Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Merenungkan Kembali Jiwa Kepahlawanan

Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya;
hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu,
tetapi dibalas dengan buah.

Abu Bakar Sidiq

PAHLAWAN, kata Rasulullah, bukanlah orang yang berani meletakkan pedangnya ke pundak lawan, melainkan orang yang sanggup menguasai dirinya di kala ia marah.

Rasa marah tampaknya sekarang menjadi hal yang sangat mudah tersulut di bumi pertiwi. Orang begitu mudah marah, sehingga muncul saling curiga, saling fitnah, dan perpecahan di mana-mana.

Kita semua seperti telah melupakan apa-apa yang pernah dipesankan para pahlawan yang telah bersusah payah melindungi negeri ini. Pahlawan Nasional, Nyi Ageng Serang misalnya, mengingatkan kita:

"Untuk keamanan dan kesentausaan jiwa, kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan terperosok hidupnya, dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup, karena Tuhan akan selalu menuntun dan melimpahkan anugerah yang tidak ternilai harganya" (disampaikan saat mendengarkan keluhan para pengikut/rakyat, akibat perlakuan kaum penjajah).

Sedangkan pesan Jenderal Sudirman: "Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan" (disampaikan dalam keadaan sakit pada jam-jam terakhir sebelum jatuhnya Yogyakarta).

Ketika kita merayakan Hari Pahlawan untuk memperingati perjuangan pendiri bangsa dalam mempertahankan keberadaan Indonesia, pesan yang mereka sampaikan seperti terngiang kembali. Kita yang diberi nikmat kemerdekaan ternyata tidak mensyukurinya. Kita malah saling membenci, saling curiga, saling memusuhi, dan yang lebih memprihatinkan saling menyakiti.

Sungguh aneh, orang-orang yang dicurigai melakukan aksi kejahatan dan teror terhadap sesama warga kemudian dilindungi. Bahkan, akses bagi aparat keamanan untuk mengungkap kebenaran, menjelaskan duduknya perkara, kemudian justru seperti ditutup.

Di sini kita tentunya mengharapkan keterbukaan semua pihak untuk tidak membenarkan aksi kekerasan. Sejauh mungkin kita harus menghindarkannya karena itu hanya melukai kita sendiri sebagai sebuah bangsa.

Kita berharap, dalam semangat Hari Pahlawan ini, bisa lebih mendengarkan suara hati. Benarkah apa yang kita lakukan untuk kepentingan orang banyak. Untuk memenuhi harapan keadilan bagi masyarakat banyak. Ataukah, apa yang kita lakukan sebetulnya mirip dengan apa yang dilakukan para pengkhianat bangsa yang seolah-olah berbuat untuk kepentingan orang banyak, namun sebenarnya untuk kepentingan sendiri, dengan mengorbankan dan melukai jiwa masyarakat. (Selasa, 10 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar