Welcome


Kamis, 18 Februari 2010

Terpenjara Teori

TEMANKU, Syakieb Ahmad Sungkar pernah bercerita. Menurutnya,jebolan perguruan tinggi itu ada tiga kategori. Pertama, golongan yang waktu di kampus urakan dan lupa sama pelajaran. "Golongan ini, saat meninggalkan kampus dan bekerja biasanya masuk kelompok out of the box. Mereka jarang yang menduduki posisi penting di perusahaan," ujar mantan aktifis Pelajar Islam Indone¬sia (PII) Kota Bandung yang sekarang menjadi Chief Sales Officer PT. Indosat Tbk Pusat ini.

Kedua, kata temanku ini, golongan yang sedikit urakan tapi bertanggungjawab pada pendidikannya. Ia senang baca buku dan hal-hal yang baru, nonton pertunjukan musik dan film, modis serta suka bergaul. Ia bisa menyelesaikan kuliah dikampusnya meski tidak sedikit yang terlambat. "Golongan ini, saat bekerja biasanya masuk in the box, kerap masuk dalam posisi penting di perusahaan", katanya. Kenapa? "Karena faktor nakal menjadikan dia berani sedikit-sedikit nubruk aturan," tandasnya.
"Yang paling berbahaya," katanya. "Golongan yang waktu kuliah rajin, tak sehari pun waktu yang terlewatkan untuk mengikuti pelajaran, kutu buku, dan textbook". Lho? "Golongan ini yang disebut in the book!," tandasnya. "Lulus kuliah paling tepat bekerja di Lab.!".
Apa yang dikatakannya, kembali teringat ketika dalam "Pelatihan Nasional Penulisan Artikel" yang digelar HU. Galamedia, ada seorang peserta (mungkin mewakili isi hati semua peserta) yang menanyakan, bagaimana menjadi penulis yang baik?.
Tidak sedikit orang ketika akan mempelajari sesuatu yang baru terjebak pada teori yang diajarkannya. Terpenjara oleh teori. Seorang saudara yang pernah ikut kursus stir mobil begitu takut mengendarai mobilnya. Akibatnya, bukannya ia bisa mengemudikan mobil sebagaimana diharapkannya malah jadi serba takut.
Begitu pula ketika seorang anak diajarkan untuk berenang. Peneka nan teori yang berlebihan, kerap menjadikan anak malah serba salah dan tidak pernah bisa berenang. Teori berenang yang telah memenuhi otak anak tersebut tidak jarang menjadikan ia malah seperti kebingungan karena banyaknya "instruksi".
Dulu di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris di sebelah barat rel kereta api Cimindi, Cimahi, para instruktur mengajarkan orang yang pertama kali bergabung untuk bercakap pakai bahasa Inggris.
Mereka diberi bacaan, kemudian diharuskan untuk di hapal, dan saat pertama kali masuk ke tempat kursus harus mempraktekan text conversation yang telah di hapalnya. Setelah mulutnya sudah "keinggris-inggrisan", baru tata bahasa Inggris diperkenalkan. Rata-rata dalam tiga bulan, para peserta sudah bisa petangtang-petengteng ngomong Ingris dengan orang bule.
Demikian pula saat memberikan pelajaran mengemudi yang utama adalah bagaimana mendorong peserta untuk berani dan percaya diri menjalankan kendaraannya. Selama mereka tidak punya keberanian dan percaya diri, maka akan sulit melihat hasil yang diharapkan.
Untuk mendorong hal tersebut, pelatih yang piawai, akan memasang ganjal kecil dibawah pedal gas. Sehingga, sekencang apapun peserta kursus mengemudi menginjak gas, maka yang terjadi adalah seperti mereka memainkan bom-bom car. Kecepatan mereka akan terkontrol, dan mereka sangat menikmati bisa menjadi "sopir".
Untuk menjadi penulis pun demikian. Ia tidak akan pernah menjadi penulis apalagi menjadi penulis yang baik kalau jarang menulis. Jadilah seperti pengemudi yang dengan berani mencoba-coba menja¬lankan kendaraannya. Menulislah!, dan terus menulis. Kata Goena¬wan Mohamad, teori menyusul kalau kita ingin meningkatkan kuali¬tas tulisan kita. Kecuali kalau kita hanya ingin menguasai teori tentang menulis, konsern menjadi pengajar atau masuk ke dalam golongan "in the book"!. (Kamis, 18 Pebruari 2010).