawan menggelar acara serupa. Bahkan dalam kegiatan itu, Heryawan mengumumkan 6 kota dan kabupaten di Jabar, yakni Kab. Bandung Barat (KBB), Kota/Kabupaten Sukabumi, Kota Bandung, dan Kab. Kuningan dijadikan daerah percontohan bebas korupsi.

Belum setahun kegiatan tersebut, Pemkab Bandung Barat mendapat sorotan tajam mengenai dugaan penyalahgunaan dana tak terduga yang digunakan untuk pengelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

DPRD Kab. Bandung Barat pernah mempertanyakan rinci penggunaan dana Rp 2.088.950.000, dari pos anggaran tak terduga yang hingga selesainya pilpres belum menerima laporan tertulis mengenai pertanggungjawaban dana tak terduga tersebut. DPRD pun akhirnya memanggil sejumlah instansi terkait masalah tersebut.

Atas adanya dugaan penyalahgunaan dana tersebut, Forum Diskusi Anggaran (FDA) Kab. Bandung Barat mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa pos penggunaan dana tak terduga, yang digunakan untuk membiayai sosialisasi pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) di Kab. Bandung Barat. Turunnya BPK diharapkan bisa mempercepat penuntasan dugaan kesalahan prosedural penggunaan dana tak terduga.

Ada yang perlu dijelaskan Pemkab Bandung Barat kepada masyarakat terkait dengan pencairan dana tak terduga untuk kegiatan sosialisasi pilpres yang baru dicairkan 8 Juni 2009. Padahal pelaksanaan hari pemungutan suara jatuh pada 9 Juni 2009. Dana tak terduga yang digunakan untuk fasilitasi sosialisasi pileg dan pilpres itu tidak semuanya habis, tapi masih tersisa sekitar Rp 678 juta di kas daerah.

Pihak Polresta Cimahi yang Rabu (18/11) lalu menyelidiki dugaaan tersebut, kita harapkan bisa memperjelas ada-tidaknya penyalahgunaan dana tersebut. Kita harapkan polisi bisa bekerja dengan baik sehingga hasil temuannya bisa segera dijelaskan kepada masyarakat. Kalau ternyata dugaan tersebut tidak terbukti, kita harapkan ada penjelasan yang logis dan tidak memberikan celah munculnya kecurigaan di masyarakat. Sebaliknya kalau polisi menemukan ada fakta hukum yang memperkuat dugaan tersebut, tentu kita harapkan bisa segera diproses dan tidak pandang bulu. Terlebih masyarakat sekarang ini tengah menyoroti kinerja pihak kepolisian dan kejaksaan. (Jumat, 20 November 2009)**

Perizinan

SALAH seorang manajer sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa aneh dengan sulitnya perizinan di Kab. Bandung. Ia bermaksud memindahkan kantor layanannya ke sebuah tempat yang lebih leluasa untuk menampung 23 orang karyawannya dan lahan parkir yang cukup luas. Namun kenyataannya, izinnya terlalu rumit. Hingga tiga lebih bulan ini, ia belum bisa melakukan aktivitas apa pun untuk membangun kantor barunya itu.

Ia pantas merasa aneh karena yang direncanakannya itu hanyalah membangun ruangan kantor yang akan diisi 23 orang karyawan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Kab. Bandung. Bahkan yang lebih aneh lagi, katanya, antara general manager dan bupati sudah membicarakan masalah itu, namun pelaksanaannya tetap saja sulit. Ia tetap diminta menguruskan IPT dulu sebelum diterbitkannya IMB. Asal tahu saja, mengurus IPT di Kab. Bandung tidaklah mudah.

"Bagaimana kalau ada warga yang akan membuat usaha konfeksi dengan 25 mesin jahit misalnya, harus mengurus IPT segala dengan biaya yang tidak jelas? Padahal usaha semacam ini akan sangat membantu pemkab mengatasi pengangguran," ujarnya mencontohkan.

Yang tidak habis pikir, BUMN tersebut selama ini menyuplai uang pajak ke Dispenda Kab. Bandung kurang lebih Rp 2 miliar per bulan atau dalam setahun sekitar Rp 24 miliar.

Ironis memang kalau kita kerap mendengar bupatinya "bersemangat" menarik investor, namun tidak diimbangi dengan kemudahan pelayanan di lapangan. Birokrasi yang njelimet sudah lama dikeluhkan para pengusaha yang akan mengurus perizinan di Kab. Bandung. Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) yang seharusnya menjadi organisasi yang "ringan" dalam memberikan pelayanan, masih dirasakan "berat" oleh prosedur baku yang seharusnya bisa dipangkas. Ketidakterpaduan antara apa yang sering diungkapkan bupati dengan implementasinya di lapangan menunjukkan masih "ada masalah" yang harus diselesaikan.

Kita berharap, pemerintah kabupaten dengan DPRD setempat bisa mengeluarkan deregulasi yang bisa lebih memangkas persyaratan perizinan, yang menjadi momok bagi para investor dan pengusaha. Selain itu, semangat transparansi dan akuntabilitas tentu harus lebih tercermin dalam pembuatan perizinan di Kab. Bandung. Artinya, para pengusaha bisa diberi kemudahan prosedur dan persyaratan, tidak cukup hanya diberi keterangan atau penjelasan yang sifatnya klise.

Tentunya, bagi kawasan-kawasan yang peruntukannya jelas, sebagaimana diatur dalam perda mengenai tata ruang --baik bagi industri, perdagangan, perumahan maupun keperluan lainnya-- kenapa mesti dipersulit lagi dengan persyaratan yang tidak jelas biaya dan lama waktu pengurusannya? (Kamis, 19 November 2009)**

Kiamat Tahun 2012?

Gunung-gunung yang Kukuh Terpancang
Hari itu Akan Diterbangkan
Gedung-gedung yang Tinggi Menjulang
Hari itu Akan Ditumbangkan

Hari itu Hari Kiamat
Hari yang Menghancurkan Jagat
Hari itu Hari Kiamat
Hari yang Menghancurkan Umat
............................

Lagu "Kiamat" Rhoma Irama

DALAM buku Apocalypse 2012 (Lawrence E.Joseph: 2007), penulis berdarah Lebanon yang menjabat sebagai Ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Corporation di New Mexico ini memaparkan dengan sangat jelas dan juga ilmiah tentang kemungkinan terjadinya bencana alam di tahun tersebut. Bencana itu antara lain: siklus aktivitas matahari yang memuncak di tahun 2012 yang menyebabkan panas yang luar biasa di bumi, terlebih atmosfer kita sudah mengalami penipisan dan bolong di beberapa bagian, sehingga selain memanaskan bumi dengan radikal, juga melelehkan es di kutub dan juga menimbulkan badai serta topan yang dahsyat.

Medan magnet bumi yang berfungsi sebagai pertahanan utama bumi terhadap radiasi sinar matahari mulai retak, bahkan ada yang sampai sebesar Kota California di sana-sini. Pergeseran kutub juga tengah berlangsung.

Tata surya kita tengah memasuki medan awan energi antarbintang. Awan itu mengaktifkan dan merusak keseimbangan matahari serta atmosfer planet-planet. Para ahli geofisika Rusia berpendapat bahwa ketika bumi akan memasuki awan energi tersebut di tahun 2012 hingga 2020, akan menimbulkan bencana besar yang belum pernah ada sebelumnya.

Menariknya, ramalan bangsa Maya (juga suku Hopi, Mesir Kuno, dan beberapa suku kuno lainnya) di dalam kalendernya dengan detail mengungkapkan bahwa tahun 2012 merupakan akhir sekaligus awal zaman baru. Bagaikan kelahiran seorang anak manusia, maka kelahiran zaman baru ini akan dipenuhi dengan darah. Suku Maya merupakan salah satu suku kuno di dunia ini yang dikenal sebagai suku yang sangat detail memperhatikan dan menghitung bintang-bintang dan benda langit lainnya. Kitab kuno dari Cina, I Ching juga menyatakan akan terjadi bencana besar di tahun 2012. Maka film akhir zaman 2012 pun menjadi box office.

Kiamat, tentu tidak bisa dipastikan kapan waktunya. Seperti diungkapkan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, K.H. Hafidz Utsman, umat Islam jangan mempercayai kabar yang menyebutkan kiamat akan terjadi pada 2012. Selain itu, film berjudul 2012 yang diputar serempak di berbagai bioskop, merupakan hasil rekayasa manusia.

Menurut Hafidz, terjadinya kiamat tidak bisa diprediksi baik melalui ramalan atau secara ilmiah. Sebab, tidak ada yang dapat mengetahui kapan datangnya hari akhir tersebut.

Ilmu kita tidak akan pernah sampai untuk meramalkan kapan kepastian terjadinya kiamat, karena hal itu menjadi rahasia Allah SWT. (Rabu, 18 November 2009)**

Deadlock Penetapan UMK

APA yang diperjuangkan kalangan serikat buruh/pekerja dalam isu upah, sesungguhnya perjuangan ekonomis. Sebuah fase awal untuk dilanjutkan pada fase berikutnya, yaitu perjuangan politik. Sejak reformasi digulirkan, posisi serikat buruh independen yang konsisten dalam perjuangan buruh, masih merupakan serikat buruh minoritas karena sebagian besar masih terkooptasi dalam serikat buruh tinggalan Orde Baru.

Dalam konteks ini, Labour Market Flexibility (LMF) akan menjadi alat penindas baru yang tidak kalah kejam dibanding otoritarian Orde Baru. Karena itu, perjuangan buruh melawan upah murah harus diletakkan sebagai bagian dari serangkaian upaya yang terus-menerus dalam membangun kemandirian dan independensi organisasi buruh, memperluas serta memperkuat aliansi dan front-front perjuangan secara luas. Sehingga akan mendorong laju kesadaran berorganisasi dan berjuang bagi kaum buruh Indonesia secara luas.

Kita telah mengalami kondisi di mana pemerintah benar-benar mengontrol langsung dinamika buruh, termasuk penentuan upah, baik pada skala luas (nasional, provinsi, dan kota) hingga pada skala yang kecil (di tingkat pabrik).

Melalui seperangkat aturan pengupahan, Orde Baru mengendalikan penentuan upah yang mengarah pada prisip liberalisasi upah: no work no pay (tidak bekerja maka tidak dibayar), sentralisasi lembaga pengupahan, dan intervensi negara terhadap penentuan dan pelaksanaan upah.

Peran pemerintah yang begitu dominan memberi peluang sepenuhnya kepada pemerintah dalam menentukan orientasi pengupahan. Penegasan orientasi Orde Baru dalam pengupahan tampak pada PP No. 8/1981, yaitu prinsip liberalisasi upah, yang artinya: upah dibayar ketika buruh bekerja, dan menghilangkan prinsip upah untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh secara manusiawi.

Dampak itu masih terasa hingga sekarang, padahal regulasi pengupahan yang katanya "lebih baik" terus digulirkan, namun nyatanya kesejahteraan buruh nyaris tak beranjak.

Maka kalau setiap menjelang penetapan UMK baru terjadi gejolak di kalangan buruh harus benar-benar dicermati pemerintah daerah. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, meski Gubernur telah memberikan tenggat waktu penyerahan UMK 60 hari sebelum diberlakukannya UMK 2010, yakni Senin, 16 November 2009, namun hingga Senin malam baru 13 kota/kabupaten yang sudah menyerahkan UMK ke Disnaker Jabar. Yakni Kota Bandung, Kab. Cianjur, Kota Bogor, Kab. Bogor, Kab. Majalengka, Kota Cirebon, Kab. Indramayu, Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang, dan Kota Sukabumi.

Sementara itu, di empat daerah pembahasan UMK deadlock, karena hingga saat ini belum ditemukan titik terang angka yang diajukan pihak buruh dengan pengusaha. Keempat daerah itu adalah Kab. Sumedang, Kota Cimahi, Kab. Bandung, dan Kab. Bandung Barat (KBB). Sedangkan UMK sembilan daerah lagi masih dibahas dewan pengupahan (DP) bersangkutan.

Kalau kondisi ini tidak dicermati benar, tentu akan sangat berpotensi mengganggu roda perekonomian di Jawa Barat. (Selasa, 17 November 2009)**

Dana Bansos

SEBAGAI langkah antisipatif, DPRD Jawa Barat akan meminta progress report atau laporan perkembangan dana bantuan sosial (bansos) yang telah digunakan kepada pemprov. Hasil laporan ini rencananya akan dijadikan landasan bagi dewan untuk menyetujui tidaknya pengucuran kembali dana bansos.

Menurut Ketua DPRD Jabar, Irfan Suryanegara kepada wartawan, Jumat (13/11), dana bansos bisa dianggarkan dan diberikan kembali, dengan syarat dana sejenis yang sebelumnya diberikan harus ada progress report-nya. Dengan demikian, dana bansos akan bisa dipertanggungjawabkan oleh masyarakat yang mengajukan.

Dana bansos memang hampir di setiap kabupaten/kota menjadi dana "bancakan" baik eksekutif maupun legislatif. Banyak kejadian di lapangan yang menunjukkan begitu rentannya dana ini disalahgunakan. Selain banyak objek yang dijadikan sasaran dana bantuan tersebut fiktif, tidak sedikit yang hanya mendompleng nama ke lembaga lain, dan setelah mendapat kucuran dana tersebut, saat akan dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ternyata semua atribut lembaga itu sudah hilang.

Atau ada juga, dana bantuan yang disalurkan memicu konflik antara yang mengajukan dengan tokoh yang merasa "dicatut" namanya untuk mendapatkan dana tersebut. Sehingga ketika dana itu akan disalurkan terjadi ketegangan karena ada pihak yang merasa dirugikan karena pencatutan nama tersebut.

Tentunya hal ini terjadi akibat lemahnya supervisi atau pengawasan dari lembaga yang paling bertanggung jawab atas penyaluran dana tersebut. Aneh memang, dana yang sedemikian besar namun tidak dialokasikan untuk biaya operasional supervisi. Sehingga wajar kalau hal itu diabaikan karena siapa yang mau nyuksruk ke pelosok-pelosok desa terpencil, yang naik ojeknya sekali jalan bisa sampai Rp 25 ribu, namun tidak diganti oleh pemerintah. Apa tidak lebih baik dari dana yang dianggarkan untuk bansos, beberapa persen di antaranya (dengan nilai yang cukup layak) untuk biaya operasional supervisi. Sehingga, kalau supervisinya berjalan, maka bisa memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran tersebut.

Dana bansos kita harapkan bisa ditempatkan di posisi yang lebih proporsional dan ditangani secara profesional agar dampak dari penyaluran dana tersebut terasa oleh masyarakat. Seperti di sebagian tempat yang mendapatkan dana bansos dan digunakan secara efektif, maka masyarakat benar-benar merasakan bentuk dari perhatian pemerintah melalui program tersebut.

Bagi-bagi dana bansos dalam ajang politik kepentingan menjelang pemilu atau pilkada tentu harus sebisa mungkin dihindarkan karena akan sarat potensi konflik kepentingan. Dana tersebut harus bisa steril dari kepentingan politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga tidak ada istilah dalam penyampaian dana tersebut, "Bantuan ini dari Gubernur", tanpa melibatkan nama Wakil Gubernur. Atau, "Bantuan ini dari Bupati/Wali Kota"--tanpa melibatkan nama wakil bupati atau wakil wali kota. Padahal, bantuan ini dari pemerintah yang anggarannya dari rakyat, juga untuk kepentingan rakyat. Kalau bahasanya sudah benar dan sistemnya dibenahi juga, insya Allah, dana tersebut akan efektif dan efisien serta memberikan manfaat bagi masyarakat banyak.(Senin, 16 November 2009) **

Sosialisasi Filariasis

HARAPAN masyarakat Kab. Bandung untuk terhindar dari penyakit kaki gajah (filariasis) tidak semuanya sesuai dengan harapan. Dalam kegiatan imunisasi massal yang diselenggarakan pada Rabu (11/11) itu, puluhan orang bergelimpangan akibat efek samping dari tiga butir pil berwarna hijau dan dua buah kaplet. Bahkan hingga Kamis (12/11), jumlah korban meninggal akibat mengonsumsi obat pencegah filariasis itu sebanyak 8 orang.

Wajar kalau kemudian wakil rakyat dari Komisi D DPRD Kab. Bandung, Arifin Sobari menilai kejadian tersebut karena sosialisasinya yang belum maksimal. Menurutnya, petugas kesehatan dalam sosialisasi seharusnya mengingatkan efek samping dari penggunaan obat pencegas filariasis tersebut.

Pentingnya petugas kesehatan melakukan sosialisasi yang jelas, kata Arifin, karena hal itu diatur dalam Undang-undang (UU) No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 45 ayat (1) UU tersebut menjelaskan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi akan dilakukan dokter maupun dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Sedangkan dalam ayat (2) UU tersebut dijelaskan, bahwa persetujuan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

Wajar kalau Arifin menanyakan hal tersebut, mengingat dana untuk sosialisasi pencegahan wabah filariasis cukup besar, yakni Rp 2,1 miliar.

Oleh karena itu, tentu harus ada pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut kepada masyarakat yang direpresentasikan melalui wakilnya yang ada di DPRD Kab. Bandung. Pihak Dinas Kesehatan Kab. Bandung harus bisa menjelaskan secara detail penggunaan dana tersebut karena kalau tidak bisa menimbulkan dugaan adanya penggunaan dana yang salah, sehingga target sosialisasi tidak tercapai secara tepat.

Awalnya kita berharap dengan dana sosialisasi yang demikian besar, ekses negatif dari penggunaan pil-pil tersebut dapat ditekan seminimal mungkin. Namun kenyataannya, masih banyak korban yang berjatuhan.

Misalnya banyak ibu-ibu yang melaksanakan pemberian pil-pil tersebut di Kec. Baleendah, tidak mendapat penjelasan mengenai efek samping dari penggunaan pil-pil tersebut. Kecuali menyebutkan bahwa mereka yang memiliki penyakit darah tinggi agar lebih hati-hati menggunakannya. "Namun, petugas tidak menyediakan alat tensi darah. Sehingga, bisa saja pasien yang memiliki darah tinggi ikut juga meminum pil pencegah filariasis tersebut," ujar seorang ibu di kecamatan tersebut. "Beruntung kita punya tetangga seorang bidan yang bersedia diminta bantuannya untuk melakukan tes tekanan darah warga yang akan mengonsumsi pil-pil tersebut," katanya.

Ini memang pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Efektivitas sosialisasi memang tidak bergantung pada besarnya dana yang disediakan, melainkan pada perencanaan yang tepat, melalui sarana yang tepat, dan tingkat kepahaman masyarakat dari sebuah program yang disosialisasikan.(Sabtu, 14 November 2009) **

Perang Opini

BARANGKALI baru sekarang inilah "perang opini" antara institusi penegak hukum dan yang dijadikan tersangka begitu terbuka. Masyarakat dengan mudah mengikuti institusi Polri maupun kejaksaan tengah "menelanjangi" dirinya, sehingga dengan mudah memberikan opininya masing-masing.

Masyarakat terus diberi suguhan menarik dari peristiwa nyata yang dipertontonkan Antasari, Chandra, dan Bibit dengan pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung. Setiap kali ada kejutan menarik dalam kasus yang dituduhkan kepada Antasari serta Chandra dan Bibit, seketika itu pula pihak kepolisian maupun kejaksaan memberikan alibi, bahkan dengan menunjukkan video segala.

Ada hal yang menarik dalam perang opini tersebut, betapa alat-alat pembuktian yang dijadikan fakta hukum bagi Antasari maupun Chandra dan Bibit, yang dipertunjukkan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan terkesan lemah. Misalnya ketika polisi mendakwakan adanya aliran dana dari Anggoro melalui Ari Muladi ke Chandra dan Bibit, ternyata fakta hukumnya tidak bisa diungkapkan. Sehingga Tim 8 bentukan Presiden SBY yang diketuai Adnan Buyung Nasution menganggap terjadi missing link (jaringan terputus) dari aliran dana yang diduga diterima Chandra dan Bibit.

Begitu pula fakta-fakta hukum lainnya yang diperlihatkan penegak hukum tersebut, seperti saat adanya bantahan Wiliardi Wizar atas berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik. Polri malah mempertontonkan video Antasari yang menyampaikan testimoni untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga, kesan dari komunikasi yang disampaikan Polri tersebut malah memperkuat dugaan adanya skenario besar untuk membubarkan lembaga yang menjadi saingan Polri maupun kejaksaan tersebut, yakni KPK.

Masyarakat merasakan, semakin Polri atau kejaksaan beralibi, semakin memperkuat dugaan adanya rekayasa untuk mengkriminalisasikan KPK. Hal ini kemungkinan dari perjalanan panjang kinerja kedua lembaga tersebut yang telah banyak mengecewakan masyarakat. Akumulasi kekecewaan masyarakat tersebut menjadikan sulit bagi mereka untuk mempercayai lagi institusi penegak hukum yang dipimpin Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan Hendarman Supanji itu.

Masyarakat mungkin lebih berharap, biarlah KPK tidak diusik dulu hingga Polri maupun kejaksaan benar-benar menunjukkan prestasi kerjanya dalam pemberantasan korupsi. Tunjukkan kepada masyarakat dalam satu atau dua tahun ke depan kedua institusi ini benar-benar mampu membersihkan dirinya dari pemerasan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan jual beli pasal. Masyarakat dengan sendirinya akan percaya kalau kedua institusi itu mampu memberikan hukuman berat bagi oknum-oknum yang telah merusak citra institusinya sendiri.

Kita tentunya sangat prihatin ketika mendengar sosialisasi yang disampaikan seorang kepala kejaksaan negeri yang hanya dibebani target menjerat 3 kasus korupsi per tahun. Ternyata, yang dijerat hanyalah kasus-kasus teri, di mana korbannya hanyalah kepala desa dan pengurus koperasi. Sementara kasus besar dibiarkan berlalu karena target dari tugasnya sudah tercapai. Mengecewakan memang. (Jumat, 13 November 2009)**

KHL dan UMK

PADA 1 Januari 2009 lazimnya akan diberlakukan nilai upah minimum kota/kabupaten (UMK). Salah satu dasar yang dijadikan patokan untuk menentukan besaran UMK tersebut adalah kebutuhan hidup layak (KHL). Tarik ulur penetapan besaran KHL yang dilakukan berdasarkan hasil survei pasar inilah yang kerap mewarnai awal penetapan UMK baru.

Seperti yang terjadi sekarang ini, hampir di setiap daerah terjadi gejolak dalam penetapan besaran KHL. Di Kota Cimahi, Wali Kota Itoc Tochija berharap penetapan besaran KHL Kota Cimahi Rp 1.107.304 bisa diterima seluruh elemen terkait. Besaran tersebut sebelumnya sempat dipertanyakan kalangan organisasi buruh dan pekerja, karena dianggap tidak sesuai dengan instrumen harga yang ada di pasaran. Mereka membandingkan dengan besaran KHL Kab. Bandung Barat (KBB) yang mencapai Rp 1.113.017.

Namun yang paling memprihatinkan, besaran KHL yang muncul di Kab. Bandung, yakni hanya Rp 1.053.000. Angka tersebut masih di bawah besaran KHL Kab. Sumedang yang mencapai Rp 1.071.000. Artinya, dari keempat kabupaten/kota tersebut, upah minimum pekerja di Kab. Bandung bakal menjadi paling kecil.

Wajar kalau kemudian hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kalangan pekerja atau buruh di Kab. Bandung. Ketua Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo) Kab. Bandung, Mulyana Aria Winata mencium adanya gelagat yang tidak baik dalam rencana penetapan UMK di Kab. Bandung. "Ini ada apa? Apalagi Dinas Tenaga Kerja Kab. Bandung selalu berusaha menutup-nutupi hasil survei pasar sebagai penentu nilai KHL," katanya.

Ketidakterbukaan tersebut, tentu akan menjadi bola panas bagi Bupati Bandung, Obar Sobarna saat mengumumkan besaran KHL tersebut, karena akan menjadi bulan-bulanan organisasi-organisasi pekerja yang menolak besaran KHL yang akan diumumkan bupati pada Kamis (12/11) ini.

Pantas kalau kalangan organisasi pekerja dan buruh akan mempertanyakan, bahkan mungkin melakukan demo besar-besaran untuk menekan bupati, setelah mengumumkan besaran KHL dan UMK nanti, karena mereka pun punya dasar penetuan besaran KHL. Menurut hasil survei yang dilakukan Gaspermindo Kab. Bandung, besaran KHL mencapai Rp 1,4 juta, sedangkan organisasi lainnya, yakni Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI) Kab. Bandung mendapatkan hasil survei KHL sebesar Rp 1,3 juta.

Nilai kebenaran dan kejujuran sekarang ini memang menjadi sesuatu yang sangat mahal. Kita berharap, baik pihak Disnaker maupun organisasi buruh melakukan pekerjaannya berdasarkan niat yang baik dan fakta yang sebenarnya. Bagaimanapun data yang kamuflatif akan menghasilkan sebuah keputusan yang salah bagi pemerintah karena tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kita berharap virus "Anggodo-Anggoro" di pusat tidak sampai menyebar kuat menjadi penyakit yang akut dan meracuni pejabat pemerintah. Sehingga keputusan yang diambil tetap lebih mempertimbangkan kepentingan untuk masyarakat banyak, bukan "memasang badan" untuk menjaga kepentingan pribadinya. (Kamis, 12 November 2009)**

Profesionalisme Penegak Hukum

TAK usah tentara. Polisi pun bisa mencari serigala ke hutan dan hasilnya sama. Dalam 30 menit petugas keluar dari hutan, menenteng seekor kelinci dengan memegang sepasang kupingnya, lalu penuh kebanggaan berseru, "Ini dia serigalanya!" Si kelinci sudah babak belur, bahkan mungkin sekarat.

Anekdot tersebut dulu sering kita dengar dan masyarakat tidak banyak yang protes atas tindakan oknum penegak hukum yang seperti itu. Namun setelah reformasi, ada anekdot lain yang mengatakan, di Malaysia itu para pemimpinnya pintar-pintar, sehingga rakyatnya dengan mudah dibodohi. Di Indonesia sebaliknya, setelah reformasi bergulir, rakyatnya jadi pintar, sementara pemimpinnya masih banyak yang bodoh.

Ada benarnya juga anekdot tersebut. Betapa tidak, setelah reformasi bergulir, rakyat semakin melek sehingga tidak mudah untuk mengelabui mereka. Kesalahan yang dilakukan penegak hukum yang melakukan justifikasi (pembenaran) begitu jelas di mata rakyat, sehingga gelombang protes akan deras mengalir tak terbendung.

Akibat asal dalam membuat dakwaan, tidak jarang akhirnya terjadi peradilan sesat. Peradilan sesat macam ini pernah terjadi pada Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an. Setelah mendekam di dalam bui, mereka terbukti tak bersalah. Bahkan akhirnya mereka malah bertemu si pembunuh asli.

Kita masih ingat kisah sedih dialami Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002, yang dipaksa mengaku oleh oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri. Pada tahun 2007, peradilan menjebloskan Risman L. dan Rostin karena dituduh membunuh anaknya, namun pada bulan juni 2007, anak yang diduga jadi korban tiba-tiba muncul di kampung halamannya.

Polisi juga diduga salah melakukan penangkapan terhadap Hendra alias Sinjo (20), terdakwa pembunuh pegawai bea cukai, I Putu Ogik Suwarsana di Gang Masjid, Kiaracondong, 21 Oktober 2007 lalu. Ada juga Ii Darkoni (48), warga Kp. Cibeton, Desa Sukamahi, Kec. Sukaratu, Tasikmalaya, yang dijadikan tersangka pembunuhan tetangganya, Iyah Haniah (40) pada Juli 2007. Ia divonis 4,7 tahun penjara oleh PN Tasikmalaya, namun kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).

Polisi, jaksa, dan hakim merupakan tiga pilar sistem peradilan pidana terpadu. Polisi melakukan penyidikan, kejaksaan (dalam hal ini penuntut umum) menyusun dakwaan dan penuntutan. Kemudian hakim menguji dan memutus perkara di persidangan.

Sepekan ini profesionalisme Polri dan aparat hukum lainnya yang terlibat dalam menyelesaian perkara hukum, semakin ramai dibahas berbagai media massa. Selain soal korupsi, juga soal salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya jadi perbincangan para elite, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat. Ada kerisauan juga harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya agar bisa lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena peradilan sesat tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat. (Rabu, 11 November 2009)**

Merenungkan Kembali Jiwa Kepahlawanan

Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya;
hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu,
tetapi dibalas dengan buah.

Abu Bakar Sidiq

PAHLAWAN, kata Rasulullah, bukanlah orang yang berani meletakkan pedangnya ke pundak lawan, melainkan orang yang sanggup menguasai dirinya di kala ia marah.

Rasa marah tampaknya sekarang menjadi hal yang sangat mudah tersulut di bumi pertiwi. Orang begitu mudah marah, sehingga muncul saling curiga, saling fitnah, dan perpecahan di mana-mana.

Kita semua seperti telah melupakan apa-apa yang pernah dipesankan para pahlawan yang telah bersusah payah melindungi negeri ini. Pahlawan Nasional, Nyi Ageng Serang misalnya, mengingatkan kita:

"Untuk keamanan dan kesentausaan jiwa, kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan terperosok hidupnya, dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup, karena Tuhan akan selalu menuntun dan melimpahkan anugerah yang tidak ternilai harganya" (disampaikan saat mendengarkan keluhan para pengikut/rakyat, akibat perlakuan kaum penjajah).

Sedangkan pesan Jenderal Sudirman: "Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan" (disampaikan dalam keadaan sakit pada jam-jam terakhir sebelum jatuhnya Yogyakarta).

Ketika kita merayakan Hari Pahlawan untuk memperingati perjuangan pendiri bangsa dalam mempertahankan keberadaan Indonesia, pesan yang mereka sampaikan seperti terngiang kembali. Kita yang diberi nikmat kemerdekaan ternyata tidak mensyukurinya. Kita malah saling membenci, saling curiga, saling memusuhi, dan yang lebih memprihatinkan saling menyakiti.

Sungguh aneh, orang-orang yang dicurigai melakukan aksi kejahatan dan teror terhadap sesama warga kemudian dilindungi. Bahkan, akses bagi aparat keamanan untuk mengungkap kebenaran, menjelaskan duduknya perkara, kemudian justru seperti ditutup.

Di sini kita tentunya mengharapkan keterbukaan semua pihak untuk tidak membenarkan aksi kekerasan. Sejauh mungkin kita harus menghindarkannya karena itu hanya melukai kita sendiri sebagai sebuah bangsa.

Kita berharap, dalam semangat Hari Pahlawan ini, bisa lebih mendengarkan suara hati. Benarkah apa yang kita lakukan untuk kepentingan orang banyak. Untuk memenuhi harapan keadilan bagi masyarakat banyak. Ataukah, apa yang kita lakukan sebetulnya mirip dengan apa yang dilakukan para pengkhianat bangsa yang seolah-olah berbuat untuk kepentingan orang banyak, namun sebenarnya untuk kepentingan sendiri, dengan mengorbankan dan melukai jiwa masyarakat. (Selasa, 10 November 2009)**

Kekuatan Media Massa

HAMPIR sepekan, Indonesia "dibius" kasus seputar perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Puncaknya ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman pembicaraan orang-orang yang diduga terlibat dalam upaya kriminalisasi KPK.

Kasus "cicak" (KPK) melawan "buaya" (Polri) memang menarik. Apalagi informasi perkembangan kasus yang melibatkan petinggi KPK dan petinggi Polri tersebut, dapat diperoleh dengan sangat mudah. Dalam hitungan menit, masyarakat bisa memperoleh informasi tersebut. Tak heran jika masyarakat begitu hafal kronologi kasus yang membawa Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka. Hampir setiap waktu mereka membaca, melihat, dan mendengar perkembangan kasus tersebut.

Begitu banyak informasi yang berseliweran di media massa. Begitu banyak narasumber dari beragam profesi yang memberikan komentar. Bagi sebagian orang, keadaan ini membingungkan, karena masing-masing narasumber memberikan komentar yang menurutnya paling benar. Belum lagi klarifikasi yang disampaikan oleh mereka yang terkait dalam kasus tersebut, seperti Susno Duadji, Anggodo Widjojo, Ari Muladi, Eddy Sumarsono, Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, dan terakhir Antasari Azhar, yang baru dimintai keterangan oleh Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (Tim 8). Mereka pun mengatakan bahwa pengakuan mereka paling benar.

Menyikapi kasus tersebut masyarakat terbelah, sebagian memberikan dukungan kepada Bibit dan Chandra, sebagian lagi kepada Polri. Terlepas dari sikap masyarakat, kasus cicak vs buaya ini menjadi besar, tidak lepas dari peranan media. Begitu media memberitakan ada kejanggalan dalam penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka oleh polisi, kasus ini menyita perhatian publik. Apalagi selanjutnya diberitakan, sangkaan kepada Bibit dan Chandra berubah-ubah.

Masyarakat selanjutnya dibombardir dengan komentar-komentar narasumber yang cenderung "memanaskan" situasi. Apalagi komentar-komentar narasumber di media televisi yang disiarkan secara langsung, ditelan mentah-mentah oleh pemirsa.

Kasus cicak vs buaya merupakan bukti kekuatan media massa dalam membentuk opini masyarakat. Walaupun media tidak bermaksud mengarahkan opini masyarakat, namun tayangan-tayangan langsung serta komentar-komentar narasumber mampu menggiring pendapat, persepsi, dan dukungan masyarakat. Tak heran jika kemudian, sikap masyarakat condong pada pihak tertentu.

Kekuatan yang dimilikinya, tidak harus membuat media massa merasa jumawa. Merasa bisa mengatur ke arah mana opini masyarakat digiring. Apalagi menggunakan kekuatannya untuk kepentingan segelintir orang. Mudah-mudahan, dalam kasus cicak vs buaya, media massa sudah tepat menggunakan kekuatannya untuk kepentingan masyarakat. Lebih besar lagi, untuk kepentingan bangsa dan negara.(Senin, 09 November 2009)**

Susno Duadji

DALAM pandangan jutaan mata yang menonton televisi, Kamis (5/11) malam, mantan Kapolda Jabar, Komjen Pol. Susno Duadji menitikkan air mata. Pria yang baru dilantik pada 11 Oktober 2008 untuk menduduki kursi "Trunojoyo 3" alias Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Markas Besar Kepolisian RI itu menunjukkan sisi kemanusiaannya. Polisi juga tetap manusia.

Drama menangisnya Susno ini terjadi saat Mabes Polri yang diwakili Kapolri dan jajarannya, termasuk Susno, sedang mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/11) malam hingga Jumat (6/11) dini hari. Susno paling menjadi pusat perhatian media.

Hampir semua anggota dewan mempertanyakan dugaan penyuapan Rp 10 miliar yang disangkakan kepadanya sesuai dengan rekaman yang diduga berisi upaya kriminalisasi KPK. Bahkan, perwakilan dari Fraksi PKS meminta kepada Susno untuk bersumpah jika benar-benar tidak menerima suap. "Sebagai seorang muslim, lillahi taala, saya tidak pernah mendapatkan Rp 10 M dari siapa pun terkait dengan kasus Bank Century," sumpah Susno sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.

Di akhir sambutan, Susno pun tak mampu membendung air matanya. Di balik matanya yang sipit, butiran-butiran air mata serta matanya yang terlihat memerah tertangkap kamera televisi yang menyiarkannya secara live.

Entahlah apa yang dirasakan pria kelahiran Pagaralam, Sumatra Selatan, 1 Juli 1954 ini. Namun, ini seperti sebuah antiklimaks atas keraguan sebagian orang saat ia dipercaya menjabat korps barunya itu. Kala itu, Indonesia Police Watch menilai Susno tak cukup mumpuni memimpin korps reserse se-Indonesia. Ia dianggap tak kaya pengalaman di bidang reserse.

Dalam pandangan Kapolri sendiri, Susno mendapat acungan jempol karena dianggap sebagai orang yang konsisten dan tegas dalam pemberantasan kejahatan, khususnya korupsi. Masih terngiang dalam ingatan kita saat awal tahun 2008, Susno mengumpulkan seluruh perwira di satuan lalu lintas mulai tingkat polres hingga polda. Para perwira satlantas itu datang ke Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian.

Pertemuan itu baru dimulai pukul 16.00 WIB. Dalam rapat itu, Susno hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit. Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya galak. Isi perintah itu harus tidak ada lagi pungli di satlantas, baik di lapangan (tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya). "Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah ingin dilayani," tutur suami dari Ny. Herawati itu. Susno memberi waktu 7 hari bagi anggotanya untuk berbenah, menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan!".

Apa yang dikatakannya seperti sebuah pepatah, mulutmu adalah harimaumu. Susno sepertinya dilahap oleh pernyataan yang pernah diucapkannya sendiri, copot dari jabatannya sebagai kabareskrim karena tekanan opini publik yang mencurigai ia menerima uang. Maka, hati-hatilah berucap.(Sabtu, 07 November 2009) **

Dana Rekonstruksi

DI sebuah tikungan jalan di Desa Cibeureum, Kec. Kertasari, Kab. Bandung, ada bangunan SD tampak porak-poranda dan dibiarkan seperti sebuah monumen. Di seberang bangunan tersebut, sebuah rumah tak kalah rusaknya. Di sana-sini bangunan rumah tersebut diganjal kayu. Pintu depan rumah itu sulit dibuka, sehingga setiap tamu yang datang harus melalui pintu samping yang sama susah dibukanya. Itulah rumah kepala sekolah SD tersebut.

Bencana gempa sudah lebih satu bulan terjadi, namun upaya-upaya konkret dari pemerintah belum bisa dirasakan masyarakat. Pemerintah sepertinya tidak bisa menjadi pelindung masyarakatnya yang menderita, terlebih menghadapi musim hujan. Kondisi tersebut bila dibiarkan terus akan berujung pada merebaknya penyakit yang akan menyerang warga korban gempa. Hal yang sama dirasakan korban gempa lainnya di Pangalengan, Cimaung, Tasikmalaya, Cianjur, dan beberapa daerah lainnya

Janji yang diberikan pemerintah untuk rekonstruksi rumah-rumah korban gempa hingga sekarang belum juga cair. Sebagian masyarakat terpaksa meminjam ke sana kemari untuk melindungi anggota keluarganya bila musim hujan tiba. Beberapa bangunan tampak sudah direhab meski belum sepenuhnya.

Besaran dana bantuan untuk memperbaiki (rekonstruksi) rumah korban gempa yang mengalami kerusakan di Jabar, dipastikan tidak akan mencukupi. Dari dana bantuan pemerintah pusat sebesar Rp 250 miliar, yang dianggarkan untuk rekonstruksi bangunan hanya Rp 98 miliar.

Besaran dana itu hanya cukup untuk memperbaiki rumah yang rusak berat sebanyak 2.687 unit dari total 43.627 unit, dan rusak ringan 5.796 unit dari total 94.105 unit. Anggaran untuk membangun rumah rusak berat dan sedang tersebut jelas masih sangat kurang. Namun, sesuai prosedur dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari anggaran Rp 250 miliar yang akan dikucurkan pada tahap pertama ini, Rp 98 miliar digunakan untuk pembangunan rumah, Rp 128 miliar untuk pengungsi, dan Rp 22 miliar untuk pendampingan (operasional, red). Demikian dikatakan Sekretaris Satkorlak Jabar, Ujuwalprana Sigit, Rabu (4/11).

Anggaran Rp 128 miliar yang akan digunakan untuk pengungsi adalah untuk pemberian beras 2 kg/kepala keluarga (KK)/hari, lauk-pauk Rp 15.000/jiwa, dan untuk family kits (sabun, detergen, dll.) Rp 20.000/bulan. Jatah untuk pengungsi ini akan diberikan selama dua bulan, November-Desember 2009. Estimasi 1 KK adalah 5 jiwa.

Anggaran rehab rumah rusak berat dan sedang ditangani dari APBD provinsi dan APBN. Sedangkan rumah rusak ringan anggarannya dari APBD kota/kabupaten. Anggaran provinsi Rp 250 miliar sudah berada di rekening kota/kabupaten penerima bantuan, tinggal menunggu proses pencairan.

Mengingat dana yang cair tersebut masih jauh di bawah kebutuhan, kita berharap penggunaannya bisa efektif dan efisien. Kita berharap masyarakat juga ikut mengawasi penyaluran dan penggunaan dana tersebut. Tentu kita tidak ingin dana yang tidak mencukupi tersebut disunat di sana-sini, sehingga masyarakat korban gempa semakin menderita. (Jumat, 06 November 2009) **

Anggodo

BOLEH jadi, nama Anggodo Widjojo, adik buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anggoro Widjojo sedang "naik daun". Pengusaha yang menjadi tokoh sentral dalam rekaman dugaan rekayasa kasus KPK itu sampai bisa memberikan kesan di masyarakat, polisi tidak bisa berbuat banyak kepadanya.

Dalam rekaman yang disiarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) itu, dialek suroboyoan sering muncul. Maklum saja, sang tokoh kunci, Anggodo Widjojo serta kakaknya, Anggoro Widjojo yang masih buron adalah arek Suroboyo asli yang berkarier dan menjadi pengusaha sukses di Kota Pahlawan itu.

Menurut salah satu situs di internet, di kalangan pengusaha Surabaya, nama Anggodo dan Anggoro Widjojo tidak terlalu dikenal. Namun jika disebutkan nama asli Tionghoanya, yakni Ang Tju Nek (Anggodo) dan Ang Tju Hong (Anggoro), hampir semua pengusaha senior mengenal keduanya. Bahkan mereka mengetahui dengan citra tertentu kepada duo adik kakak itu.

Di mata para pengusaha papan atas Surabaya, Ang Tju Nek dan Ang Tju Hong adalah pengusaha yang banyak berkecimpung di bisnis ilegal. Bahkan seorang pengusaha yang cukup dekat dengan keduanya sejak kecil mengatakan, mereka dikenal bengal sejak kecil dan remaja.

Jika di kalangan teman remajanya Anggodo dikenal sebagai anak muda yang suka main pukul, penampilan Anggoro kebalikannya. Pria yang terakhir menjadi bos PT Masaro Radiokom, perusahaan rekanan sebuah departemen dalam proyek sistem komunikasi terpadu serta Motorola, perusahaan IT terkemuka Amerika itu, dikenal sebagai pemuda yang cerdas dan tangkas.

Bakat bisnis Anggodo dan Anggoro menurun dari ayah mereka, Ang Gai Hwa. Sebagai perantau dari Tionghoa, Gai Hwa di kalangan pengusaha perintis industri di Surabaya dikenal supel dan suka bergaul. Gai Hwa bekerja sebagai penjual dinamo di kawasan Kalimati (kompleks Kembang Jepun Surabaya sekarang, red) Surabaya.

Selain meneruskan bisnis sang ayah, Anggodo dan Anggoro terus mengembangkan bisnis keluarga. Sayang, karena sifat bawaan keduanya, lahan bisnis baru yang dipilih sering menyerempet hal yang melanggar hukum.

Namun yang sangat memprihatinkan, kepiawaian kakak beradik ini kalau sampai bisa menghancurkan wibawa hukum di Indonesia, karena kemampuannya menundukkan para pendekar hukum. Anggodo seperti batu karang yang kuat dan seperti punya kekuatan besar yang berada di belakangnya. Kita tidak tahu siapa itu.

Kita berharap, apa yang dipertontonkan Anggodo di televisi mampu membuka mata hati kita semua. Proses hukum atas kasus tersebut akan terus berlanjut. Namun dari apa yang dipertontonkan itu, bila Polri salah mengambil tindakan, tentu bukan hanya berefek pada institusi Polri sendiri, tapi juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang sebelumnya mengatakan, "KPK harus dipertahankan dan kalau ada upaya untuk membubarkan KPK, saya yang akan paling depan membelanya". Nah, kita tunggu!(Kamis, 05 November 2009) **

Perang terhadap Mafia Peradilan

APA yang dipertontonkan dalam pemutaran rekaman dugaan rekayasa kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berisi 9 file selama 4,5 jam dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (3/11), sesungguhnya menunjukkan betapa parahnya mafia peradilan di negeri ini. Ini tentu akan menjadi tugas paling berat yang harus dihadapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Begitu cepat "kebersihan" pemerintahan SBY terdegradasi oleh kasus dugaan kriminalisasi KPK ini. Hal ini karena ada kesan, SBY mendukung rekayasa tersebut dengan memberikan "supoprt" pada Polri. Sementara simpati masyarakat sendiri lebih banyak diberikan kepada KPK, khususnya dalam penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Mengapa? Karena KPK hingga pemerintahan pertama SBY berakhir masih dianggap sebagai garda paling depan dan paling konsisten dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di negeri ini. Support Presiden SBY terhadap KPK inilah, salah satunya yang sesungguhnya memberikan simpati massa dalam pemilu maupun pilpres.

Maka, ketika satu-satunya lembaga yang menjadi tumpuan masyarakat ini terkesan dikriminalisasikan, rakyat bangkit dan siap bersatu sepenanggungan dengan yang dialami para pimpinan KPK. Dukungan terhadap Bibit dan Chandra lewat Facebook mengalir makin deras begitu rekaman rekayasa kriminalisasi KPK dibuka di sidang MK, jumlah pendukung naik menembus angka 600 ribu.

Dukungan makin deras mengalir setelah rekaman dibuka. Kalau pagi hingga siang pertambahan jumlah dukungan agak lambat, setelah rekaman diputar agak lama, pertambahan dukungan semakin cepat. Jumlah ini tampaknya akan terus bertambah seiring makin membesarnya kasus ini.

Kita bisa melihat, masyarakat begitu antusias mengikuti jalannya kasus ini. Siaran langsung yang bisa diakses di live streaming situs MK kali ini tidak bisa dibuka. Penyebabnya, pengunjung situs membeludak hingga melebihi kapasitas bandwidth. Kapasitas bandwidth situs MK yang 8 MB CIR 1/1 itu bila di hari-hari biasa, hanya dikunjungi antara 3.000-8.000 orang, maka kemarin mencapai 17.795 orang.

Bila kita mendengar isi dari rekaman tersebut, tentu sangat menggetirkan karena memperlihatkan kepada rakyat Indonesia, betapa berkuasanya para mafia atas penegakan hukum di Indonesia. Inilah sebetulnya yang menjadi keprihatinan masyarakat dan menggantung penuh harapan untuk membasminya pada SBY.

Apa yang dipertontonkan itu, tentu juga menjadi harapan masyarakat di Jawa Barat untuk bisa membersihkan mafia peradilan yang bisa memengaruhi putusan yang dibuat. Kasus-kasus yang ditangani kejaksaan, kepolisian maupun pengadilan, kita harapkan sedikit demi sedikit bisa terbebas dari mafia yang bisa memjualbelikan isi pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Selama mafia peradilan "dipelihara" para penegak hukum, keadilan tentu akan sangat sulit ditegakkan. Maka, marilah seluruh masyarakat di Jawa Barat mendorong lembaga tersebut agar bisa bersih dari mafia peradilan. Sudah saatnya kita nyatakan perang terhadap mafia peradilan!Rabu, (04 November 2009) **