Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Menanti BOS Provinsi

Cileuk deui cileuk deui, kuli derep di Cinangsi
Lieuk deui lieuk deui, miharep BOS ti provinsi
Kaos nyingsat dadas pisan, babad ukur ditambalan
BOS pusat koredas pisan, waragad anggur nambahan
Sarikaya diuyahan, leahkeun saos tarasi,
Biaya wuwuh nambahan, ngandelkeun ti BOS provinsi
Dirapet-rapet ku leugeut, karaha batu kincirna,
Diarep-arep geus deukeut, iraha atuh cairna

SEBUAH short message service (SMS) nyelonong ke HP seorang teman yang tengah mengikuti Rapat Koordinasi Pembangunan Bidang (Rakorbang) Pendidikan Tingkat Provinsi Jawa Barat se-Wilayah IV Priangan 2009, di Grand Hotel Lembang, Selasa (24/11). SMS yang datang dari seorang kepala sekolah di pelosok daerah terpencil di area perkebunan di Kab. Bandung itu, menunjukkan betapa mereka sudah sangat menantikan kucuran dana biaya operasional sekolah (BOS) dari Pemprov Jabar.

BOS provinsi ini sebenarnya telah lama diprogramkan, bahkan gagasannya mulai bergulir pada November 2008 atau lima bulan pasca pelantikan pasangan Gubernur dan Wagub Jabar terpilih, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade), 13 Juni 2008. BOS provinsi disediakan untuk menunjukkan kepedulian dari pasangan kepala daerah tersebut, yang dalam kampanyenya ingin menciptakan pendidikan gratis pada satuan pendidikan dasar dan menengah pertama. Sekaligus percepatan realisasi program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun.

Dalam APBD Provinsi Jabar pada tahun 2009 ini dianggarkan Rp 631 miliar. Program ini sengaja dialokasikan untuk program yang menyerupai BOS dari pemerintah pusat itu.

Bahkan BOS provinsi kemudian ditetapkan sebagai salah satu program pendidikan unggulan Provinsi Jabar di tahun 2009. Besaran BOS provinsi untuk setiap sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa di seluruh Jabar. Sekolah dasar (SD) dan sederajat memperoleh bantuan Rp 25.000/siswa/tahun, sekolah menengah pertama (SMP) Rp 127.500/siswa/tahun, dan sekolah menengah atas (SMA) Rp 180.000/siswa/tahun.

Namun meski sudah diluncurkan, sampai sekarang masyarakat, khususnya pihak sekolah penerima dana tersebut, masih terus menunggu. Karena program tersebut sudah dicanangkan pemerintah, maka tidak sedikit yang nganjuk-ngahutang dengan pembayaran mengandalkan dana dari BOS provinsi tersebut.

Bagi pihak sekolah, sangat dilematis saat pemerintah provinsi tidak segera mengucurkan dana BOS tersebut, karena berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2008, terhitung 1 Januari 2009, sekolah tak boleh lagi memungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan dana sumbangan pendidikan (DSP). Sementara sekolah terus berjalan dan proses kegiatan belajar mengajar (KBM) tentunya tidak boleh berhenti. Tentu yang terkena dampak hebat dari lambatnya pencairan dana BOS provinsi ini adalah sekolah-sekolah swasta, yang setelah dilarangnya pungutan pada orangtua siswa, benar-benar mengandalkan dana BOS tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri, sekolah swasta harus memikirkan untuk membayar honor mengajar para gurunya dari sini juga. BOS terlambat turun berarti honor para pengajar juga terancam tak terbayar. Artinya, semangat mereka mentransfer ilmu pun menjadi berkurang. Komitmen dan konsistensi pemerintah provinsi untuk mendorong pendidikan gratis, tentu harus dibarengi implementasi yang tepat dan cepat. Kalau tidak, bisa jadi bumerang.(Rabu, 25 November 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar