Welcome


Jumat, 24 April 2009

Ujian Nasional, Sukses Tanpa Ekses!

Senin, 20 April 2009



HARI ini, ratusan ribu siswa SMA, SMK, dan MA di Jawa Barat serempak akan mengikuti ujian nasional (UN). Ujian yang kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Kab. Bandung, Drs. H. Juhana, M.M.Pd., sebagai ujian untuk para siswa, guru, dan kepala sekolah.

Di UN memang bukan hanya siswa yang diuji untuk merefleksikan kembali isi mata pelajaran yang pernah diterimanya selama di bangku sekolah. Juga, bagaimana rasa sayang guru terhadap anak didiknya tidak diimplementasikan dengan cara yang bisa meracuni para siswa. Siswa tidak seharusnya diajari curang, dengan dibantu menjawab soal, atau bahkan membantu isian lembar jawaban ujian nasional (LJUN), dengan cara apa pun. Begitu juga kepala sekolah dituntut lebih jujur dan tidak perlu melakukan upaya-upaya yang menjerumuskan guru dan siswa ke dalam tindakan yang tidak etis dalam mengukur kecerdasan siswanya.

Hasil ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN tentunya akan membuat kesalahan panjang dalam perencanaan pendidikan ke depan. Karena hasil diagnostiknya memberikan indikator yang salah, sehingga kemungkinan perencanaan ke depan juga didasarkan atas indikator-indikator yang salah tersebut. Kejujuran dalam pelaksanaan UN kali ini bisa menjadi bahan masukan penting baik dalam sistem pembinaan guru, kepala sekolah maupun sarana yang diperlukan untuk peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar (KBM).

Khusus di Jawa Barat, tentunya kejujuran dari hasil UN kali ini sangat perlu, apa pun hasilnya. Namun, bukan berarti sampai kehilangan target untuk meraih hasil yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Karena bagaimanapun, hasil UN, meski bukan segalanya, tetap menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan sistem transfer ilmu pengetahuan terhadap anak didik di sekolah-sekolah.

Artinya, kalau pelaksanaannya benar-benar mengedepankan tingkat kejujuran dan hasilnya juga lebih baik dari yang sudah-sudah, itulah yang tentunya menjadi harapan kita semua. Artinya, sistem pendidikan kita tetap menunjukkan kecenderungan maju di tengah munculnya kesan skeptis terhadap dinas yang mengurusi masalah pendidikan ini.

Adalah sangat pantas kalau sistem pelaksanaan UN dari tahun ke tahun bertambah baik, karena ajang ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Artinya, untuk mengevaluasi kekurangannya mudah dilakukan dan tahun berikutnya bisa lebih ditingkatkan.

Tentunya sistem pendidikan kita sangat ironis kalau sampai harus berkali-kali mengulangi kesalahan yang sama. Misalnya, terjadinya kebocoran soal, guru yang "meracuni" siswa, dan kepala sekolah yang mengintimidasi guru agar bisa mendongkrak hasil nilai UN siswanya. Hal itu tentunya sangat tidak diharapkan. UN tahun ini kita harapkan sukses tanpa ekses! **

Imbas "Cerai" Demokrat dan Golkar



"CERAINYA" pasangan parpol yang dianggap cukup solid, Partai Demokrat dan Partai Golkar, diperkirakan akan berimbas ke tingkat lokal. Lobi-lobi di tingkat lokal tampaknya mulai dilakukan para caleg yang memastikan diri bakal lolos dan menduduki kursi di lembaga legislatif.

Partai Demokrat seperti di set-up sebelumnya menjagokan incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden (capres) dalam pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang. Sedangkan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar yang berlangsung di Kantor DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta, Rabu (22/3), memutuskan mengusung ketua umumnya Jusuf Kalla (JK) untuk mencalonkan diri jadi presiden (capres).

Kondisi tersebut memberikan ruang yang terbuka bagi terjadinya koalisi di tingkat pusat, yang sudah lama dirancang antara dua partai besar, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun ganjalannya, kedua pimpinan parpol sama-sama direkomendasikan untuk menjadi capres. Sehingga kelihatannya, kalau koalisi ini akan dibangun, masih diperlukan negosiasi-negosiasi lagi untuk menentukan siapa yang mau mengalah menjadi cawapres.

Namun yang menarik, cerainya Partai Demokrat dengan Partai Golkar di tingkat pusat sepertinya membuka ruang bagi pengurus parpol-parpol di tingkat lokal, baik provinsi maupun kabupaten. Partai Demokrat yang sedang di atas angin mempunyai ruang yang cukup leluasa untuk membangun koalisi dengan parpol-parpol lain. Hanya masalahnya, tidak sedikit kader parpol ini, yang akan duduk di bangku legislatif, masih mentah pengalaman. Sehingga tidak menutup kemungkinan meski Partai Demokrat mendominasi raihan kursi di lembaga legislatif, namun kadernya tidak bisa duduk dalam posisi-posisi strategis dalam kelembagaan dewan.

Padahal parpol yang secara nasional merebut kursi paling banyak untuk semua tingkatan DPR ini, mulai DPRD kab./kota, provinsi, hingga pusat, memerlukan "pengamanan" kebijakan di tingkat lokal, agar program-program yang digulirkan pusat bisa diimplementasikan dengan baik di daerah. Tentu kawalan dari anggota dewan dari parpol tersebut sangat penting bagi lancarnya setiap program yang diluncurkan oleh pusat.

Di sisi lain, parpol besar lainnya, seperti Golkar, PDIP, Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS), dan parpol-parpol lainnya memiliki banyak kader muda yang memang sudah terasah di lapangan. Selain itu, dinamika kedua parpol besar ini menjadikan kader-kadernya cukup terlatih baik dalam melakukan lobi-lobi maupun dalam menjalankan serta mengamankan kebijakan parpolnya.

Yang menarik kita perhatikan apakah fenomena retaknya Partai Demokrat dan Partai Golkar ini akan mendorong kristalisasi parpol-parpol nasional di tingkatan lokal, seperti menguatnya koalisi antara Golkar dan PDIP. Atau malah sebaliknya, kedua parpol besar tersebut, juga PKS, berebut pengaruh untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat yang memang sedang berada di atas angin. Kita lihat saja. **

Kamis, 23 April 2009

Korupsi Berjemaah



MANTAN Ketua DPRD Kota Bogor periode 1999-2004, H. Moch Sahid, Selasa (14/4), dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Paledang oleh kejaksaan negeri setempat. Sahid didakwa telah melakukan "korupsi berjemaah" APBD 2002 dengan total senilai Rp 8,3 miliar. Ia diganjar hukuman 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 3 bulan, dan uang pengganti Rp 183 juta.

Potensi terjadinya korupsi seperti ini tentu bukan hanya di Kota Bogor. Di daerah-daerah lainnya pun demikian. Bahkan di Kab. Bandung, seluruh anggota DPRD sudah dipanggil Polda Jabar atas dugaan kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos). Mereka diperiksa November 2008 terkait kasus dugaan korupsi dana bansos tahun anggaran 2005/2006 bernilai puluhan miliar rupiah.

Pemeriksaan kepada anggota dewan tersebut terkait dengan penganggaran dana bansos APBD Pemkab Bandung, pengajuan proposal dana bansos dari DPRD ke Pemkab Bandung, dan proses pencairan dana tersebut. Namun, sampai sekarang kasus tersebut seperti tenggelam dan tidak ada perkembangannya.

Begitu pula di Subang, Kepala Bagian Sosial Pemkab Subang, H.E. Kusdinar kepada koran ini pernah mengatakan, dana bantuan yang berasal dari APBD murni tahun 2008 dengan total Rp 35 miliar itu sasarannya untuk berbagai kegiatan yang bersifat membantu masyarakat, seperti peningkatan ekonomi kerakyatan, pembangunan sarana ibadah, pembangunan sarana pendidikan, hingga pendirian lembaga perkreditan rakyat. Namun setelah dana tersalurkan, baru sebagian yang telah menyerahkan SPJ. Sebagian besar lagi malah tidak ada kabar beritanya.

Selain dana sosial yang sangat rawan menimbulkan korupsi berjemaah, juga di antaranya dana yang digulirkan Depdiknas dalam bentuk block grant sebesar Rp 374,55 miliar secara nasional; Depag, dalam bentuk tunjangan fungsional guru sebesar Rp 62,12 miliar; guliran dana BOS KITA -dalam bentuk potongan-potongan jual dedet barang oleh oknum di instansi Disdik, dll.

Korupsi, menurut catatan Ayip Rosidi, memang sudah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Pada periode 1945-1950 dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (a.l. Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (a.l. Maut dan Cinta), kita baca tentang orang-orang yang mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.

Pada tahun 1950-an, korupsi tetap dilakukan orang. Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1954 menulis roman Korupsi, yang mengisahkan PNS yang melakukan korupsi secara kecil-kecilan.

Pada masa demokrasi terpimpin, korupsi kian marak, tetapi yang diseret ke pengadilan hampir tidak ada, atau kalau ada pun dibebaskan atau dijatuhi hukuman ringan saja, sehingga di kalangan rakyat lahir pemeo: maling ayam dihukum tiga bulan, tapi kalau maling duit negara jutaan, bebas. Pada waktu itu rakyat mengartikan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menjadi, kasih uang habis perkara!

Dan pada masa Orde Baru, Presiden Suharto sengaja memberi gaji yang kecil kepada PNS, tetapi menberikan kesempatan untuk korupsi melalui proyek-proyek yang disediakannya, supaya semua pegawai negeri dan jajarannya (termasuk tentara dan polisi), dapat melakukan korupsi.

Pada masa reformasi, korupsi bukannya berkurang, melainkan merebak ke daerah-daerah. Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, para pejabat daerah (eksekutif, legislatif, yudikatif termasuk polisi) merasa mendapat giliran untuk mempraktikkan ilmu korupsi berjemaah yang dicontohkan pemerintahan Orde Baru. **

Satpol dan PKL



SATUAN Polisi Pamong Praja atau lebih dikenal Satpol PP, dulu Tibum, sejak dulu merupakan satuan yang paling menjadi momok bagi para pedagang kaki lima (PKL). Dulu bila satuan ini datang ke lokasi PKL, serentak mereka menghilang karena ketakutan.

Namun entah karena zaman telah berubah atau wibawa Satpol PP sendiri yang mulai berkurang, sekarang ini keberadaannya tidak terlalu ditakuti para PKL. Bahkan mereka bisa mengajak "main petak umpet". Satpol PP datang, PKL menghilang, Satpol PP pergi PKL berdatangan lagi. Itulah fenomena yang terjadi di sekitar kawasan Alun-alun Bandung, yang konon katanya menjadi salah satu dari 7 titik pusat kota yang seharusnya bersih dari PKL.

Keberadaan Satpol PP tidak hanya dilengkapi sarana yang cukup menunjang operasional mereka. Bahkan dikatakan anggota Panitia Anggaran (Pangar) Kota Bandung, Endrizal Nazar, dana penertiban dan penegakan peraturan daerah dan peraturan wali kota yang diterima Satpol PP Kota Bandung sudah termasuk tinggi dan menyentuh angka miliaran. Tapi masih banyak PKL dan pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di tempat-tempat terlarang.

Tahun 2008, Satpol PP meminta dana sebesar Rp 3,675 miliar. Sedangkan tahun 2009, mereka kembali meminta dana sebesar Rp 1,5 miliar. Dana tersebut di antaranya digunakan untuk biaya operasional. Meski anggota Satpol PP yang statusnya PNS itu sudah menerima gaji rutin, lanjut Endrizal, namun untuk setiap penertiban mereka memperoleh uang dinas.

Kepala Satpol PP Kota Bandung, Ferdi Ligaswara mengatakan, dukungan dana yang besar lebih menunjang tugas mereka. Untuk meningkatkan pengawasan terhadap keberadaan para PKL ini, pihaknya akan menempatkan 1 regu di 5 kecamatan yang masuk dalam kawasan tujuh titik. Kelima kecamatan itu antara lain Andir, Astanaanyar, Sumur Bandung, Regol, dan Bandung Wetan. Masing-masing regu yang di-BKO atau di bawah kendali operasi ke kecamatan itu akan melakukan tugas sesuai fungsinya masing-masing.

Namun belajar dari pola penertiban PKL di Kec. Banjaran, Kab. Bandung, tampaknya bisa dipetik pelajaran, cara berkoordinasi yang baik dan komitmen yang sama di antara muspika setempat. Di tengah semrawutnya kota kecamatan tersebut, penertiban PKL di Banjaran dianggap cukup berhasil. Bahkan saat operasi penertiban, tidak hanya Satpol PP, namun bisa melibatkan aparat TNI, kepolisian, petugas Dishub serta Linmas. Sehingga PKL di kawasan tersebut benar-benar bisa ditertibkan.

Kawasan semrawut lainnya, yaitu Kec. Dayeuhkolot. Namun sayang hingga saat ini, camat dan aparatnya mandul. Sehingga kawasan tersebut terkesan semrawut, terutama pada jam-jam puncak. Bahkan masjid megah di kawasan itu pun nyaris tak terlihat keindahan bagian bawahnya karena tertutup para PKL.

Bagi Satpol PP, baik yang ada di pemkot/pemkab maupun kecamatan, kondisi tersebut tentunya harus menjadi target mereka untuk mengatasinya. Karena mereka dibayar antara lain untuk menegakkan perda mengenai kebersihan, ketertiban, dan keindahan (K3). Dan mudah saja bagi masyarakat untuk mengukur keandalan satuan ini, yaitu dengan hanya melihat kondisi pusat-pusat keramaian tersebut. **

Guru Bocorkan Jawaban UN?



KUALITAS pendidikan kita memang sulit dibenahi selama guru yang menjadi pilar penjaga kualitas tidak menjalankan tugasnya secara konsisten. Guru yang seharusnya bisa lebih mencerdaskan anak-anak didiknya, karena barangkali merasa tidak mampu menjalankan tugasnya itu, malah sebaliknya "meracuni" anak-anak didiknya dengan membocorkan lembar jawaban ujian nasional (LJUN).

Kejadian ini setidaknya diungkapkan oleh sebut saja Dedi, bukan nama sebenarnya, salah seorang siswa sebuah SMA swasta di Kota Bandung. Bahkan sang guru, memberikan bocoran LJUN melalui kertas yang ditulisnya, meski hanya sekitar 60% dari seluruh naskah soal UN.

Yang tidak kita pahami adalah, pada UN tahun ini Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sudah melakukan sistem pengawasan yang ketat. Di kelas, ada pengawas ruangan masing-masing 2 orang dari sekolah lain (disilang). Sedangkan di setiap unit satuan pendidikan (sekolah) SMA dan MA ada pengawas yang untuk di Jawa Barat terdiri atas UPI, ITB, Unpad, dan UIN yang dikoordinasi oleh UPI. Sedangkan untuk SMK, SMP/MTs, dan SD/MI ada pemantau dari Tim Pemantau Independen (TPI) yang dikoordinasi oleh perguruan tinggi swasta.

Kalau sampai hal ini masih terjadi, tentu selain mempertanyakan kepada guru yang bersangkutan dan para pengawas yang ada di sekolah itu, juga sistem kerja para pengawas yang dikeluarkan UPI. Karena seperti di Kab. Bandung sendiri ada sekolah penyelenggara ujian nasional yang luput tanpa pengawas unit satuan pendidikan. Namun di sekolah lain malah ada yang dua pengawas di salah satu sekolah.

Para pengawas dan tim pemantau juga banyak yang sepertinya kurang mengimplementasikan tugasnya sebagai pengawas atau pemantau. Sehingga, karena mereka dianggap "lengah", peluang terjadinya kebocoran soal UN ini tetap terjadi, baik melalui short message service (SMS) maupun yang dilakukan oleh oknum guru tadi.

Kejadian tersebut, tentu harus segera diselesaikan dan bisa diungkapkan kepada publik jenis sanksi yang diberikan kepada oknum guru tersebut (kalau benar). Karena jangan sampai ancaman-ancaman yang sebelumnya diberikan kepada guru yang membocorkan soal kesannya hanya "gertak sambal".

Ini perlu dilakukan mengingat pada Senin (27/4) kita akan mulai memasuki masa ujian nasional bagi para siswa SMP/MTs dan pada 11 Maret 2009 ujian nasional untuk siswa SD/MI yang tentunya tidak menutup kemungkinan akan terjadi praktik serupa. Terlebih jumlah sekolah penyelenggara maupun siswa yang akan mengikuti ujian tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan siswa SMA sederajat yang tentu harus lebih meningkat lagi sistem pengawasannya.

Kita berharap, kasus itu kalau benar dapat segera diungkap agar bisa menjadi shock therapy bagi guru-guru lainnya yang "tega" meracuni anak didiknya. **


Minggu, 19 April 2009

UN Bukan Satu-Satunya Indikator Sukses Belajar

Oleh DRS. H. JUHANA, M.M.PD

KEBANYAKAN orang tua terlalu menghawatirkan anak-anaknya saat akan menghadapi Unjian Nasional (UN) yang untuk SMA/SMK dan MA akan berlangsung mulai Senin, 20 April 2009 ini. Tentu beragam sikap orang tua dalam mempersiapkan anaknya agar sukses dalam UN. Bahkan tidak sedikit yang melakukan berbagai upaya agar anak-anaknya sukses menembus UN. Dan, UN-pun seperti segalanya bagi siswa dan orang tua.
Dalam perbincangan saya dengan Kepala SMAN-1 Baleendah, Drs. H. Tjahra, M.M.Pd, Kepala UPTD SMA/SMK wilayah I Drs. H. Jamiat, M.Si., Kepala UPTD SMA/SMK wilayah II Drs. H. Sutisna Waryono, M.Pd., Kepala UPTD SMA/SMK wilayah III Drs. H. Koswara, M.M.Pd, dan Kepala Seksi Kurikulum Drs. Junjunan, M.Si, di lobby SMAN-1 Baleendah, Sabtu (19/4), saya mengingatkan bahwa ujian nasional itu bukanlah segalanya. Karena hasil dari sekolah, bukanlah hanya nilai yang bagus tapi bagaimana anak didik kita mempunyai akhlak yang mulia. Karena pendidikan pada dasarnya tidak hanya mengajarkan kecerdasan otak (Intelectual Quetion), namun juga harus memiliki kecerdasan emosi (Emosional Quetion) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quetion).
Untuk itu, hakekat pendidikan bukan hanya pada UN saja, bukan hanya mengukur knowledge, tapi kejujuran. UN adalah ujian untuk mengukur kejujuran semua pihak : para siswa, guru dan kepala sekolah. Semuanya diuji dalam UN ini. Karena memberitahu anak saat ujian sama dengan meracuni anak itu sendiri. Dalam aspek pedagogik, guru telah banyak mengetahui bagaimana pola belajar selama 3 tahun, model pembelajarannya, sarana belajarnya, kualitas tenaga pengajarnya dan aspek-aspek lainnya.
Begitu pula selama 3 tahun itu pula dipelajari hasil diagnostik kesulitan belajar siswa juga diagnostik kesulitan mengajar serta penelitian tindakan kelas (PTK). Selain itu, tentu ada juga try out (TO), untuk mengevaluasi hasil proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sehingga sudah cukup instrumen untuk mengoptimalkan proses KBM tersebut.
Saya percaya, dengan pola ajar seperti ini, maka Ujian Nasional tidak perlu terlalu dirisaukan oleh para orang tua kalau selama tiga tahun anak-anaknya memang diposisikan sebagai pelajar yang tentunya terus belajar memahami setiap pelajaran yang disampaikan gurunya di sekolah. Ada sebuah paradigma yang harus di rubah dalam dunia pendidikan kita. Kalau dulu orang tua sering mengatakan, "Jang sakola ameh jaga hirup senang". Jadi kesannya pendidikan itu untuk masa yang akan datang, padahal pendidikan bukan untuk masa yang akan datang saja tapi untuk sekarang. Sami'na wa a'to'na.
Hasil proses belajar selama 3 tahun di SMA/SMK atau selama 9 tahun sejak di SD, mulai hari ini hingga 24 April (SMA) dan hingga 22 April (SMK) akan diuji. Di Kab. Bandung pada hari ini ada sebanyak 11.623 siswa SMA (SMAN 4.787 siswa, dan SMAS 6.836 siswa) dan 4.662 siswa (SMKN 848 siswa dan SMKS 3.814 siswa) serta 2.680 siswa MA mengikuti ujian.
Distribusi soal ujian ini dari penyelenggara UN tingkat kab./kota bersama perguruan tinggi negeri menyampaikan bahan UN ke satuan pendidikan penyelenggara UN. Distribusi dilakukan setiap pagi sebelum dilaksanakannya UN, disertai dengan berita acara serah terima bahan UN. Setiap proses serah terima dan pengiriman bahan UN ke penyelenggara UN tingkat kab./kota dan ke satuan pendidikan penyelengara UN dengan pengawalan dari aparat keamanan.
Pengumuman hasil UN dilakukan secara serentak di SMA/SML dan MA penyelenggara selambat-lanbatnya pada minggu kedua bulan Juni 2009. Peserta dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan nilai rata-rata minimal 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Kab./kota dan atau satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN lebih tinggi dari kriteria tersebut. Selamat ujian! (penulis, kepala dinas pendidikan dan kebudayaan Kab. Bandung)**