Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Ujian Nasional

ADALAH Kristiono, warga Depok berusia 50 tahun yang merasa "terzalimi" oleh pelaksanaan ujian nasional (UN). Saat kelabu bagi keluarganya itu terjadi pada 19 Juni 2006, saat pemerintah mengumumkan hasil UN. Putrinya, Indah Kusuma Ningrum, termasuk salah satu siswa dari delapan siswa Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) 7 Depok yang tidak lulus UN.

Padahal dari mata pelajaran yang diujikan, dua mata pelajaran nilainya 8, gara-gara satu mata pelajaran ada yang nilainya 4, maka ia harus batal mengikuti ujian masuk ke Universitas Indonesia (UI). Kristiono merasa anaknya terzalimi pelaksanaan UN tersebut, karena teman-teman Indah yang nilai rata-ratanya hanya 5 bisa lulus UN. "Tidak lulus karena ada nilai 4 itu. Saat itu nilai minimal UN 4,26. Hanya terpaut 0,26. Ini tidak adil," tuturnya.

Apa yang dirasakan Indah, kemungkinan juga dirasakan teman-teman lainnya yang kandas meneruskan studi ke PTN karena tersandung UN. Pada tahun ajaran itu, secara nasional ada 167.865 siswa SMA yang tidak lulus UN.

Ia pun kemudian menyingsingkan lengan baju dan menggugat ketidakadilan itu. Diadukannya masalah tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (Tekun), dan Education Forum (EF) untuk menggugat pemerintah agar UN tidak dijadikan syarat penentu kelulusan. Saat itu, ternyata banyak juga pengaduan dari berbagai daerah, terutama Jabotabek, Medan, dan Surabaya ke LBH. Lantaran banyaknya pengaduan yang masuk, LBH sepakat mengadvokasi persoalan itu. Para wali murid berkumpul. Dukungan dari mahasiswa juga berdatangan. Demikian pula dukungan dari sejumlah artis, seperti Sophia Latjuba dan para pakar pendidikan.

Tak tanggung-tanggung, Kristiono dkk. menggugat Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (SBNP)) yang mereka anggap telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak.

Tiga tahun Kristiono dkk. berjuang, akhirnya Mahkamah Agung (MA) melarang pelaksanaan UN. Atas dikabulkannya gugatan itu, Kristiono dkk. yang tergabung dalam Tekun dan EF mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.

Di lapangan, masalahnya tidak sesederhana itu, karena persiapan untuk UN sudah jauh-jauh hari dilakukan. Terlebih banyak desakan juga agar Mendiknas Moch. Nuh mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan MA tersebut. Silang pendapat pun bermunculan dan membuat bingung para kepala sekolah, guru, komite sekolah serta para orangtua murid.

Kita berharap, Mendiknas bisa segera mengeluarkan putusan, jadi tidaknya UN dilaksanakan. Silang pendapat memang biasa di alam demokrasi, namun keraguan untuk mengeluarkan keputusan bisa berakibat fatal. Karena semangat belajar para siswa bisa anjlok oleh tidak jelasnya pelaksanaan UN tersebut. Tentu yang rugi adalah dunia pendidikan itu sendiri. (Rabu, 02 Desember 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar