Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Profesionalisme Penegak Hukum

TAK usah tentara. Polisi pun bisa mencari serigala ke hutan dan hasilnya sama. Dalam 30 menit petugas keluar dari hutan, menenteng seekor kelinci dengan memegang sepasang kupingnya, lalu penuh kebanggaan berseru, "Ini dia serigalanya!" Si kelinci sudah babak belur, bahkan mungkin sekarat.

Anekdot tersebut dulu sering kita dengar dan masyarakat tidak banyak yang protes atas tindakan oknum penegak hukum yang seperti itu. Namun setelah reformasi, ada anekdot lain yang mengatakan, di Malaysia itu para pemimpinnya pintar-pintar, sehingga rakyatnya dengan mudah dibodohi. Di Indonesia sebaliknya, setelah reformasi bergulir, rakyatnya jadi pintar, sementara pemimpinnya masih banyak yang bodoh.

Ada benarnya juga anekdot tersebut. Betapa tidak, setelah reformasi bergulir, rakyat semakin melek sehingga tidak mudah untuk mengelabui mereka. Kesalahan yang dilakukan penegak hukum yang melakukan justifikasi (pembenaran) begitu jelas di mata rakyat, sehingga gelombang protes akan deras mengalir tak terbendung.

Akibat asal dalam membuat dakwaan, tidak jarang akhirnya terjadi peradilan sesat. Peradilan sesat macam ini pernah terjadi pada Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an. Setelah mendekam di dalam bui, mereka terbukti tak bersalah. Bahkan akhirnya mereka malah bertemu si pembunuh asli.

Kita masih ingat kisah sedih dialami Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002, yang dipaksa mengaku oleh oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri. Pada tahun 2007, peradilan menjebloskan Risman L. dan Rostin karena dituduh membunuh anaknya, namun pada bulan juni 2007, anak yang diduga jadi korban tiba-tiba muncul di kampung halamannya.

Polisi juga diduga salah melakukan penangkapan terhadap Hendra alias Sinjo (20), terdakwa pembunuh pegawai bea cukai, I Putu Ogik Suwarsana di Gang Masjid, Kiaracondong, 21 Oktober 2007 lalu. Ada juga Ii Darkoni (48), warga Kp. Cibeton, Desa Sukamahi, Kec. Sukaratu, Tasikmalaya, yang dijadikan tersangka pembunuhan tetangganya, Iyah Haniah (40) pada Juli 2007. Ia divonis 4,7 tahun penjara oleh PN Tasikmalaya, namun kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).

Polisi, jaksa, dan hakim merupakan tiga pilar sistem peradilan pidana terpadu. Polisi melakukan penyidikan, kejaksaan (dalam hal ini penuntut umum) menyusun dakwaan dan penuntutan. Kemudian hakim menguji dan memutus perkara di persidangan.

Sepekan ini profesionalisme Polri dan aparat hukum lainnya yang terlibat dalam menyelesaian perkara hukum, semakin ramai dibahas berbagai media massa. Selain soal korupsi, juga soal salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya jadi perbincangan para elite, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat. Ada kerisauan juga harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya agar bisa lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena peradilan sesat tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat. (Rabu, 11 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar