Welcome


Kamis, 21 Januari 2010

ATM

KEHADIRAN anjungan tunai mandiri atau ATM pada awalnya untuk memudahkan para nasabah dalam mengambil uangnya. Mereka tidak perlu lagi membawa rekening ke bank pada hari kerja. Cukup dengan satu kartu, nasabah bisa mengambil uangnya di mana pun, kapan pun, oleh siapa pun dengan mudah.

Namun belakangan, para nasabah terutama yang menyimpan dananya cukup besar, dibuat berdebar-debar. Ratusan juta uang nasabah, bahkan hingga tadi malam jumlahnya sudah mencapai miliaran rupiah, tiba-tiba bisa raib dibobol orang misterius melalui mesin ATM tersebut. Awalnya kejadian ini di Bali, namun ternyata korbannya tidak hanya di Pulau Dewata, tapi menyebar ke mana-mana. BAnk Indonesia (BI), para bankir, dan polisi sekarang dibuat sibuk untuk mencari alat yang bisa memproteksi bocornya uang para nasabah tersebut.

Kemajuan teknologi yang tujuan utamanya untuk memudahkan manusia selalu saja diiringi dengan ekses yang merugikan. Di sebuah situs internet, dengan mudah seorang pemasang iklan memasang iklan berbunyi seperti ini, "Dapat tarik tunai di ATM tanpa mengurangi saldo rekening Anda, tanpa merusak ATM, tanpa membunyikan alarm, hanya memasukkan kartu ke dalam ATM, dapat menguras uang di ATM jutaan rupiah setiap hari, cukup menggunakan kartu ATM bank Anda, bisa dipakai di semua ATM semua bank, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan pihak bank". Daftar di sini http://www.tempatuangpanas.blogspot.com. (blog ini tadi malam ketika diklik sudah tidak aktif lagi).

ATM kini menjadi cara mudah untuk mencari uang haram. Bagi mereka yang kuliah di jurusan teknologi informasi, sudah tidak aneh cara membuka password para pemilik ATM maupun kartu kredit. Hanya kekuatan morallah yang menjadikan mereka tidak sampai ikut-ikutan mengambil uang di ATM dengan cara yang haram itu.

Selain cara di atas, ada juga cara yang sangat sederhana dengan bantuan permen karet. Seorang pelaku setiap hari bisa menguras sedikitnya Rp 5 juta dari mesin ATM. Modalnya hanya dengan permen karet. Caranya, mereka menempelkan permen karet di lubang tempat keluarnya uang. Begitu si nasabah keluar dari ATM sambil kebingungan karena uangnya tidak keluar, komplotan ini masuk dan mengambil uang yang terhalang oleh permen karet. Cara ini dianggap paling mudah, namun tidak sedikit korbannya.

Untuk terhindar dari komplotan pembobol ATM ini tentu cara paling aman jangan dulu menggunakan kartu ATM. Bahkan kalau perlu segera ganti kartu atau nomor personal identity number (PIN) Anda sampai bisa dipastikan bank tempat menyimpan uang nasabah sudah terproteksi dan cukup aman.

Dan yang lebih penting, tentunya kepada para korban yang uangnya dibobol maling, pihak Bank Indonesia (BI) bisa menjamin uang mereka tetap diganti, karena kesalahan bukan pada nasabah. Hanya yang perlu lebih hati-hati, jangan sampai hal ini juga dimanfaatkan untuk berpura-pura menjadi korban komplotan pembobol ATM ini. Kita harap BI dan bank-bank yang menjadi korban pembobolan bisa memiliki cara untuk memverifikasi rekening para korban yang benar-benar menjadi sasaran kawanan ini.(Jumat, 22 Januari 2010) **



Soroja

KALAU saja apa yang dikemukakan Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.I.P., seusai salat Jumat pada 2 November 2007 lalu bisa benar-benar diwujudkan, mungkin sekarang warga Kab. Bandung khususnya sudah bisa menikmati akses jalan Tol Soroja.

Di pintu keluar masjid, kepada wartawan Bupati mengatakan, dirinya telah bertemu sejumlah pejabat terkait serta anggota DPR RI di Jakarta. Hasil pertemuan itu, katanya, pemerintah pusat akan membantu proses pembebasan lahan untuk jalan tol. Kesepakatannya, 50% biaya akan ditanggung pusat, sisanya ditanggung daerah.

Saat itu ia menjelaskan, total biaya yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan Rp 229 miliar. Jika sistem sharing itu dilakukan, pemerintah pusat akan menanggung biaya Rp 114,5 miliar. Sedangkan Pemkab Bandung telah menyanggupi anggaran Rp 32 miliar. Ia juga mendengar Pemkot Bandung telah menganggarkan biaya pembebasan lahan Tol Soroja sebesar Rp 15 miliar. Sekarang kita tinggal meminta pihak Pemprov Jabar membantu pembiayaan sisanya atau sekitar Rp 67,5 miliar.

Dengan perkiraan tersebut, proyek yang digulirkan Pemkab Bandung sejak pertengahan tahun 1990-an untuk mempercepat laju pembangunan di wilayah Bandung Selatan itu pembangunannya akan dilakukan mulai tahun depan (2008). Ia optimistis, pembebasan lahan tak akan berlangsung lama selama anggarannya ada.

Apa yang dikatakan Bupati memang benar, karena tender untuk proyek tersebut dilakukan pada Maret 2008. Bahkan pengumuman, tender tahap kedua proyek Tol Soroja yang diumumkan kepada publik melalui media massa nasional, menempatkan jalan Tol Soroja di urutan pertama dari proyek-proyek jalan tol lain di Indonesia pada tender tersebut.

Dengan estimasi seperti itu, pada akhir 2008 pembangunan konstruksi sudah bisa dimulai. Diharapkan jalan Tol Soroja selesai pada 2010.

Sekarang kita sudah berada di gerbang tahun 2010. Kita belum melihat bentangan jalan yang direncanakan itu, karena kendala pembebasan lahan yang tidak pernah bisa dilakukan Pemkab Bandung. Sehingga anggaran yang sudah dialokasikan, hingga sekarang tidak terserap dan bayang-bayang yang muncul kemungkinan kembali gagalnya pembangunan jalan tersebut.

Bagi Pemkab Bandung untuk pembebasan lahan ini kemungkinan akan lebih sulit lagi karena hamparan lahan yang akan digunakan sudah banyak dikuasai spekulan dari pemodal besar dan oknum pejabat itu sendiri. Jauh-jauh hari setelah rencana proyek itu digulirkan para pengusaha sudah menguasai hektaran lahan yang akan dibebaskan itu. Apalagi kalau bukan untuk mengeruk keuntungan dari proyek yang dibutuhkan masyarakat banyak itu.

Seharusnya, sejak awal ada regulasi yang bisa memproteksi rencana jalan tersebut melalui perda, baik yang dikeluarkan Pemkab/Pemkot Bandung maupun Pemprov Jabar, sehingga spekulan tidak bisa seenaknya melambungkan harga. Atau mungkin inisiatif itu hilang karena melihat potensi keuntungan yang luar biasa dari rencana proyek tersebut. (Kamis, 21 Januari 2010)**



Soroja

KALAU saja apa yang dikemukakan Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.I.P., seusai salat Jumat pada 2 November 2007 lalu bisa benar-benar diwujudkan, mungkin sekarang warga Kab. Bandung khususnya sudah bisa menikmati akses jalan Tol Soroja.

Di pintu keluar masjid, kepada wartawan Bupati mengatakan, dirinya telah bertemu sejumlah pejabat terkait serta anggota DPR RI di Jakarta. Hasil pertemuan itu, katanya, pemerintah pusat akan membantu proses pembebasan lahan untuk jalan tol. Kesepakatannya, 50% biaya akan ditanggung pusat, sisanya ditanggung daerah.

Saat itu ia menjelaskan, total biaya yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan Rp 229 miliar. Jika sistem sharing itu dilakukan, pemerintah pusat akan menanggung biaya Rp 114,5 miliar. Sedangkan Pemkab Bandung telah menyanggupi anggaran Rp 32 miliar. Ia juga mendengar Pemkot Bandung telah menganggarkan biaya pembebasan lahan Tol Soroja sebesar Rp 15 miliar. Sekarang kita tinggal meminta pihak Pemprov Jabar membantu pembiayaan sisanya atau sekitar Rp 67,5 miliar.

Dengan perkiraan tersebut, proyek yang digulirkan Pemkab Bandung sejak pertengahan tahun 1990-an untuk mempercepat laju pembangunan di wilayah Bandung Selatan itu pembangunannya akan dilakukan mulai tahun depan (2008). Ia optimistis, pembebasan lahan tak akan berlangsung lama selama anggarannya ada.

Apa yang dikatakan Bupati memang benar, karena tender untuk proyek tersebut dilakukan pada Maret 2008. Bahkan pengumuman, tender tahap kedua proyek Tol Soroja yang diumumkan kepada publik melalui media massa nasional, menempatkan jalan Tol Soroja di urutan pertama dari proyek-proyek jalan tol lain di Indonesia pada tender tersebut.

Dengan estimasi seperti itu, pada akhir 2008 pembangunan konstruksi sudah bisa dimulai. Diharapkan jalan Tol Soroja selesai pada 2010.

Sekarang kita sudah berada di gerbang tahun 2010. Kita belum melihat bentangan jalan yang direncanakan itu, karena kendala pembebasan lahan yang tidak pernah bisa dilakukan Pemkab Bandung. Sehingga anggaran yang sudah dialokasikan, hingga sekarang tidak terserap dan bayang-bayang yang muncul kemungkinan kembali gagalnya pembangunan jalan tersebut.

Bagi Pemkab Bandung untuk pembebasan lahan ini kemungkinan akan lebih sulit lagi karena hamparan lahan yang akan digunakan sudah banyak dikuasai spekulan dari pemodal besar dan oknum pejabat itu sendiri. Jauh-jauh hari setelah rencana proyek itu digulirkan para pengusaha sudah menguasai hektaran lahan yang akan dibebaskan itu. Apalagi kalau bukan untuk mengeruk keuntungan dari proyek yang dibutuhkan masyarakat banyak itu.

Seharusnya, sejak awal ada regulasi yang bisa memproteksi rencana jalan tersebut melalui perda, baik yang dikeluarkan Pemkab/Pemkot Bandung maupun Pemprov Jabar, sehingga spekulan tidak bisa seenaknya melambungkan harga. Atau mungkin inisiatif itu hilang karena melihat potensi keuntungan yang luar biasa dari rencana proyek tersebut. (Kamis, 21 Januari 2010)**



Rabu, 20 Januari 2010

Surga Eden

KALAU apa yang diajarkan aliran Surga Eden itu benar, betapa mudahnya mendapat kehidupan yang lebih baik setelah meninggal nanti. Konon katanya, pimpinannya menjanjikan Surga Eden bagi pengikut wanitanya dengan satu syarat: mau berhubungan intim dengannya.

Pimpinannya sekte tersebut, Ahmad Tantowi, isunya juga mengaku sebagai Tuhan. Dan karena statusnya sebagai penguasa alam, ia melarang pengikutnya mengajarkan syariat Islam, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan, dan membaca kitab suci Alquran. Ajaran yang tentu sangat memancing kemarahan umat Islam.

Karena sudah meresahkan warga, Kepolisian Daerah Jawa Barat bersama puluhan anggota ormas Islam setempat, menggerebek salah satu markas Surga Eden di Desa Pamengkang, RT 50/RW 05 Kec. Mundu, Kab. Cirebon, Kamis (14/1) pagi. Dari markas itu, Tantowi ditangkap bersama 13 pengikutnya.

Dalam penggerebekan itu, Tantowi dan para pengikutnya yang sebagian besar perempuan melawan. Tantowi mencabut keris dan berusaha melawan petugas, namun polisi dengan mudah membekuknya.

Polisi menyita sejumlah barang bukti berupa 60 kuitansi setoran dana jemaah, sebuah kitab, buku panduan Surga Eden, 2 rol negatif film berisi gambar-gambar cabul Tantowi, 5 buku tentang cara melakukan hubungan seksual, dan 1 bundel piagam pengikut Surga Eden.

Dari 13 orang yang ditangkap tersebut, dua di antaranya istri Tantowi, yaitu Endang dan tangan kanan Tantowi, Iman Junaedi (36), yang diduga memosisikan diri sebagai malaikat Jibril.

Beberapa pasal berlapis sudah disiapkan penyidik untuk menjerat tersangka, yaitu pasal 156 huruf a KUHPidana tentang Penodaan Agama, pasal 285 KUHPidana tentang Pencabulan, dan pasal 335 KUHPidana tentang Perbuatan tidak Menyenangkan.

Polisi tentu harus bekerja keras untuk memastikan benar tidaknya Ahmad Tantowi sebagai penyebar aliran yang dianggap sesat ini. Pengakuan Ahmad Tantowi sendiri bahwa dirinya seorang muslim dan membacakan dua kalimah syahadat dengan benar, tentu harus bisa dipastikan, apakah hanya untuk memperdaya polisi dan media, atau sesungguhnya ia menjadi korban dari kepentingan lain. Kalau ternyata faktanya benar Ahmad Tantowi merupakan penyebar aliran yang diduga sesat itu, tentu selain proses hukum, harus dilakukan proses penyadaran.

Untuk "menyadarkan" para pendiri dan pengikut sekte ini pun tentunya tidak bisa hanya dengan penggerebekan dan amuk massa. Mereka telah dicuci otak, sehingga harus kembali dibina secara perlahan. Pendekatan yang dilakukan K.H. Said Agil Siradj, salah seorang Ketua PB Nahdlatul Ulama (NU) sewaktu menangani nabi palsu Ahmad Musaddeq tahun 2007 lalu, harus dijadikan acuan. Didampingi tiga tokoh ulama, K.H. Agus Miftach, K.H. Bachtiar Aly, K.H. Said Agil Siroj, dan tim dari MUI, akhirnya Ahmad Musaddeq menyatakan pertobatannya di Mapolda Metro Jaya, Jumat 9 November 2007. "Sang Nabi" dengan sadar dan tanpa tekanan mengaku kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Mungkinkah ini juga dilakukan oleh "Tuhan"? (Rabu, 20 Januari 2010)**

Selasa, 19 Januari 2010

Citarum

TAHUN ini, pemerintah berencana mencairkan anggaran sebesar Rp 1,03 triliun untuk sebuah proyek besar bernama Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMI). Total anggaran untuk proyek tersebut sekitar Rp 35 triliun yang akan digarap dalam kurun waktu 14 tahun hingga tahun 2023, atau selama 3 kali pergantian kepala pemerintahan kabupaten.

Melihat dana yang dianggarkannya saja, kita sangat terkagum-kagum. Luar biasa. Dana tersebut sama dengan hampir 25 tahun anggaran total APBD Kab. Bandung yang pada 2009 sebesar Rp 1,495 triliun.

Proyek yang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) disebut Citarum Road Map ini, pada tahap pertama akan mencakup kegiatan rehabilitasi, peningkatan pengelolaan lahan dan air, pengelolaan air dan sanitasi berbasis masyarakat, dan pengendalian banjir. Rencananya kebutuhan dana tersebut akan ditutupi APBN, pihak swasta, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), dan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Gagasan tersebut tentu tidak hanya bermanfaat bagi warga sekitar sungai, tapi juga bisa memberikan manfaat yang lebih luas. Apalagi kalau dibandingkan dengan upaya yang selama ini dilakukan, sebagaimana dikatakan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, setiap dana yang dialokasikan dari APBD Jabar tidak kurang dari Rp 25 miliar untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkannya melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Namun dana yang diamblaskan sebesar itu, nyaris tidak ada pengaruh yang berarti bagi masyarakat.

Proyek ICWRMI diharapkan tidak hanya mengatasi masalah banjir akibat meluapnya Sungai Citarum, tapi juga bagaimana mengoptimalkan potensi airnya. Citarum yang tertata rapi dan bersih nantinya bisa menjadi sarana transportasi air, baik untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat maupun sebagai sarana wisata air. Potensi lainnya yang lebih besar, tentu bisa menjadi sumber daya air, baik untuk dikonversi menjadi energi listrik maupun untuk kebutuhan industri yang ada di sepanjang sungai tersebut.

Masalah yang dihadapi Citarum saat ini terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Padahal, Sungai Citarum dengan luas total sekitar 6.080 km2, panjang sungai sekitar 269 km dengan curah hujan sekitar 2.300 mm/tahun ini dimanfaatkan sebagai sumber air baku air minum untuk Jakarta, Kab. Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bandung, dan Kota Bandung. Citarum juga sebagai pemasok air untuk tiga waduk, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur yang memasok listrik 5.000 gigawatthour/tahun.

Ini tentu masih sebuah impian warga Bandung dan sekitarnya. Karena bagaimana pun, sungai tersebut menjadi saksi sejarah, yang kalau dipelihara dengan baik tentu akan memberikan manfaat yang luar biasa. Adalah hukum alam, kalau kita merawat dan menata lingkungan yang Allah berikan, tentu mereka akan memberikan balasan yang sama kepada manusia.(Selasa, 19 Januari 2010) **



Senin, 18 Januari 2010

Mutasi

BUPATI Bandung H. Obar Sobarna, S.I.P., Jumat (15/1) melakukan mutasi terhadap 11 camat dan 44 pejabat eselon III lainnya di lingkungan Pemkab Bandung. Mutasi ini merupakan putaran pertama di awal 2010, karena masih ada beberapa jabatan yang kosong, baik camat, kepala unit pelaksana tingkat daerah (UPTD) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), dan jabatan lainnya.

Rotasi maupun promosi pejabat di tahun 2010 tentu menarik untuk disoroti, karena banyaknya anggapan ada kaitannya dengan kepentingan pemilihan calon bupati Kab. Bandung yang akan digelar tahun ini. Terlebih dalam pemilihan bupati (pilbup) ini ada anggapan, bupati sekarang sedang mentransformasikan kepemimpinannya kepada menantunya, H. Dadang M. Nasser.

Tentu adalah hak setiap warga negara untuk mencalonkan atau mendukung siapa pun menjadi kandidat bupati periode 2010-2015, termasuk Bupati Bandung Obar Sobarna. Tidak salah juga kalau kemudian ia menjatuhkan dukungannya kepada H. Dadang M. Nasser.

Namun yang masyarakat harapkan proporsionalisme dan profesionalisme pejabat yang duduk dalam tugas barunya tetap dikedepankan. Jangan sampai ada pejabat yang asal bapak senang (ABS) tanpa ditunjang kecakapan menduduki pos-pos penting, sehingga bertindak arogan pada bawahan.

Terlebih dalam pelantikan tersebut, Bupati mengimbau kepada para pejabat baru untuk selalu tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Jika hal tersebut dilaksanakan, otomatis meningkatkan pengawasan sosial dari masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.

Tidak hanya itu, Bupati juga mengingatkan kepada para pejabat untuk membuang jauh-jauh gaya hidup konsumtif. Bupati meminta mereka hidup bersahaja sehingga menjadi contoh bagi masyarakat.

Apa yang ditekankan Bupati ini, penting dan sangat penting, karena mungkin Bupati sudah membaca sinyal perilaku para pejabatnya. Tidak jarang, pejabat-pejabat muda yang kariernya masih panjang, "berlomba" dalam hal materi, sehingga begitu menduduki jabatan tertentu performanya langsung berubah dalam hitungan bulan. Rumah mentereng, mobil keluaran terakhir, dan membuat kubu untuk mempertahankan kepentingannya.

Ironisnya pada oknum pejabat yang demikian, profesionalisme sendiri menjadi kosmetik, dan hanya pada angka-angka yang kamuflatif. Pada tataran ini, apa yang disampaikan kepada Bupati kesannya selalu ada progress report atau terjadi kemajuan. Namun dalam kenyataannya di lapangan, jauh panggang dari api.

Di sebuah sudut ruangan di lingkungan perkantoran Pemkab Bandung, di Soreang seorang pejabat mengaktualisasikan diri sebagai pribadi yang sederhana. Di ruang kerjanya yang redup hanya terdapat sebuah meja, kursi serta satu set sofa tua. Padahal uang yang dikelolanya miliaran rupiah. Ia bercerita, uang miliaran itu hanya mengalir di depan matanya untuk kebutuhan masyarakat. Namun bawahannya banyak yang menggerutu. Mereka merasa dibodohi.

Berbeda dengan suasana di kantornya. Di daerah tempat tinggalnya, rumah pejabat itu paling mentereng. "Kami di suruh berpuasa, sementara bos, bisa makan pagi, siang, dan malam dengan beragam menu. Bohong yang dikatakannya," cetus bawahannya. (Senin, 18 Januari 2010)**



Minggu, 17 Januari 2010

Anak Kita dalam Bahaya

SEORANG ahli herbalis pernah mengatakan, kalau kita makan makanan atau minuman yang mengandung zat-zat pengawet, itu artinya sama dengan piring atau gelas tempat makanan atau minuman itu penuh dengan serbuk plastik. Kemudian kita makan serbuk-serbuk itu setiap hari, dalam jangka panjang pasti ada efeknya.

Demikian juga penggunaan zat-zat pewarna makanan yang kebanyakan berbahan zat pewarna untuk tekstil atau cat. Dalam jumlah sedikit, tentu tidak masalah. Namun kalau jenis makanan yang mengandung zat pewarna ini dikonsumsi anak-anak kita setiap hari di sekolah, tentu akan membawa efek yang membahayakan bagi kesehatan mereka.

Maka wajar kalau di Kota Bandung sampai ada orangtua siswa yang merazia penjaja makanan di sekolah anaknya. Kepada para penjaja makanan yang terbukti menggunakan zat pewarna, ia langsung menyita dagangannya. "Gerakan" seperti ini tampaknya terus berkembang di kalangan orangtua siswa di beberapa sekolah.

Bahkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung akan mengirimkan surat edaran kepada seluruh sekolah di Kota Bandung, mulai SD hingga SMA negeri dan swasta. Langkah ini dilakukan Disdik untuk menindaklanjuti temuan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM), yang menemukan formalin dan zat kimia berbahaya dalam jajanan anak.

Sebagaimana diungkapkan Kepala Disdik Kota Bandung, Oji Mahroji kepada "GM", Kamis (14/1), isi SE berupa imbauan kepada sekolah dan pedagang di lingkungan sekolah, supaya tidak menjual produk makanan atau jajanan anak yang mengandung zat berbahaya. Oji menegaskan, tempat berjualan jajanan di sekitar sekolah harus bersih. Misalnya jajanan harus tertutup dari debu dan binatang, harus terbungkus dengan kemasan yang bersih supaya kesehatannya terjamin.

Selain Disdik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bandung pun sudah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi penjualan produk/jajanan yang mengandung zat berbahaya di Kota Bandung. Mereka menelusuri hasil temuan BBPOM itu. Sesuai dengan prosedur yang baku, kata Kadisperindag Kota Bandung, H. Nana Supriatna, jika ditemukan produk makanan yang mengandung zat berbahaya, maka produsen atau pedagang langsung diingatkan.

Dan jika sudah beberapa kali diperingatkan, namun pedagang tersebut tidak mengindahkannya, Disperidag bisa mencabut izin usahanya. Sedangkan bisa produk tersebut merupakan hasil olahan rumah tangga, Disperindag akan meminta produsen untuk tidak memproduksi lagi produk tersebut.

Kita tahu, temuan ini bukan yang pertama kalinya di Kota Bandung. Berkali-kali ditemukan, pelakunya diancam sanksi, dan terjadi lagi. Mereka tidak mungkin dihentikan karena gantungan hidup keluarga mereka dari sana. Yang diperlukan, ketika sanksi itu dikenakan, pemerintah juga bisa memberikan pelatihan kepada para produsen rumahan atau industri, mengenai bahan pengawet dan zat pewarna alternatif yang tidak membahayakan pada anak-anak yang mengonsumsinya. Jangan karena kesalahan orang-orang tua yang duduk di instansi yang berkompeten untuk mengurusi hal tersebut, anak-anak kita yang dalam bahaya. (Sabtu, 16 Januari 2010)**