Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Mudik Ah...

LEBARAN masih sembilan hari lagi, namun semangat untuk mudik mulai terasa di jalur-jalur jalan menuju luar kota. Kendaraan umum mulai dipadati penumpang yang akan mudik, begitu pula kendaraan-kendaraan pribadi, berseliweran dengan tumpukan barang-barang yang dikemas di atas kap kendaraan menuju ke luar kota. Mereka yang sudah memungkinkan untuk mudik, memilih lebih awal berangkat ketimbang harus berimpitan di jalanan macet pada puncak mudik nanti.

Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, terutama menjelang Idulfitri. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orangtua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia.

Beban yang paling berat yang dihadapi dalam mudik tentunya penyediaan sistem transportasinya, karena secara bersamaan jumlah masyarakat yang menggunakan angkutan umum atau kendaraan melalui jaringan jalan yang ada, sering mengakibatkan penumpang/pemakai jalan menghadapi kemacetan hingga penundaan perjalanan.

Bagi pemudik, pulang kampung memang tidak terpengaruh oleh impitan ekonomi. Tidak sedikit masyarakat yang meminjam sana-sini atau menggadaikan barang-barang berharganya untuk dapat mudik.

Karena aktivitas tersebut sebuah proses "wajib" untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah itu seorang pejabat tinggi, direktur maupun pengusaha, ketika di rantau Anda tetap saja bukan siapa-siapa atau sekadar nomor saja.

Tetapi di kampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak. Di situ kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen, bukan hanya basa-basi.

Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara. Jadi bukan hanya sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya, seperti yang dihayati di kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.

Ada yang menarik, terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi duta kota. Duta bagi banyak produk urban. Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik.

Dering ponsel di mana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa.

Tapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari sumur mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran, dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok:

tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.

Bagi orang yang datang dari kota, mudik bisa juga memperlihatkan "kenaikan" status sosial mereka dibandingkan dengan teman-temannya yang tetap tinggal di desa.(Sabtu, 12 September 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar