Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Pelajaran Bencana Alam

INDONESIA berada di jalur gempa. Bahkan secara dramatis warganya disebut sebagai bangsa yang hidup di atas "cincin api". Sebuah perumpamaan yang melukiskan, betapa penduduk Indonesia setiap saat berada dalam ancaman bencana alam gempa.

Dalam rentang waktu kurang dari sebulan, gempa bumi terjadi berturut-turut di Jawa Barat, kemudian Sumatra Barat dan sekitarnya. Jumlah korban jiwa di Sumbar sejauh ini sudah di atas 600 orang. Diperkirakan ribuan orang masih belum jelas nasibnya.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting setiap kali musibah serupa terjadi. Antara lain, ada kesan pemerintah gagap dalam penanganannya termasuk proses evakuasi korban. Sementara itu, masyarakat juga banyak yang tidak memahami apa yang seharusnya dilakukan jika gempa bumi terjadi.

Tentu saja kita prihatin melihat kenyataan ini. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang akrab dengan gempa bumi, tidak memiliki kesiagaan penanganan yang memadai. Berbeda misalnya dengan Jepang, salah satu negara yang akrab dengan gempa bumi.

Negeri Sakura itu memiliki tenaga terlatih yang siap terjun ke lapangan jika musibah terjadi. Tentu saja dengan peralatan canggih, seperti terlihat saat tim mereka membantu evakuasi di Padang.

Masyarakat Jepang pun sudah dilatih sejak dini untuk mengenal berbagai bentuk bencana, dan upaya menyelamatkan diri jika gempa terjadi. Dengan demikian, semakin lama masyarakat akan semakin terlatih menghadapi keadaan paling buruk.

Mungkin menyadari pentingnya hal itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung berencana memasukkan materi bencana alam pada mata pelajaran geografi dan lingkungan hidup. Selama ini refleks masyarakat --terutama siswa-- saat terjadi gempa masih kurang.

Materi ini akan diterapkan pada semua tingkatan sekolah, mulai pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas atau kejuruan (SMA/SMK). Juga akan dilengkapi simulasi, konsep, dan praktik.

Kita jadi teringat ketika bencana tsunami melanda pesisir selatan Jabar. Banyak pemerintah daerah yang berencana memasukkan materi lingkungan hidup pada kurikulum. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk memupuk kesadaran siswa terhadap lingkungan hidup.

Kita belum tahu sudah sejauh mana materi lingkungan hidup diterapkan dalam proses belajar mengajar. Mudah-mudahan saja tidak sekadar latah hanya karena ada bencana. Tapi benar-benar didorong kesadaran akan pentingnya pengetahuan bidang tersebut.

Tentang rendahnya pendidikan kebencanaan, diakui pula Ketua Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip), Yanti Sriyulianti. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak warga yang tidak tahu harus bertindak apa saat bencana datang.

Namun ia menyarankan agar pendidikan kebencanaan tidak perlu dalam kurikulum. Sebab hanya akan jadi beban belajar anak saja. Cukup dengan latihan rutin, sehingga semua orang memiliki refleks yang cepat saat terjadi bencana. Sebaiknya para pendidik mempertimbangkan saran dari Kerlip itu. (Rabu, 07 Oktober 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar