Welcome


Jumat, 29 Januari 2010

Tanah Arcamanik

PEMERINTAH Provinsi Jawa Barat kembali diminta menyerahkan aset tanah Arcamanik kepada Pemerintah Kabupaten Bandung. Permintaan itu dilayangkan Komisi A DPRD Kab. Bandung pada Rabu (27/1), setelah masalah tersebut menggantung begitu lama. Bahkan, menurut anggota Komisi A, Cecep Suhendar, dewan rencananya akan memanggil saksi ahli yang juga mantan Bupati Bandung, Sani Lufias dan Lili Sumantri.

Hingga kini masyarakat merasa sengketa tanah Arcamanik seluas 66,5 hektare antara Pemprov Jabar dan Pemkab Bandung belum ada pembicaraan, apalagi penyelesaian tuntas. Pemprov Jabar bersikeras tidak akan membayar kompensasi harga tanah sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) kepada Pemkab Bandung.

Alasan Pemrov Jabar pada saat itu berdasarkan data dari Biro Hukum Setda Provinsi Jabar, sengketa tanah tersebut masih tahap tawar-menawar. Melalui surat Bupati Bandung No. 593.83/2235/pemde tertanggal 12 September 2000, Pemkab Bandung meminta kompensasi tanah Arcamanik sekitar Rp 147 miliar.

Upaya lain adalah kerja sama pengelolaan lahan Arcamanik dengan melibatkan investor. Usulan lain yang juga belum disepakati, yakni tukar guling lahan Arcamanik dengan tanah milik Pemprov Jabar, antara lain yang ada di Kecamatan Ciwidey. Permasalahan ini makin rumit karena biro hukum sendiri akhirnya mengklaim bahwa tanah Arcamanik merupakan milik Pemprov Jabar.

Bahkan di lahan tersebut sudah dipampang papan kepemilikan tanah Arcamanik. Pemprov mendasarkan klaimnya pada Permendagri No. 11/2001 tentang Pengelolaan Barang Daerah, bahwa setiap lahan carik desa yang kepemilikannya dialihkan kepada pemprov, tidak bisa diganti rugi. Namun anehnya, pada saat pembahasan masalah tersebut beberapa tahun lalu, pemprov sendiri mengakui tak sanggup membayar kompensasi tanah sesuai NJOP. Kecuali dengan membayar kompensasi. Melalui kompensasi pemprov tidak harus membayarnya dengan harga tanah sesuai NJOP. Terlebih kini lahan Arcamanik itu sengaja diberdayakan Pemprov Jabar untuk lokasi kegiatan masyarakat.

Kalau sampai hal ini terjadi, tentu Pemkab Bandung seperti diperdaya Pemprov Jabar. Karena selain lahan itu semula luasnya 100,62 hektare kemudian menciut jadi 66,5 hektare, juga sebagian lahan sudah disertifikatkan Pemprov Jabar. Bahkan pada saat penyerahannya oleh Pemkab Bandung pada tahun 1991, tanah tersebut dijanjikan akan digunakan untuk stadion olahraga. Saat penyerahan, Pemprov Jabar menyepakati tanah tersebut akan diganti atau diruilslag. Makanya, Pemkab Bandung mau menyerahkannya, apalagi untuk kepentingan masyarakat.

Kita berharap masalah yang menggantung hampir sepuluh tahun itu bisa segera selesai agar tidak menjadi ganjalan hubungan antara Pemkab Bandung dan Pemprov Jabar. Dan, tentunya juga kita berharap hasil dari ruilslag atau kompensasi tanah tersebut akhirnya bisa benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Kab. Bandung. Semoga. (Jumat, 29 Januari 2010)**



Beras

HARI ini, Kamis, 28 Januari 2010, genap sudah 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Dari berbagai evaluasi di berbagai bidang masih banyak yang skeptis. Presiden SBY dinilai belum menggunakan tenaga penuh untuk mendorong kemajuan dalam aspek-aspek tersebut.

Terutama dalam bidang hukum, tidak sedikit yang meragukan keseriusan SBY setelah mencuatnya dugaan kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih setelah hasil rekaman percakapan Anggodo cs dibuka Mahkamah Konstitusi (MK) ke publik, sangat jelas mengesankan adanya makelar kasus (markus), namun Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Mabes Polri sepertinya rikuh untuk menjebloskan Anggodo ke penjara, dengan alasan bukti hukumnya tidak kuat. Padahal ini akan sangat bertentangan dengan opini publik, sehingga ada kesan Anggodo cs nyaris seperti Al Capone dalam film The Untouchable. Dan, masyarakat merindukan munculnya Eliot Ness di jajaran kepolisian yang mampu mengobrak-abrik Al Capone di Chicago.

Sementara dalam bidang ekonomi, kita melihat untuk makro ekonomi menunjukkan indikator yang makin positif dengan makin menggeliatnya pasar saham dan kecenderungan menguatnya rupiah, meski dibayang-bayangi dengan utang luar negeri yang makin tinggi. Performa tersebut diwarnai dengan masalah, khususnya dalam sebulan terakhir di mana masyarakat dihadapkan pada harga kebutuhan pokok, terutama beras yang harganya terus merangkak, hingga di beberapa daerah kenaikannya mendekati 30%. Beras tentu kebutuhan yang sangat strategis bagi masyarakat, sehingga kenaikan harga sedikitpun dampaknya sangat terasa. Pemerintah dinilai masyarakat menunggu terlalu lama untuk merespons kenaikan harga beras, mengingat ketetapan operasi pasar baru akan diambil jika kenaikan harga beras sebesar 25 persen dan berlangsung selama tiga pekan.

Untuk urusan ini, tidak haram tentunya kalau kita belajar dari Mao Zedong. Alkisah, suatu hari terjadi perselisihan paham antara pemimpin Cina itu dengan pemimpin Uni Sovyet. Perselisihan begitu panas sampai keluar statement dari pemimpin Sovyet, "Sampai rakyat Cina harus berbagi 1 celana dalam untuk 2 orang pun, Cina tetap tidak akan mampu membayar utangnya".

Ucapan yang sangat menyinggung perasaan rakyat Cina itu pun disampaikan Mao kepada rakyatnya dengan cara menyiarkannya lewat siaran radio. Penghinaan dari pemimpin Sovyet itu secara terus-menerus dari pagi hingga malam disiarkan ke seluruh negeri sambil mengajak segenap rakyat Cina untuk bangkit dan melawan penghinaan tersebut dengan cara berkorban.

Ajakan Mao kepada rakyatnya adalah menyisihkan satu butir beras, untuk setiap anggota keluarga, setiap kali mereka akan memasak. Jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang maka cukup sisihkan 3 butir beras. Beras yang disisihkan dari 1 miliar penduduk Cina tersebut tidak dikorupsi, tentunya akan menghasilkan 1 miliar butir beras setiap hari. Hasilnya dikumpulkan ke pemerintah untuk dijual. Uangnya digunakan untuk membayar utang kepada negara pemberi utang yang telah menghina mereka. Akhirnya Cina berhasil melunasi utang mereka ke Sovyet dalam waktu yang sangat cepat. Ini tentu hanyalah sebuah kisah, namun ada baiknya untuk kita renungkan pada 100 hari pemerintahan SBY-Boediono ini. (Kamis, 28 Januari 2010)**



Rabu, 27 Januari 2010

Buruh

HUBUNGAN buruh dan majikan kadangkala ada dalam situasi yang pelik, terutama bila perusahaan menganggap buruh hanyalah instrumen produksi. Hal ini kerap menyebabkan keberadaan buruh kurang dihargai, sehingga upah, hak cuti, hak atas jaminan keselamatan, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang diabaikan.

Barangkali itulah yang membuat ratusan buruh di Kota Cimahi dan Kab. Bandung, Senin (25/1), mengadukan nasibnya ke wakil mereka yang ada di gedung DPRD. Mereka umumnya meminta bantuan dewan untuk memfasilitasi pertemuan dengan pengusaha dalam menyelesaikan masalah perburuhan yang berlarut-larut.

Pemerintah sebetulnya sudah mengatur hubungan kerja antara buruh dan pengusaha melalui lembaga bipartit. Buruh biasanya diwakili unit organisasi buruh yang ada di perusahaan dan perusahaan diwakili manajer SDM. Namun, tidak jarang perundingan bipartit ini tidak mencapai titik temu manakala buruh tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan.

Ironisnya, ketika masalah ini diadukan ke instansi yang seharusnya membela buruh, malah buruhnya sendiri diperdaya dengan menjustifikasi kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan. Alasan umumnya untuk menjaga kelangsungan usaha dan kelangsungan pekerjaan para buruh. Jarang sekali instansi yang seharusnya membela buruh ini bersikap tegas meminta perusahaan untuk mengajukan penangguhan hak-hak buruh, termasuk upah minimum sebagaimana yang ditetapkan pemerintah.

"Perlindungan" yang diberikan kepada perusahaan tidak jarang menimbulkan sikap kesewenang-wenangan dari pengusaha. Seperti yang dialami buruh Cimahi yang mendatangi gedung DPRD setempat, Senin lalu, karena pengusaha dengan seenaknya mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat. Bahkan di Kab. Bandung, sebagaimana dikeluhkan buruh yang demo pada hari yang sama, sebuah perusahaan dengan seenaknya membayar upah buruh Rp 180.000/minggu atau hanya Rp 720.000/bulan. Itu masih mendingan karena ada lagi perusahaan garmen di Jalan Raya Laswi, Jelekong, yang buruhnya ratusan, hanya membayar upah Rp 100.000/minggu atau hanya Rp 400.000/bulan untuk pekerja pemula. Padahal jam kerja mereka melampaui batas jam kerja yang diatur UU Ketenagakerjaan.

Bahkan di sebuah industri sepatu besar bermerek internasional di Jln. Gedebage Bandung, buruh mereka "dijatah" uang kesehatan hanya sekitar Rp 8.500. Kalau mereka berobat ke balai pengobatan yang ada di pabrik untuk obat dan pemeriksaan medis hanya diberi jatah sebesar itu.

Semua ini tentu karena pengawasan yang dilakukan instansi yang berwenang, terutama Disnakertrans lemah. Kita yakin, kalau petugas di Disnakertrans, khususnya yang membidangi pengawasan bisa bekerja profesional dan proporsional, tentu akan menjadi amunisi yang sangat berarti bagi perubahan kesejahteraan buruh kita. (Rabu, 27 Januari 2010)**



Bonek

SUPORTER dalam sebuah pertandingan olahraga, khususnya sepak bola, memang bisa menjadi bius yang memacu adrenalin para pemain. Maka, kehadiran suporter menjadi bagian penting bagi sebuah kesebelasan untuk memenangkan pertandingan.

Namun, fenomena yang kita lihat saat menjelang pertandingan Persib vs Persebaya di Stadion Si Jalak Harupat Soreang, Kab. Bandung, membuat kita sedikit miris. Betapa tidak, suporter Persebaya yang dikenal dengan julukan bondo nekad (bonek), terutama yang menggunakan kereta api, membuat resah warga yang dilaluinya.


Di beberapa lokasi yang dilalui, bonek terlibat perang batu dengan warga. Sehingga kita khawatirkan, kedatangan mereka di Bandung akan membuat ulah serupa. Untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan itu, beberapa jam sebelum digelarnya pertandingan, pusat-pusat pertokoan di sejumlah ruas jalan di Bandung memilih menutup toko-tokonya.

Melihat sikap bonek seperti itu, ada baiknya kita renungkan betapa sebuah fanatisme menjadikan mereka rela mengorbankan segalanya untuk apa yang dibelanya. Sikap fanatik yang dogmatis kerap membuat nalar tidak bekerja. Yang ada adalah emosi untuk membela mati-matian apa yang tengah dibelanya. Tanpa melihat lagi benar atau salah, bahkan melabrak rambu-rambu hukum.

Sikap fanatik yang demikian hebatlah yang mendorong seorang bonek dengan bermodalkan uang Rp 5.000, nekat datang ke Bandung. Bahkan sebagian ada yang tidak membawa uang sama sekali, atau bermodalkan sebuah gitar. Akibatnya, mereka rawan bersentuhan dengan tindakan kriminalitas. Setidaknya gambaran demikian terlihat dari ulah para bonek yang menjarah toko, para pedagang makanan, hingga barang-barang yang ada di truk yang mereka tumpangi. Bahkan, PT Kereta Api (KA) mengalami kerugian hingga ratusan juta akibat kerusakan gerbong dan beberapa ornamen yang diambil paksa para bonek.

Sepak bola memang telah mampu menyihir fanatisme pendukungnya demikian hebat. Bahkan di Inggris, tidak sedikit suporter sepak bola yang senang menuliskan klub kesayangannya dalam baris agama di KTP-nya. Fanatisme terhadap klub sepak bola telah demikian banyak melebihi fanatisme terhadap agama.

Tentu ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa sebuah fanatisme terhadap apa pun tidak selamanya berakibat baik. Fanatisme terhadap sebuah kesebelasan yang demikian berlebihan menjadikan kita lupa bahwa ada kepentingan lain, kepentingan umum, yang kita abaikan. Ini akan menjadi potensi konflik horizontal di antara masyarakat kita.

Kita berharap fanatisme yang kita bangun tetap dalam nalar yang sehat, sehingga tidak membabi buta, dan bisa menghargai hak-hak orang lain. Kebesaran sebuah kesebelasan di samping berkat kepiawaian pemain dan manajemennya, tentu berasal dari citra yang dibangun para suporternya. Ulah para bonekmania ini kita harap menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kesebelasan kesayangan kita, Persib, untuk menjadi salah satu raksasa sepak bola di negeri ini, dengan sikap simpatik para bobotoh-nya. Semoga.(Selasa, 26 Januari 2010) **


Senin, 25 Januari 2010

Pilbup Kab. Bandung

MENJELANG pemilihan bupati (pilbup) di Kab. Bandung, masing-masing partai mulai melakukan strategi untuk mengusung kader terbaiknya. Partai Demokrat (DP) sebagai pemenang mayoritas suara, mulai hari ini, Senin, 25 Januari 2010 membuka "lowongan" untuk masyarakat yang ingin mendaftar jadi bupati atau wakil bupati. Kata salah satu anggota Tim-9 (tim yang di- SK-kan oleh DPP PD untuk menjaring kandidat bupati/wakil bupati), Endang, S.H., M.H., Jumat (22/1), PD membuka kesempatan untuk kader partai, maupun tokoh masyarakat di luar partainya.

Batas waktu pendaftaran hingga 30 Januari 2010 dan batas waktu pengembalian formulir pada 4 Pebruari 2010 di Sekretariat DPC PD, Jln. Terusan Bojongsoang K.10 GBA. Selanjutnya, Tim 9 akan melakukan fit and proper test untuk meloloskan tiga pasang cabup/cawabup yang selanjutnya direkomendarikan ke DPP PD. Sebelum April 2009, DPP PD akan mengeluarkan satu pasang cabup/cawabup hasil kajian mereka.

Di internal partai, sedikitnya sudah ada 5 nama yang bakal meramaikan bursa, yakni Toni Setiawan (Ketua DPC PD Kab. Bandung), Achmad Saepudin (Ketua F-PD DPRD Kab. Bandung), Edi Hartono (Ketua Barisan Muda Demokrat Kab. Bandung), H.R. Atori (mantan Dandim), dan salah seorang adik Ajeng Ratna Suminar yang sekarang berdinas di Departemen Keuangan (Depkeu). Kompetisi untuk lolos sebagai kandidat di PD diperkirakan bakal berlangsung ketat.

Posisinya sebagai pemenang mayoritas bagai gadis manis nan lugu yang datang ke kota, lalu dengan tiba-tiba menghadapi banyak penggemar. Ia bakal menjadi rebutan baik partai besar maupun kecil. Salah-salah mengambil sikap, PD malah tidak dapat memenangkan ajang pilbup.

Indikasi ke arah itu terlihat dari kemungkinan terjadinya koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan PD. PDIP sudah memastikan akang mengusung Ketua DPC PDIP Kab. Bandung, Yadi Srimulyadi dan yang dianggap paling pas chemistry-nya Achmad Saepudin. Sementara Partai Golkar (PG) yang sementara ini sudah mengusung Dadang M. Nasser tidak menutup kemungkinan untuk berkoalisi pula dengan partai ini dan merangkul Toni Setiawan. Menariknya, di internal Partai Golkar sendiri yang pada musda lalu sudah mengusung Hilman Sukirman sebagai ketua DPD PG Kab. Bandung dan Dadang M. Nasser sebagai satu-satunya cabup yang diusung ke-31 pimpinan kecamatan (PK) sepertinya mulai bergeser. Nama Hilman di sebut-sebut akan didorong untuk maju sebagai calon wakil bupati karena desakan dari kader-kadernya.

PKS, PAN, PBB, PKB, Hanura, dan Gerindra tampaknya masih akan menyaksikan hasil penetapan yang dilakukan partai-partai besar. Tidak menutup kemungkinan partai-partai ini akan menjadi kuda hitam yang akan mengejutkan seperti, yang terjadi pada pemilihan gubernur lalu. Dadang Rusdiana (mantan anggota DPRD Kab. Bandung), Djamu Kertabudi (Kepala Disdukcasip), Tatang Rustandar (mantan Kepala Bappeda), disebut-sebut akan dirangkul sebagian partai-partai ini, selain tentunya beberapa nama populis lainnya.

Nama-nama lain masih akan bermunculan, karena perjalanan pilbup pada 9 Agustus 2010 masih panjang. Kita hanya berharap, siapa pun yang jadi nanti adalah orang yang benar-benar bisa membuat masyarakat dan kondisi Kab. Bandung lebih baik dari sebelumnya.(Senin, 25 Januari 2010) **


Minggu, 24 Januari 2010

Kebanjiran Produk Cina

INDONESIA memang sedang musim kebanjiran. Di beberapa daerah banjir cukup merepotkan warga, sehingga memaksa warga korban banjir untuk berhenti beraktivitas.

Namun banjir yang terjadi mulai awal Januari 2010 ini bakal lebih dahsyat lagi dampaknya. Banjir produk Cina ini, kalau tidak segera diantisipasi dengan upaya penanggulangannya yang tepat akan merontokkan banyak pilar kehidupan masyarakat kita. Banjir produk Cina dengan harga murah, tidak hanya akan menjadi candu yang bakal menjadikan ketergantungan bangsa kita terhadap produk mereka, juga akan melumpuhkan sektor industri kita, terutama yang bergerak dalam skala kecil dan menengah.

Sebagai negara yang terkemuka dalam bidang ekonomi, sejak penandatanganan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) beberapa tahun lalu, Cina tentu sudah ancang-ancang untuk "menggempur" pasar Indonesia yang paling potensial di kawasan ASEAN. Mereka telah menggelontorkan subsidi dan proteksi terhadap tenaga kerjanya untuk menjadikan produk yang mereka lempar ke Indonesia benar-benar memiliki daya saing yang tinggi. Sehingga untuk produk-produk sejenis, jelas akan mampu mengalahkan produk buatan Indonesia.

Kalau sudah demikian, kampanye "Aku Cinta Produk Indonesia" yang pernah dilakukan pemerintah tidak akan berarti apa-apa karena bagi konsumen sekarang bukan lagi militansi terhadap produk kita, tapi bagaimana mendapatkan barang dengan harga yang murah dengan kualitas yang baik.

Ironisnya, pemerintah kita sendiri yang sering berusaha untuk pasang badan menghadapi gempuran produk Cina ini belum memiliki strategi yang jelas. Tingkat suku bunga perbankan kita masih paling tinggi di kawasan Asean, pungutan yang tidak jelas masih berlangsung, proses pengurusan perizinan masih tidak jelas waktu dan biayanya. Sehingga para pengusaha kecil dan menengah kita tidak hanya dihadapkan pada "musuh" di luar negeri, namun mereka juga harus berhadapan dengan "musuh" di dalam negeri untuk tetap survive.

Salah satunya dengan terus menekan buruh melalui outsourcing atau tenaga kontrak, pembayaran gaji yang di bawah ketentuan upah minimum, penghapusan upah lembur, dan instrumen lainnya yang bisa menekan biaya produksi dari sektor tenaga kerja.

Untuk itu kita harapkan, pemerintah segera melakukan langkah-langkah strategis yang tidak bersifat reaktif dalam memperkuat posisi pengusaha kecil dan menengahnya. Salah satunya, kita bisa belajar dari cara Jepang dalam melawan produk otomotif Cina yang membanjiri Indonesia di awal tahun 2000. Meski produk Cina dijual dengan harga rendah, namun promosi tentang kualitas produk yang berhasil dilakukan produk-produk otomotif Jepang, mampu kembali meraih captive market yang sudah terbangun sebelumnya. Sehingga, produk otomotif Jepang yang sempat goyah, akhirnya kembali kuat sebagai leader market di Indonesia.

Kita berharap, pemerintah juga memiliki strategi yang bisa memperkuat daya saing produk kita di dalam negeri, sambil mencari celah besar untuk ekspor produk kita ke Cina. (Sabtu, 23 Januari 2010)**