Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Idulkurban

SEBUAH ritual Idulkurban baru kita lewati dan marak dilakukan di mana-mana. Tentu kita harus memaknainya tidak sekadar menyembelih hewan kurban, membagikan daging-dagingnya ataupun menikmati daging hewan kurban dengan pesta pora.

Substansi kurban tentu bukan itu, melainkan keikhlasan kita mengorbankan apa yang harus dikorbankan, kesediaan mengorbankan hal yang paling dicintai atau yang terbaik yang dimiliki. Tentunya bukan berarti hanya dengan mengorbankan hewan kurban, kita sudah dikatakan berkorban. Kita tidak tahu, sudah benarkah niat seseorang ketika ikut berkorban dengan hewan kurbannya. Atau sudah bersihkah uang yang digunakan? Maka sungguh yang diinginkan Allah adalah kurban diri kita, hewan kurban hanyalah simbol dan pengganti. Seperti perintah Allah pada Ibrahim dan Ismail, yang kemudian digantikan-Nya dengan seekor domba.

Ingat, Allah hanya menerima pengorbanan yang terbaik. Dan pengorbanan yang terbaik adalah pengorbanan atas apa yang paling kita cintai. Ciri kita mencintai sesuatu, hati kita terasa berat dalam mengorbankannya. Yang paling dicintai Nabi Ibrahim AS saat itu adalah anaknya. Nah, bagi kita sendiri, apa yang paling kita cintai dan berani kita korbankan?

Apakah kita rela mengorbankan waktu kita di jalan Allah, padahal kita sibuk? Apakah kita rela mengorbankan tenaga kita di jalan Allah, padahal kita letih? Apakah kita rela mengorbankan gengsi kita di jalan Allah, padahal kita disanjung? Apakah kita rela mengorbankan uang kita di jalan Allah, padahal kita pas-pasan?

Kita tentu sangat trenyuh dengan solidaritas sosial yang demikian tumbuh dan berkembang dalam pelaksanaan Idulkurban. Mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gubernur Jabar Ahmad Heryawan hingga para pengamen yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), ingin membahagiakan masyarakat miskin lainnya untuk bisa menikmati makanan yang lebih bergizi. Yang mungkin jarang juga para pengamen ini dapatkan.

Kita tentu juga sangat trenyuh dengan begitu banyaknya masyarakat yang membutuhkan daging hewan kurban. Di Masjid Raya Jawa Barat, 3.000 kg daging sapi dan domba ludes dalam 45 menit. Di daerah-daerah lainnya, masyarakat saling berebut mendapatkan daging, meski harus berdesak-desakan, bahkan terinjak-injak.

Kondisi sosial seperti ini tentu tidak cukup disikapi hanya dengan rutinitas menyediakan hewan kurban untuk dibagikan setahun sekali. Namun bagaimana para pengambil kebijakan di pemerintahan, bisa mengikhlaskan ego dan kepentingannya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Membuat kebijakan-kebijakan yang mendobrak sistem yang selama ini sengaja memberikan ruang-ruang untuk terjadinya korupsi dan manipulsasi. Keikhlasan untuk menerima uang yang benar-benar haknya, tidak membabi buta melakukan tindakan yang didasari keinginan memperkaya diri, sehingga menjadikan masyarakat yang menjadi objek ibadah mereka terabaikan. (Sabtu, 28 November 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar