Welcome


Selasa, 27 Desember 2011

Jalan-jalan dengan Pak Tapran

JALAN-jalan dengan Pak Hidayat Tapran, penulis buku “Petunjuk Praktis Berlalu Lintas”, membuka banyak “kewajaran” menjadi “ketidakwajaran”. Sepanjang Jalan Soekarno Hatta Bandung, Pak Tapran menunjukan banyaknya rambu-rambu dari jalur cepat ke jalur lambat yang selain ukurannya salah juga penempatan. Pemasangan rambu-rambu itu dengan tiang ukuran tinggi, sehingga di beberapa titik polisi “berinisiatip” memasang rambu anjuran masuk ke jalur lambat dengan tiang pendek. Sedangkan penempatannya, seharusnya rambu larangan dulu, baru rambu anjuran masuk jalur lambat. Hampir semua rambu pemasangannya seperti itu, hanya rambu di depan Ampera dekat MTC yang penempatannya benar.
Di depan PT. LEN dari arah Barat ke Timur, Pak Tapran menunjukan tidak adanya marka jalan padahal aspal di jalan tersebut kelihatannya baru direhab. “Mungkin, kontrak dengan pemborongnya tidak sampai pembuatan marka jalan,” ungkapnya sambil tersenyum.
Yang menarik lagi di simpang jalan depan Komplek Batununggal. Dari arah Barat Jln. Soekarno Hatta, sebelum perempatan jalan tersebut terdapat rambu tanda seru berlatar belakang kuning, rambu persimpangan berlatar belakang kuning dan rambu traffic light. Padahal seharusnya, kata Pak Tapran, kalau persimpangan ada lampu pengatur lalu lintasnya tidak usah pakai tanda seru dan rambu persimpangan jalan lagi. “Selain itu, penempatannya juga jaraknya harus agak jauh, ya sekitar 50 meter sebelum persimpangan tersebut,” ungkapnya. Rambu-rambu yang dipasang dekat persimpangan itu, jaraknya tidak lebih dari 10 meter sebelum persimpangan.
Penempatan rambu-rambu yang dekat dengan obyek petunjuk tersebut juga terlihat di depan SMKN 2 Bandung. Dari jalur lambat, arah Timur ke Barat, beberapa meter dari sekolah tersebut terdapat tanda seru, rambu peringatan tentang adanya penyeberangan jalan, dan rambu tempat penyeberang jalan berlatar warna biru. Di sebuah kantor instansi pemerintah yang sangat berhubungan dengan keselamatan beralalu lintas, tepat di gerbang masuk ada rambu penunjuk arah dengan posisi tegak lurus menuju kantor tersebut. Padahal petunjuk itu artinya, semua kendaraan harus masuk kantor tersebut(?), seharusnya, miring 45 derajat kea rah bawah. Bahkan lewat Bunderan Jln. Sudirman-Jln. Soekarno-Hatta, tepatnya setelah pertigaan menuju Jln. Cijerah ada rambu penunjuk arah, aneh, arahnya ke bawah(?)
Begitu pula sepanjang jalan kita melihat petunjuk-petunjuk arah hampir semuanya menggunakan warna dasar hijau dengan tulisan putih. Padahal sebenarnya, kata pria yang banyak melakukan study banding mengenai rambu-rambu lalu lintas di dalam dan luar negeri ini, petunjuk arah dengan warna dasar hijau seharusnya digunakan untuk jalan yang menuju arah tol atau jalan bebas hambatan. Sedangkan untuk jalan-jalan di dalam kota, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota menggunakan warna dasar biru dengan tulisan putih. Sedangkan untuk jalan-jalan yang lebih kecil menggunakan warna dasar putih dengan tulisan hitam.
Pulang jalan-jalan dengan Pak Tapran, saya mengendarai kendaraan sambil memperhatikan begitu banyaknya rambu-rambu yang salah penempatannya maupun. Tidak hanya di Kota Bandung, di Kab. Bandung pun demikian. Bahkan sempat membuat saya tersenyum sendiri ketika akan melewati sebuah sekolah di Baleendah. Ada rambu tanda seru, disusul rambu peringatan tempat penyeberangan, tapi tempat penyeberangannya sendiri tidak ada.***

Selasa, 06 Desember 2011

Ayam dan Telor


DULU, ada seorang direktur sebuah rumah sakit yang kerap menganalogikan rumah sakit tempat mereka bernaung sebagai ayam yang setiap bulan menghasilkan telor. Ia kerap mewanti wanti ke semua sumberdaya manusia yang ada di sana untuk sebisa mungkin memelihara “ayam” ini agar tumbuh besar dan menghasilkan telor yang banyak. Tindakan oknum karyawan yang hanya menguntungkan diri sendiri dianggap sebagai ancaman yang akan membuat ayam sakit bahkan mati.
“Mangkanya dulu tindakan sekecil apapun yang bisa membuat ayam ini sakit aau bahkan mati harus kita hindari agar jangan sampai terjadi. Misalnya, oknum karyawan yang menjadi calo untuk pembelian obat buat pasien, atau tindakan-tindakan lainnya yang bisa menghambat kemajuan rumah sakit ini,” ujar wadir di rumah sakit tersebut saat berbincang di ruang kerjanya, Selasa (7/12/2011) pagi.
Di banyak perusahaan bahkan perusahaan yang berskala nasional pun memang tak sedikit oknum yang memanfaatkan peluang untuk mencari penghasilan tambahan dengan “mencekik” perusahaannya sendiri. Seusai menyelenggarakan sebuah turnamen voli di Kab. Bandung, saya pernah disodori kwitansi dana sponsorship yang jumlahnya lebih besar dari yang kami terima sebenarnya. “Ah, biasa kang, upami teu kieu timana abdi kenging penghasilan tambahan,” ungkapnya sambil malu malu.
Hal seperti itu, masih kita anggap mendingan, karena masih terjadi di sebuah perusahaan berskala nasional, ada oknum yang tega-teganya mencekik, membanting dan menggencet ayamnya sendiri dengan melaporkan kegiatan-kegiatan fiktip. “Saya sih di kantor hanya untuk formalitas saja, penghasilan sebenarnya dengan membuat laporan-laporan seperti ini,” ungkap orang tersebut nyaris seperti tanpa rasa bersalah saat mengungkapkan perilakunya itu di sebuah foodcourt di Bandung Indah Plaza (BIP).
Namun seperti kata pepatah, sepandai pandainya orang menutupi kotoran pasti ketahuan juga. Perusahaan tempat bernaung oknum karyawan tersebut memang akhirnya melakukan verifikasi ke semua lini dan begitu banyak borok-borok yang mengancam kelangsungan hidup ayam tersebut. Manajer regional dan cabangnya dig anti, begitu juga bagian-bagian lainnya yang dianggap menebar penyakit yang menjadikan ayam itu kolaps. Setelah dilakukan pembenahan, sekarang ayam itu kembali sehat dan bisa memberikan loncatan pendapatan hingga lebih dari 200%. Telor-telor yang dihasilkan pun lebih banyak, dan karyawannya tampak lebih sejahtera.
Untuk menyehatkan ayam yang terlanjur kena penyakit memang tidak mudah karena ada oknum-oknum yang menikmati keuntungan dibalik rasa sakit si ayam. Ia tidak mudah merubah kebiasaaannya. Ia dengan cara apapun akan berusaha mempertahankan keuntungan yang selama ini diterimanya. Dan, yang menyedihkan, sang pemilik bisa dibohongi habis-habisan oleh si oknum, yang akhirnya dengan leluasa mengambil keputusan-keputusan sendiri yang cenderung kontraproduktip.
Ayam harus sehat agar bisa memproduksi telor lebih banyak. Untuk itu, harus ada dibiasakan untuk membuka mata dan telinga agar sedini mungkin bisa menyadari munculnya virus maupun bakteri yang bakal menyerang ayam yang kita sayangi. Kalau antepan, yah tinggal menunggu waktu saja, ayam kita bisa mati.***