Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Korupsi

TAHUN 2003 dan 2004, Cina ditetapkan para peneliti dan para aktivis antikorupsi sebagai negara paling korup di dunia. Disusul kemudian oleh Indonesia, India, Brasil, dan Peru. Tahun 2005, Cina masih menduduki tempat teratas dan disusul India, Brasil, Peru, dan Filipina.

Atas hasil penelitian itu, ketika Konferensi Asia Afrika Amerika di Taman Mini, seorang pejabat/delegasi Cina menyatakan keheranannya kepada seorang pejabat Indonesia yang menemuinya bersama beberapa pejabat negara-negara itu.

Delegasi Cina, "Hai, Pak Pejabat, sepertinya korupsi di Indonesia hampir menyamai di negeri kami, tapi kok negara Anda bisa keluar dari lima besar. Apakah sudah ada gerakan antikorupsi besar-besaran di pemerintahan Anda?"

Delegasi India, Brasil, Peru, dan Filipina, "Iya nih, kita juga terkejut mendengar itu. Bagaimana bisa?"

Dengan senyum ramah dan nada ceria sang pejabat Indonesia menjawab, "Ooo... mudah saja, itu semua gampang diatur."

Delegasi Cina, "Caranya bagaimana?"

Pejabat Indonesia, "Caranya, siapkan uang sepantasnya dan berikan pada para peneliti itu dengan permintaan supaya negara saya diturunkan dari peringkat lima besar..."

Anekdot ini menggambarkan begitu piawainya pejabat kita dalam menjarah uang rakyat. Korupsi memang penyakit akut yang ada sejak republik ini berdiri dan stadiumnya makin tinggi. Dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis, kita baca tentang orang-orang yang mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri ketika yang lain-lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.

Pramoedya pernah menulis cerita tentang pegawai negeri yang melakukan korupsi kecil-kecilan. Pada waktu itu koruptor mulai diseret ke pengadilan. Mr. M, seorang pegawai negeri diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman karena korupsi, walaupun dilihat dengan skala sekarang korupsinya tidak berarti. Tapi Mr. M itu pada zaman Soeharto sempat diangkat jadi menteri. Di Indonesia memang tidak ada undang-undang yang melarang koruptor atau bekas koruptor diangkat menjadi menteri atau pejabat negara yang lain.

Begitu pula ketika zamannya Demokrasi Terpimpin, korupsi kian marak, tetapi yang diseret ke pengadilan hampir tidak ada, atau kalaupun ada dibebaskan atau dijatuhi hukuman ringan saja, sehingga di kalangan rakyat lahir pemeo: maling ayam dihukum tiga bulan, tapi kalau maling duit negara jutaan, bebas. Pada waktu itu hukum kian tersendat-sendat jalannya dalam menghadapi koruptor, sehingga rakyat mengartikan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menjadi kasih uang habis perkara!

Pada masa Orde Baru, korupsi makin tumbuh dan berkembang, sampai ada istilah korupsi berjemaah. Dan, ilmu itu terus dikembangkan sampai sekarang --juga oleh orang-orang yang secara politis menjatuhkannya.

Hari ini, 9 Desember 2009, ribuan orang turun ke jalan untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Mampukah membersihkan virus korupsi yang menggerogoti rasa keadilan masyarakat ? (Rabu, 09 Desember 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar