Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Perizinan

SALAH seorang manajer sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa aneh dengan sulitnya perizinan di Kab. Bandung. Ia bermaksud memindahkan kantor layanannya ke sebuah tempat yang lebih leluasa untuk menampung 23 orang karyawannya dan lahan parkir yang cukup luas. Namun kenyataannya, izinnya terlalu rumit. Hingga tiga lebih bulan ini, ia belum bisa melakukan aktivitas apa pun untuk membangun kantor barunya itu.

Ia pantas merasa aneh karena yang direncanakannya itu hanyalah membangun ruangan kantor yang akan diisi 23 orang karyawan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Kab. Bandung. Bahkan yang lebih aneh lagi, katanya, antara general manager dan bupati sudah membicarakan masalah itu, namun pelaksanaannya tetap saja sulit. Ia tetap diminta menguruskan IPT dulu sebelum diterbitkannya IMB. Asal tahu saja, mengurus IPT di Kab. Bandung tidaklah mudah.

"Bagaimana kalau ada warga yang akan membuat usaha konfeksi dengan 25 mesin jahit misalnya, harus mengurus IPT segala dengan biaya yang tidak jelas? Padahal usaha semacam ini akan sangat membantu pemkab mengatasi pengangguran," ujarnya mencontohkan.

Yang tidak habis pikir, BUMN tersebut selama ini menyuplai uang pajak ke Dispenda Kab. Bandung kurang lebih Rp 2 miliar per bulan atau dalam setahun sekitar Rp 24 miliar.

Ironis memang kalau kita kerap mendengar bupatinya "bersemangat" menarik investor, namun tidak diimbangi dengan kemudahan pelayanan di lapangan. Birokrasi yang njelimet sudah lama dikeluhkan para pengusaha yang akan mengurus perizinan di Kab. Bandung. Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) yang seharusnya menjadi organisasi yang "ringan" dalam memberikan pelayanan, masih dirasakan "berat" oleh prosedur baku yang seharusnya bisa dipangkas. Ketidakterpaduan antara apa yang sering diungkapkan bupati dengan implementasinya di lapangan menunjukkan masih "ada masalah" yang harus diselesaikan.

Kita berharap, pemerintah kabupaten dengan DPRD setempat bisa mengeluarkan deregulasi yang bisa lebih memangkas persyaratan perizinan, yang menjadi momok bagi para investor dan pengusaha. Selain itu, semangat transparansi dan akuntabilitas tentu harus lebih tercermin dalam pembuatan perizinan di Kab. Bandung. Artinya, para pengusaha bisa diberi kemudahan prosedur dan persyaratan, tidak cukup hanya diberi keterangan atau penjelasan yang sifatnya klise.

Tentunya, bagi kawasan-kawasan yang peruntukannya jelas, sebagaimana diatur dalam perda mengenai tata ruang --baik bagi industri, perdagangan, perumahan maupun keperluan lainnya-- kenapa mesti dipersulit lagi dengan persyaratan yang tidak jelas biaya dan lama waktu pengurusannya? (Kamis, 19 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar