Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Deadlock Penetapan UMK

APA yang diperjuangkan kalangan serikat buruh/pekerja dalam isu upah, sesungguhnya perjuangan ekonomis. Sebuah fase awal untuk dilanjutkan pada fase berikutnya, yaitu perjuangan politik. Sejak reformasi digulirkan, posisi serikat buruh independen yang konsisten dalam perjuangan buruh, masih merupakan serikat buruh minoritas karena sebagian besar masih terkooptasi dalam serikat buruh tinggalan Orde Baru.

Dalam konteks ini, Labour Market Flexibility (LMF) akan menjadi alat penindas baru yang tidak kalah kejam dibanding otoritarian Orde Baru. Karena itu, perjuangan buruh melawan upah murah harus diletakkan sebagai bagian dari serangkaian upaya yang terus-menerus dalam membangun kemandirian dan independensi organisasi buruh, memperluas serta memperkuat aliansi dan front-front perjuangan secara luas. Sehingga akan mendorong laju kesadaran berorganisasi dan berjuang bagi kaum buruh Indonesia secara luas.

Kita telah mengalami kondisi di mana pemerintah benar-benar mengontrol langsung dinamika buruh, termasuk penentuan upah, baik pada skala luas (nasional, provinsi, dan kota) hingga pada skala yang kecil (di tingkat pabrik).

Melalui seperangkat aturan pengupahan, Orde Baru mengendalikan penentuan upah yang mengarah pada prisip liberalisasi upah: no work no pay (tidak bekerja maka tidak dibayar), sentralisasi lembaga pengupahan, dan intervensi negara terhadap penentuan dan pelaksanaan upah.

Peran pemerintah yang begitu dominan memberi peluang sepenuhnya kepada pemerintah dalam menentukan orientasi pengupahan. Penegasan orientasi Orde Baru dalam pengupahan tampak pada PP No. 8/1981, yaitu prinsip liberalisasi upah, yang artinya: upah dibayar ketika buruh bekerja, dan menghilangkan prinsip upah untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh secara manusiawi.

Dampak itu masih terasa hingga sekarang, padahal regulasi pengupahan yang katanya "lebih baik" terus digulirkan, namun nyatanya kesejahteraan buruh nyaris tak beranjak.

Maka kalau setiap menjelang penetapan UMK baru terjadi gejolak di kalangan buruh harus benar-benar dicermati pemerintah daerah. Seperti yang terjadi di Jawa Barat, meski Gubernur telah memberikan tenggat waktu penyerahan UMK 60 hari sebelum diberlakukannya UMK 2010, yakni Senin, 16 November 2009, namun hingga Senin malam baru 13 kota/kabupaten yang sudah menyerahkan UMK ke Disnaker Jabar. Yakni Kota Bandung, Kab. Cianjur, Kota Bogor, Kab. Bogor, Kab. Majalengka, Kota Cirebon, Kab. Indramayu, Kota Tasikmalaya, Kab. Tasikmalaya, Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang, dan Kota Sukabumi.

Sementara itu, di empat daerah pembahasan UMK deadlock, karena hingga saat ini belum ditemukan titik terang angka yang diajukan pihak buruh dengan pengusaha. Keempat daerah itu adalah Kab. Sumedang, Kota Cimahi, Kab. Bandung, dan Kab. Bandung Barat (KBB). Sedangkan UMK sembilan daerah lagi masih dibahas dewan pengupahan (DP) bersangkutan.

Kalau kondisi ini tidak dicermati benar, tentu akan sangat berpotensi mengganggu roda perekonomian di Jawa Barat. (Selasa, 17 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar