Welcome


Rabu, 18 Januari 2012

Guru Oh Guru....

SEORANG GURU, Pak Ikhlas, bukan nama sebenarnya, hampir 20 tahun menjadi guru. Ia
tidak pernah mengeluhkan ketika setiap hari harus berjalan kaki untuk menjangkau
sekolah dasar tempatnya mengajar.”Ah da kumaha, gaji guru mah pas-pasan, boro-boro
kanggo meser kendaraan, bumi ge abdi mah masih ngontrak
,” ujarnya.Namun ia tidak
kehilangan semangat untuk mengajar karena kecintaannya pada anak-anak.
Sekolahnya tempat mengajar ternyata tidak lebih baik. Dari 6 lokal bangunan yang ada
di sekolah dasar tersebut, dua bangungan langit-langitnya sudah pada bolong.
Gentingnya sudah sebagian hilang, jendelanya pecah-pecah, dan papan tulisnya tinggal
sepotong. Lebih parah lagi, ruang kepala sekolahnya, disana-sini sudah di-tunjel
dengan kayu. Beruntung, angin puting beliung, hingga sekarang belum menyapu kawasan
ini. Kalau datang, insya Allah, sekali sapu langsung ambruk.
Namun yang lebih mengejutkan kepala sekolah tempat Pak Ikhlas mengajar, ketika pekan
lalu menerima undangan dari dinas pendidikan.”Undangan itu begitu tiba-tiba. Hari ini
datang undangan besok sudah harus ngumpul,” ujar kepala sekolah itu. Baru duduk,
katanya, tiba-tiba mereka semua disodori soal-soal untuk ujian sertifikasi.
Kok bisa mendadak seperti ini, tanpa pemberitahuan lebih dulu,” ungkapnya
terheran-heran. Padahal di surat undangannya itu, tanggalnya jauh sebelum pelaksanaan
ujian sertifikasi tersebut.
Namun seperti juga Pak Ikhlas, hatinya yang bersih, menerima saja hal itu. Tekadnya
bulat, ingin memberikan keteladanan bagi anak-anak didik maupun lingkungan sosialnya.
Ia lurus menjalankan tugasnya, dan besok-besoknya masalah itu dilupakannya dan ia
sudah menjalankan tugasnya seperti biasa.
Nasib Bu Dharma, sebut saja begitu, juga seorang guru SD tidak lebih baik. Bahkan
lebih parah lagi, setiap akhir bulan sisa uang gajinya dua lembar uang seratus
ribuan. “Seep gaji ibu mah ku potongan bank. Ku BPD dipotong, kitu oge ku BPR.
Tinggal nyesa dua ratus rebu perak
,” ungkapnya.
Dalah dikumaha deui atuh, kapaksa we ka sakola oge menta izin teu ngajar mun tos teu
aya ongkos,
” ungkap ibu tiga orang putra yang terpaksa membiayai hidupnya sendiri
setelah bercerai dengan suaminya itu.
Namun kondisi seperti itu, katanya, masih mendingan karena jelas alasannya akibat ia
menggunakan uang pinjaman dari bank. Yang lebih parah lagi, katanya, “jual dedet “
barang-barang kesekolahnya. Mulai dari kain, kalender, hingga jam dinding. “Bahkan,
sekolah saya kan tidak punya WC, tapi tiba-tiba saja dikirimi terus alat-alat
pembersih WC sekolah. Bayarannya, yang di potong dari siapa lagi…” ungkapnya
tergelak.
Tapi lain Pak Cerdik, sebut saja demikian, mantan guru lainnya. Kariernya melaju
bagaikan roket yang melesat. 8 Tahun lalu, ia masih hanya seorang kepala sekolah
dasar biasa, namun tiba-tiba menjadi orang yang cukup penting dilingkungan dinas
pendidikan. Belum sampai setahun menduduki jabatannya itu, tunggangannya yang
sebelumnya hanyalah mobil tahun 1980-an, tiba-tiba berubah wujud menjadi mobil baru
yang harganya lebih dari 7 kali mobil itu. Tapi yang paling membuat tetangganya
geleng-geleng kepala, rumahnya juga tiba-tiba menjadi begitu’wah’. “Sabaraha gajina
eta kepala dinas pendidikan teh
,” ujar tetangganya yang menyangka ia menjadi kepala
dinas pendidikan.
Bahkan, salah seorang tokoh pendidikan yang tinggal dikawasan itu juga merasa miris
melihat cara ia merubah penampilannya itu. “Itu mah sangat mencolok. Padahal sebagai
pendidik seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat. Benar-benar tidak perlu
ditiru,” ujarnya tak habis pikir. Katanya, andai saja orang tuanya miliarder, dan ia
mendapat warisan miliaran kalau ia benar-benar punya komitmen terhadap pendidikan
tidak seharusnya “berubah wujud” seperti itu. “Apalagi kalau berasal dari masyarakat
biasa”.
***
Di Bank Jabar sendiri, menurut informasi yang didapat, total pinjaman guru di Kab.
Bandung sudah mencapai Rp 17 miliar, belum lagi yang di bank-bank kecil seperti Bank
Perkereditan Rakyat (BPR) yang jumlahnya tidak kurang dari Rp 3 miliar. Dari jumlah
pinjaman tersebut, seorang pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung mengatakan,
Bank Jabar saja mengeluarkan fee setiap bulannya sebesar 1% atau Rp 170 juta! (Data
tahun 2007). Namun aliran dana fee tersebut ke kocek mana masuknya,…Walahualam. Namun
yang jelas, kalau uang ini bisa dipertanggungjawabkan, tentunya akan muncul dana
sekitar Rp 2 miliar di digit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2007
sebagai fee pinjaman guru dari Bank Jabar.
Keprihatinan terhadap kondisi “jomplang” seperti itu ternyata (alhamdulillah) masih
menyentuh anggota DPRD Kabupaten Bandung (mudah-mudahan benar).”Perkawis guru sok
nyakolakeun SK ka bank atanapi BPR, eta mah fenomena anu tos teu tiasa
disumputkeun…Katingalna kedah aya dorongan kebijakan anggaran kangge ngadukung
peningkatan kesejahteraan guru. Insya Allah diperhatoskeun,” ungkap seorang anggota
DPRD Kab. Bandung.
Senada, salah seorang anggota Komisi D DPRD Kab. Bandung juga mengatakan, bahwa
komisinya akan sangat memperhatikan nasib para guru ini. “Insya Allah kami dari
Komisi D akan segera melakukan cross chek ke Bank Jabar serta BPR-BPR yang lain. Saya
sungguh sangat terkejut kalau jumlahnya sudah sampai sebesar itu. Kami ingin tahu
berapa sesungguhnya total pinjaman guru ke bank. Nanti kalau sudah ada datanya di
kabari lagi,” ungkapnya.
Rasa keprihatinan yang sama juga dikemukakan oleh seorang tokoh politik pimpinan
sebuah partai besar di Kab. Bandung. Ia mengatakan dirinya sangat berkepentingan
untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan para guru ini. Menurutnya, bagaimana guru
bisa berkonsentrasi mengajar dengan baik kalau ia terbebani oleh masalah keuangan
akibat mereka tidak diproteksi. Seharusnya, kata dia, ada batas minimal uang yang
dibawa ke rumah (take home pay-THP). Kalau THP-nya sudah dibawah sekali, atasannya
seharusnya melindungi guru tersebut untuk tidak melakukan pinjaman lagi. Jangan
karena mengejar fee, katanya, maka tidak memperhatikan lagi kondisi keuangan mereka.
“Ini akan menjadi tekad saya untuk memperbaiki kehidupan para guru tersebut,”
janjinya. Leres eta teh?***

Selasa, 27 Desember 2011

Jalan-jalan dengan Pak Tapran

JALAN-jalan dengan Pak Hidayat Tapran, penulis buku “Petunjuk Praktis Berlalu Lintas”, membuka banyak “kewajaran” menjadi “ketidakwajaran”. Sepanjang Jalan Soekarno Hatta Bandung, Pak Tapran menunjukan banyaknya rambu-rambu dari jalur cepat ke jalur lambat yang selain ukurannya salah juga penempatan. Pemasangan rambu-rambu itu dengan tiang ukuran tinggi, sehingga di beberapa titik polisi “berinisiatip” memasang rambu anjuran masuk ke jalur lambat dengan tiang pendek. Sedangkan penempatannya, seharusnya rambu larangan dulu, baru rambu anjuran masuk jalur lambat. Hampir semua rambu pemasangannya seperti itu, hanya rambu di depan Ampera dekat MTC yang penempatannya benar.
Di depan PT. LEN dari arah Barat ke Timur, Pak Tapran menunjukan tidak adanya marka jalan padahal aspal di jalan tersebut kelihatannya baru direhab. “Mungkin, kontrak dengan pemborongnya tidak sampai pembuatan marka jalan,” ungkapnya sambil tersenyum.
Yang menarik lagi di simpang jalan depan Komplek Batununggal. Dari arah Barat Jln. Soekarno Hatta, sebelum perempatan jalan tersebut terdapat rambu tanda seru berlatar belakang kuning, rambu persimpangan berlatar belakang kuning dan rambu traffic light. Padahal seharusnya, kata Pak Tapran, kalau persimpangan ada lampu pengatur lalu lintasnya tidak usah pakai tanda seru dan rambu persimpangan jalan lagi. “Selain itu, penempatannya juga jaraknya harus agak jauh, ya sekitar 50 meter sebelum persimpangan tersebut,” ungkapnya. Rambu-rambu yang dipasang dekat persimpangan itu, jaraknya tidak lebih dari 10 meter sebelum persimpangan.
Penempatan rambu-rambu yang dekat dengan obyek petunjuk tersebut juga terlihat di depan SMKN 2 Bandung. Dari jalur lambat, arah Timur ke Barat, beberapa meter dari sekolah tersebut terdapat tanda seru, rambu peringatan tentang adanya penyeberangan jalan, dan rambu tempat penyeberang jalan berlatar warna biru. Di sebuah kantor instansi pemerintah yang sangat berhubungan dengan keselamatan beralalu lintas, tepat di gerbang masuk ada rambu penunjuk arah dengan posisi tegak lurus menuju kantor tersebut. Padahal petunjuk itu artinya, semua kendaraan harus masuk kantor tersebut(?), seharusnya, miring 45 derajat kea rah bawah. Bahkan lewat Bunderan Jln. Sudirman-Jln. Soekarno-Hatta, tepatnya setelah pertigaan menuju Jln. Cijerah ada rambu penunjuk arah, aneh, arahnya ke bawah(?)
Begitu pula sepanjang jalan kita melihat petunjuk-petunjuk arah hampir semuanya menggunakan warna dasar hijau dengan tulisan putih. Padahal sebenarnya, kata pria yang banyak melakukan study banding mengenai rambu-rambu lalu lintas di dalam dan luar negeri ini, petunjuk arah dengan warna dasar hijau seharusnya digunakan untuk jalan yang menuju arah tol atau jalan bebas hambatan. Sedangkan untuk jalan-jalan di dalam kota, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota menggunakan warna dasar biru dengan tulisan putih. Sedangkan untuk jalan-jalan yang lebih kecil menggunakan warna dasar putih dengan tulisan hitam.
Pulang jalan-jalan dengan Pak Tapran, saya mengendarai kendaraan sambil memperhatikan begitu banyaknya rambu-rambu yang salah penempatannya maupun. Tidak hanya di Kota Bandung, di Kab. Bandung pun demikian. Bahkan sempat membuat saya tersenyum sendiri ketika akan melewati sebuah sekolah di Baleendah. Ada rambu tanda seru, disusul rambu peringatan tempat penyeberangan, tapi tempat penyeberangannya sendiri tidak ada.***

Selasa, 06 Desember 2011

Ayam dan Telor


DULU, ada seorang direktur sebuah rumah sakit yang kerap menganalogikan rumah sakit tempat mereka bernaung sebagai ayam yang setiap bulan menghasilkan telor. Ia kerap mewanti wanti ke semua sumberdaya manusia yang ada di sana untuk sebisa mungkin memelihara “ayam” ini agar tumbuh besar dan menghasilkan telor yang banyak. Tindakan oknum karyawan yang hanya menguntungkan diri sendiri dianggap sebagai ancaman yang akan membuat ayam sakit bahkan mati.
“Mangkanya dulu tindakan sekecil apapun yang bisa membuat ayam ini sakit aau bahkan mati harus kita hindari agar jangan sampai terjadi. Misalnya, oknum karyawan yang menjadi calo untuk pembelian obat buat pasien, atau tindakan-tindakan lainnya yang bisa menghambat kemajuan rumah sakit ini,” ujar wadir di rumah sakit tersebut saat berbincang di ruang kerjanya, Selasa (7/12/2011) pagi.
Di banyak perusahaan bahkan perusahaan yang berskala nasional pun memang tak sedikit oknum yang memanfaatkan peluang untuk mencari penghasilan tambahan dengan “mencekik” perusahaannya sendiri. Seusai menyelenggarakan sebuah turnamen voli di Kab. Bandung, saya pernah disodori kwitansi dana sponsorship yang jumlahnya lebih besar dari yang kami terima sebenarnya. “Ah, biasa kang, upami teu kieu timana abdi kenging penghasilan tambahan,” ungkapnya sambil malu malu.
Hal seperti itu, masih kita anggap mendingan, karena masih terjadi di sebuah perusahaan berskala nasional, ada oknum yang tega-teganya mencekik, membanting dan menggencet ayamnya sendiri dengan melaporkan kegiatan-kegiatan fiktip. “Saya sih di kantor hanya untuk formalitas saja, penghasilan sebenarnya dengan membuat laporan-laporan seperti ini,” ungkap orang tersebut nyaris seperti tanpa rasa bersalah saat mengungkapkan perilakunya itu di sebuah foodcourt di Bandung Indah Plaza (BIP).
Namun seperti kata pepatah, sepandai pandainya orang menutupi kotoran pasti ketahuan juga. Perusahaan tempat bernaung oknum karyawan tersebut memang akhirnya melakukan verifikasi ke semua lini dan begitu banyak borok-borok yang mengancam kelangsungan hidup ayam tersebut. Manajer regional dan cabangnya dig anti, begitu juga bagian-bagian lainnya yang dianggap menebar penyakit yang menjadikan ayam itu kolaps. Setelah dilakukan pembenahan, sekarang ayam itu kembali sehat dan bisa memberikan loncatan pendapatan hingga lebih dari 200%. Telor-telor yang dihasilkan pun lebih banyak, dan karyawannya tampak lebih sejahtera.
Untuk menyehatkan ayam yang terlanjur kena penyakit memang tidak mudah karena ada oknum-oknum yang menikmati keuntungan dibalik rasa sakit si ayam. Ia tidak mudah merubah kebiasaaannya. Ia dengan cara apapun akan berusaha mempertahankan keuntungan yang selama ini diterimanya. Dan, yang menyedihkan, sang pemilik bisa dibohongi habis-habisan oleh si oknum, yang akhirnya dengan leluasa mengambil keputusan-keputusan sendiri yang cenderung kontraproduktip.
Ayam harus sehat agar bisa memproduksi telor lebih banyak. Untuk itu, harus ada dibiasakan untuk membuka mata dan telinga agar sedini mungkin bisa menyadari munculnya virus maupun bakteri yang bakal menyerang ayam yang kita sayangi. Kalau antepan, yah tinggal menunggu waktu saja, ayam kita bisa mati.***

Senin, 30 Agustus 2010

Gagal Nyalon

HABIS sudah apa yang dimiliki Mang Pe'i. Ya hartanya, ya harga dirinya, juga seluruh pendukungnya yang selalu menjanjikan kemenangan padanya dalam pemilihan kepala desa (pilkades), untuk kembali berkuasa lima tahun ke depan. Kekalahannya dalam pilkades tahun ini tinggal menyisakan puing-puing kebanggaan dan rasa percaya dirinya sebagai calon kepala desa yang merasa paling diunggulkan.

Mang Pe'i terpekur. Harta dan kekuasaan ternyata tidak menjaminnya lolos sebagai kepala desa. Para pendukung yang menjanjikan kemenangan, ternyata hanya bualan besar, yang telah memenjarakan dirinya dalam rasa percaya diri yang berlebihan. Ia lengah oleh kepongahan. Hingga saat penentuan pemilihan suara, ia baru mengetahui, kekuatan dan dukungan yang dibangunnya seperti balon besar saat pecah, memecahkan jantungnya.

Mang Pe'i sendiri sebetulnya sudah berpikir bagaimana kalau di tengah gegap gempita dukungan ini ia kalah. Hati kecilnya sudah meniatkan dengan sepenuh hati kalau kalah maka ia harus siap. Namun kekalahan ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, sangat menyakitkan. Terlebih, sang pemenang Mang Adun adalah orang yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi seterunya. Bukan mustahil, sang pemenang sebagai penguasa baru, akan berbalik menggunakan kekuasaan untuk mengamputasi semua kekuasaan yang dimilikinya, dan membuatnya menjadi lebih terhina. "Audzubillahimindzalik," desah Mang Pe'i.

Mang Pe'i terus berpikir agar tidak sampai jatuh ke lubang paling dalam pada karier politik lokal di desanya. Ia mulai berpikir, bagaimana agar sisa hartanya bisa tumbuh lagi.

Ia memang memiliki beberapa perusahaan kecil dan menengah, tapi setelah tak berkuasa, mungkin berbagai masalah akan muncul. Bahkan, lawan-lawan politiknya bisa saja mengadukannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri bagaimana aliran dana yang dimilikinya selama ia berkuasa. KPK yang dulu saat ia berkuasa, masih bisa diajak kerja sama. Sekarang? Dengan orang-orang baru yang duduk di lembaga tersebut, mereka mungkin sudah tidak akan melirik lagi.

Hari itu seluruh anggota keluarga dikumpulkan. Semua pendapat dan ide mengalir dari otak cemerlang keluarga Mang Pe'i, mulai dari ide curang sampai ide halal untuk jangka pendek mapupun jangka panjang. Semuanya ditumpahkan dalam diskusi keluarga hari itu. Tapi dari pagi sampai menjelang subuh, tak satu pun ide yang berhasil melewati uji kelayakan untuk dijalankan, semuanya berisiko tinggi atau membutuhkan modal yang tidak sedikit. Semua orang terpekur diam mencari ilham.

Akhirnya, salah seorang menantunya teriak "Eureka!" Seperti teriakan Albert Einstein saat menemukan rumus hukum kekekalan energinya. "Naon eta teh?" kata saudara-saudara yang lainnya berbarengan. "Bah, ayeuna mah urang ka masjid we solat subuh. Bisi urang teh solatna can bener," ujarnya dengan senyum. "Huuu..." jawab yang lain sambil beranjak. (Sabtu, 31 Juli 201)**

Jumat, 21 Mei 2010

Syakieb A. Sungkar

TIDAK seperti biasaya, temanku Syakieb Ahmad Sungkar siang itu jalan kaki ke rumah orang tuaku di sebuah gang di Jalan Jatayu Bandung. Padahal biasanya, motor Honda Super Cub C-800 warna hitam dengan setia menemaninya ke manapun dia pergi. "Lho, Kenapa ngga pakai motor Kib?," tanyaku kepadanya. Ia dengan enteng menjawab, "Ilang".
"Lho, kok ilang motor santai gitu?," susulku. "Untung gua baru menyelesaikan buku Kho Phing Hoo. Di bagian akhir buku yang gua baca, beberapa lembar menceritakan tentang filsafat hilang. Guwa jadi tenang," jawabnya.
Syakieb memang kuat dalam membaca. Di tempat kosnya, di Jln. Tubagus Ismail dalam saat itu, penuh dengan buku-buku terbaru. Satu kebiasaannya, tak pernah ketinggalan membeli dan membaca hingga tamat buku-buku best seller, atau yang sedang digandrungi para aktifis. Karena kebiasaannya itu, daya nalarnya luas. Ia terbiasa mentranslasikan bacaan berat yang dibacanya menjadi mudah dimengerti oleh yang mendengarnya.
Selagi kuliah di Teknik Elektro ITB, Syakieb Ahmad Sungkar sepertinya tak rela malamnya terlewat begitu saja. Tiap jam dua dini hari ia bangun, kemudian mengambil wudhu dan sholat malam. Ini hampir tiap hari dilakukannya meski ia baru bisa tidur pukul 12 malam atau bahkan pukul satu dini hari. Mungkin karena bathinnya yang terasah seperti ini, kerap dalam pergaulan dengan teman-temannya ia terlihat sangat menonjol. Joke-jokenya seperti tak pernah kering. Terus membuat suasana menjadi segar dengan kehadirannya.
Tidurnya tidak lebih dari tiga jam, bahkan ia kerap tidur hanya satu atau dua jam
untuk kemudian beraktifitas hingga larut malam lagi. Kebiasaanya itu menjadikan Syakieb punya waktu yang panjang untuk beraktifitas. Sehingga tidak hanya aktif di rajin kuliah di kampusnya, ia bisa menjadi aktifis di Kota Bandung, menikmati kegemarannya dalam seni rupa dan nonton film serta pertunjukan musik. Di samping tentunya mencoba makanan-makanan baru di Bandung.
Lepas kuliah, ia sempat ragu bisa diterima bekerja di perusahaan pemerintah. Namun ia sangat tercengang ketika lamarannya ke PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dan PT. Indonesian Satellite Corporation Tbk (PT. Indosat Tbk) dua-duanya di terima. Ia harus memutuskan salah satu diantaranya. Dan, akhirnya Syakieb mengambil PT. Indosat dan ditempatkan di Jatiluhur.
Di BUMN ini, ia menapaki karir seperti menapaki anak tangga yang tak satupun terlewatkan. Tapak demi tapak. Bahkan, saat yang lain masih berkonsentrasi ke bidang satelit yang menjadi core bisnis BUMN ini, Syakieb paling dulu mempelajari telepon seluler, dan ia sudah memprediksi, ke depan bisnis tersebut akan booming di Indonesia. Prediksinya itu benar. Sampai akhirnya, ia menapaki tangga paling tinggi, hanya satu dua tapak sebelum anak tangga paling puncak. Direktur Regional Sales dan Chief Sales Officer. Dan, seperti biasanya, ia tetap bersahaja, termasuk saat teman-teman lainnya mulai mendapat fasilitas mobil bagus, ia tetap menggunakan Kijang Innova. Ia tetap bergaul dengan teman-temannya dengan hangat, tidak ada perubahan, seperti Syakieb saat dikenal dulu. Syakieb tetap memelihara pertemanan, dan tidak ada rasa canggung.
Setelah ikut menjadi pioneer yang merubah core bisnis Indosat, kini Syakieb "dibajak" oleh AXIS (PT. Natrindo Telepon Selluler). "Gua ingin tantangan baru. Indosat kan sudah berkembang maju, dan gua ninggalin Indosat dalam kondisi sangat baik," ungkapnya. Nada bicaranya sama saat ia saya tanya alasannya mengambil bidang marketing padahal latarbelakang pendidikannya teknik. "Gua ingin tantangan baru," jawabnya saat itu.
Di AXIS, Akib, panggilan akrab Syakieb, kemungkinan akan menduduki jabatan yang sama, namun yang pasti ia dibayar jauh lebih tinggi dibandingkan perusahaannya dulu. Di samping itu, ia melihat struktur AXIS yang masih ramping bisa mendorong perusahaan ini berlari lebih cepat. Maka ia mematok target dalam satu tahun pertama, minimal ada pertumbuhan penjualan dan pelanggan baru hingga 100%."AXIS ini masih enak dilakukan penataannya karena ramping," ujarnya pekan kemarin saat berbincang mengenai kepindahannya itu.
Kehadiran Syakieb biasanya memberi pencerahan. Begitu pula kehadirannya di AXIS, saya yakin akan memberi suasana baru yang menyegarkan di perusahaan milik penguasa bisnis seluler di Malaysia dan Arab Saudi ini. Selamat sobat, Allah bersamamu, dan sukses berikutnya dihadapanmu.

Selasa, 11 Mei 2010

Upah Buruh

SAAT "ngerumpi" di luar tugas, seorang buruh kita dan orang Eropa yang menjadi tenaga kerja asing (TKA) di sebuah perusahaan, saling menanyakan penghasilan masing-masing. "Berapa gaji Anda dan untuk apa saja uang sejumlah itu?" tanya buruh kita mengawali pembicaraan.

Orang Eropa menjawab, "Gaji saya 5.000 dolar AS, 1.000 dolar untuk tempat tinggal, 1.000 dolar untuk makan dan transport, 500 dolar untuk hiburan, 500 dolar untuk simpanan liburan."

"Lalu sisa US 2.000 dolar untuk apa?" tanya buruh tersebut. Orang Eropa menjawab secara ketus, "Oh...itu urusan saya, Anda tidak perlu bertanya!"

Kemudian orang Eropa balik bertanya, "Kalau penghasilan Anda?" Buruh kita menjawab, "Gaji saya Rp 1,1 juta, Rp 400 ribu untuk kontrakan, Rp 350 ribu untuk makan, Rp 200 ribu untuk bensin motor, Rp 450 ribu untuk belanja istri, Rp 200 ribu untuk sekolah anak, Rp 350 ribu, bayar cicilan motor, Rp. 100 ribu untuk..."

Saat buruh kita nyeroscos menjelaskan, orang Eropa menyetop penjelasan itu dan langsung bertanya. "Uang itu jumlahnya sudah melampui gaji Anda. Sisanya dari mana?" katanya keheranan.

Kemudian, buruh itu menjawab dengan enteng, "Begini Mister, uang yang kurang, itu urusan saya. Anda tidak berhak bertanya-tanya."

Buruh kita memang "sakti", dengan penghasilan yang serba pas-pasan mereka tetap bisa survive. Seperti sebuah pepatah, "bisa karena biasa, biasa karena dipaksa". Bayangkan, dengan penghasilan Rp 1,1 juta (di atas UMK sedikit), mereka bisa tetap rutin bekerja, menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan tidak sedikit yang masih bisa menyicil kendaraan roda dua.

Berdasarkan SK Gubernur Jabar No. 561/ Kep.1665-Bangsos/2009 tentang UMK di Jabar tahun 2010, UMK tertinggi, Kota Bekasi Rp 1.168.974 dan UMK terendah Kab. Sukabumi, Rp 671.500. Sedangkan Kota Bandung Rp 1.118.000, Kab. Bandung Rp 1.060.500, Kab. Bandung Barat Rp 1.105.225, Kota Cimahi Rp 1.107.304, dan Kab. paten Sumedang Rp 1.058.978.

Nilai upah buruh tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan PNS/TNI/Polri. Bahkan sejak Januari 2010 pemerintah sudah menaikkan tunjangan mereka, dan mulai Mei ini gaji PNS/TNI/Polri juga akan mengalami kenaikan.

"Dengan langkah-langkah perbaikan penghasilan pegawai yang telah dilaksanakan selama periode 2004-2009, maka pendapatan PNS golongan terendah dapat kita tingkatkan 2,5 kali, yaitu dari Rp 674.000 per bulan pada tahun 2004 menjadi Rp 1.721.000 pada tahun 2009," kata Presiden saat pidato rencana menaikkan gaji PNS/TNI/Polri itu.

Buruh? Di Kab. Sukabumi pada tahun 2004, UMK-nya Rp 408.500, hanya naik Rp 263.000 dalam enam tahun. Begitu pula, buruh di kota dan kabupaten lainnya, kenaikannya tak signifikan. Sadarkah Presiden bahwa "keberhasilannya" itu berpotensi mempertinggi jurang si kaya dan si miskin? (Kamis, 06 Mei 2010)**
Share

May Day

HARI Buruh Internasional (May Day), 1 Mei 2010, di Jabar kemungkinan tidak akan menimbulkan "ledakan" seperti tahun-tahun sebelumnya. Energi potensial buruh di Jabar, tampaknya sudah sedikit disalurkan melalui dialog perburuhan yang digagas Bambang Eka Purnama cs dari Koalisi Buruh Jabar, di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan Bandung, Jumat (30/4) siang.

Namanya juga dialog dengan buruh, tentunya harus siap sedikit berkeringat, mengingat masalah-masalah yang mereka hadapi begitu besar dan mendasar. Dari masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, tenaga outsourcing, Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), masalah PHK karyawan Hotel Papandayan, PT Adetek, PT Naintek, dan lain-lain, semua mengalir seperti air yang dimuntahkan. Saya yang memandu acara tersebut, sempat terkejut ketika sesi pertama tanya jawab dibuka, hampir semua peserta yang duduk, tiba-tiba berdiri mengangkat tangan untuk menyampaikan masalahnya. Mereka begitu antusias.

"PPHI itu sebaiknya dibubarkan!" ujar seorang buruh mengawali penyampaian masalah. "PHI sudah bergeser artinya menjadi Penindasan, Himpitan, dan Intimidasi!" cetus buruh lainnya dari Cimahi. Ada juga ada yang menyampaikan keluhan PHK dengan pesangon 10 juta yang dicicil selama 9 bulan, seperti bank perkreditan.

Namun beruntung, para panelis yang hadir, Ketua DPRD Jabar Irfan Suryanegara, Kabidkum Polda Jabar Kombes Pol. Jati Wiyono, dan pengawas dari Disnaker Jabar, Sabar Sitorus bisa merespons semua itu, sejalan dengan semangat perubahan. "Untuk masalah karyawan Papandayan dan Naintek, saya tunggu Senin (3/5) di DPRD Jabar," sambut Irfan.

Irfan juga menawarkan kepada para serikat untuk membuat draf regulasi yang tepat untuk lebih melindungi para buruh di Jabar. "Ingat, ketika masalah ACFTA digulirkan oleh buruh, saya satu-satunya Ketua DPRD di Indonesia yang menandatangani permohonan penangguhan pelaksanaannya," tandasnya.

Begitu juga "orang baik" Sabar Sitorus. Ia mampu meyakinkan pihak buruh bahwa setiap permasalahan yang digulirkan ditangani dengan baik dan optimal. "Boleh Saudara catat, kalau pensiun nanti, saya akan mengonsentrasikan diri untuk mengadvokasi kepentingan buruh, terutama buruh outsorcing," ungkapnya.

Tak kalah, Kombes Pol. Jati Wiyono juga meyakinkan bahwa polisi terbuka untuk menampung masalah-masalah yang dihadapi buruh, termasuk dugaan makelar kasus (markus). "Sudah tidak zamannya markus berkeliaran. Kita akan respons setiap masalah buruh. Tapi jangan pakai surat, datang langsung pada kami," katanya. Dialog pun bisa dikendalikan sesuai jadwal dan ditutup dengan penandatanganan nota kesepahaman semua pihak, kecuali Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang tidak hadir dalam acara tersebut.

Yang menarik bagi saya, mengapa acara seperti ini tidak dilakukan secara rutin satu bulan sekali atau tiga bulan sekali. Dalam pandangan saya, ini sungguh bisa jadi katup pengaman masalah perburuhan, sekaligus alat kontrol dalam mengimplementasikan aturan. Selamat Hari Buruh!.(Sabtu, 01 Mei 2010)**

Rabu, 10 Maret 2010

Lahan Kritis

PEMERINTAH tampaknya sudah beak dengkak dalam mengatasi banjir akibat luapan Sungai Citarum. Mulai dari pengerukan sungai, pembuatan tanggul di beberapa titik yang menjadi langganan banjir, rehabilitasi lahan dengan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), hingga kemungkinan pemangkasan Curug Jompong yang banyak menuai protes.

Meski telah banyak upaya dilakukan, namun banjir tetap datang dan cakupannya semakin luas. Bahkan, banjir yang terjadi pada pertengahan Februari 2010 di daerah Baleendah, cakupannya hampir mendekati banjir yang terjadi pada 1986. Padahal, ratusan miliar uang sudah digelontorkan untuk menangani masalah ini.

Upaya yang lebih serius tampaknya akan dilakukan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Dalam berita di koran ini, Kamis (4/3), tak tanggung-tanggung, Gubernur meminta kebutuhan dana untuk menangani hulu dan anak-anak Sungai Citarum sebesar Rp 3,4 triliun. Menurutnya, banjir terjadi akibat berkurangnya areal hutan lindung dan perkembangan permukiman di kawasan hulu.

Dana tersebut antara lain untuk konservasi di 7 sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu (Rp 1,5 triliun), relokasi perumahan di Cieunteung, Dayeuhkolot, dan Citepus (Rp 286 miliar), normalisasi 9 anak Sungai Citarum (Rp 312 miliar), serta normalisasi dan pengerukan dasar Sungai Sapan-Pananjung (Rp 125 miliar).

Selain itu, pembenahan drainase (Rp 50 miliar), revitalisasi permukiman dan infrastruktur bantaran sungai (Rp 55 miliar), pembangunan 22 waduk dan kolam retensi (Rp 1,02 triliun), serta pembangunan area evakuasi dan sosialisasi (Rp 5 miliar). Kalau dana tersebut bisa direalisasikan, menurut Gubernur pengerjaannya bisa dilakukan dalam kurun waktu 2010-2011.

Yang menarik, di bagian berita lainnya, Polda Jabar tengah menangani dugaan penyimpangan dana proyek GRLK yang bernilai Rp 1,75 miliar. Menarik, karena di satu sisi ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, sementara dana rehabilitasi lahan kritis itu sendiri sangat rawan untuk disalahgunakan. Karena supervisi yang lemah, maka dengan mudah gerakan yang tujuannya mulia itu dirusak sistem maupun dalam pelaksanaannya.

Program yang dilakukan pemerintah sebetulnya sudah baik, hanya pemerintah sendiri tidak bisa mengambil sikap tegas terhadap oknum yang merusak program tersebut. Padahal kalau upaya tersebut diimplementasikan dengan dukungan manajerial pemerintahan yang baik dan perusahaan yang kapabel, maka rehabilitasi lahan dengan dana sebesar itu bukanlah hal yang sulit.

Jangan sampai upaya pemprov menggelontorkan dana yang demikian besar, malah kembali menghidupkan "budaya" tangan-tangan jahil yang mencari nafkah dengan cara yang tidak baik.(Jumat, 05 Maret 2010)


Kamis, 18 Februari 2010

Terpenjara Teori

TEMANKU, Syakieb Ahmad Sungkar pernah bercerita. Menurutnya,jebolan perguruan tinggi itu ada tiga kategori. Pertama, golongan yang waktu di kampus urakan dan lupa sama pelajaran. "Golongan ini, saat meninggalkan kampus dan bekerja biasanya masuk kelompok out of the box. Mereka jarang yang menduduki posisi penting di perusahaan," ujar mantan aktifis Pelajar Islam Indone¬sia (PII) Kota Bandung yang sekarang menjadi Chief Sales Officer PT. Indosat Tbk Pusat ini.

Kedua, kata temanku ini, golongan yang sedikit urakan tapi bertanggungjawab pada pendidikannya. Ia senang baca buku dan hal-hal yang baru, nonton pertunjukan musik dan film, modis serta suka bergaul. Ia bisa menyelesaikan kuliah dikampusnya meski tidak sedikit yang terlambat. "Golongan ini, saat bekerja biasanya masuk in the box, kerap masuk dalam posisi penting di perusahaan", katanya. Kenapa? "Karena faktor nakal menjadikan dia berani sedikit-sedikit nubruk aturan," tandasnya.
"Yang paling berbahaya," katanya. "Golongan yang waktu kuliah rajin, tak sehari pun waktu yang terlewatkan untuk mengikuti pelajaran, kutu buku, dan textbook". Lho? "Golongan ini yang disebut in the book!," tandasnya. "Lulus kuliah paling tepat bekerja di Lab.!".
Apa yang dikatakannya, kembali teringat ketika dalam "Pelatihan Nasional Penulisan Artikel" yang digelar HU. Galamedia, ada seorang peserta (mungkin mewakili isi hati semua peserta) yang menanyakan, bagaimana menjadi penulis yang baik?.
Tidak sedikit orang ketika akan mempelajari sesuatu yang baru terjebak pada teori yang diajarkannya. Terpenjara oleh teori. Seorang saudara yang pernah ikut kursus stir mobil begitu takut mengendarai mobilnya. Akibatnya, bukannya ia bisa mengemudikan mobil sebagaimana diharapkannya malah jadi serba takut.
Begitu pula ketika seorang anak diajarkan untuk berenang. Peneka nan teori yang berlebihan, kerap menjadikan anak malah serba salah dan tidak pernah bisa berenang. Teori berenang yang telah memenuhi otak anak tersebut tidak jarang menjadikan ia malah seperti kebingungan karena banyaknya "instruksi".
Dulu di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris di sebelah barat rel kereta api Cimindi, Cimahi, para instruktur mengajarkan orang yang pertama kali bergabung untuk bercakap pakai bahasa Inggris.
Mereka diberi bacaan, kemudian diharuskan untuk di hapal, dan saat pertama kali masuk ke tempat kursus harus mempraktekan text conversation yang telah di hapalnya. Setelah mulutnya sudah "keinggris-inggrisan", baru tata bahasa Inggris diperkenalkan. Rata-rata dalam tiga bulan, para peserta sudah bisa petangtang-petengteng ngomong Ingris dengan orang bule.
Demikian pula saat memberikan pelajaran mengemudi yang utama adalah bagaimana mendorong peserta untuk berani dan percaya diri menjalankan kendaraannya. Selama mereka tidak punya keberanian dan percaya diri, maka akan sulit melihat hasil yang diharapkan.
Untuk mendorong hal tersebut, pelatih yang piawai, akan memasang ganjal kecil dibawah pedal gas. Sehingga, sekencang apapun peserta kursus mengemudi menginjak gas, maka yang terjadi adalah seperti mereka memainkan bom-bom car. Kecepatan mereka akan terkontrol, dan mereka sangat menikmati bisa menjadi "sopir".
Untuk menjadi penulis pun demikian. Ia tidak akan pernah menjadi penulis apalagi menjadi penulis yang baik kalau jarang menulis. Jadilah seperti pengemudi yang dengan berani mencoba-coba menja¬lankan kendaraannya. Menulislah!, dan terus menulis. Kata Goena¬wan Mohamad, teori menyusul kalau kita ingin meningkatkan kuali¬tas tulisan kita. Kecuali kalau kita hanya ingin menguasai teori tentang menulis, konsern menjadi pengajar atau masuk ke dalam golongan "in the book"!. (Kamis, 18 Pebruari 2010).

Senin, 08 Februari 2010

Dinamika Jelang Pilbup

KETUA Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kab. Bandung H. Yadi Srimulyadi memastikan sebagai kandidat satu-satunya dari parpol berlambang banteng bermoncong putih itu sebagai calon bupati (cabup). Dalam Konferensi Cabang (Konfercab) yang diselenggarakan Minggu (7/2), ia menghapus semua spekulasi yang sebelumnya muncul bahwa di parpol itu akan ada nama lain dari kalangan pesohor.

Dengan majunya Yadi sebagai cabup berarti sudah dua nama yang sudah dipastikan oleh partainya akan maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Kab. Bandung 2010. Sebelumnya, dalam Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar (DPD PG), H. Dadang M. Nasser sebagai satu-satunya calon yang diusung parpol berlambang pohon beringin rindang itu. Saat itu, H. Hilman Sukirman terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD PG menggantikan ketua sebelumnya H. Obar Sobarna. Paket ini kemudian di kalangan kadernya muncul sebutan "Danhil" (Dadang-Hilman).

Berbeda dengan kandidat PG yang masih berpotensi konflik, Yadi kemungkinan besar akan melaju dan tinggal mencari pendamping. Pada rapat kemarin, DPP PDIP lebih berharap Konfercab bisa menelurkan langsung paket cabup. Namun karena peta kekuatan parpol-parpol lain belum jelas, maka untuk pasangan calon wakil bupati (cawabup) sepenuhnya diserahkan kepada cabup yang direkomendasikan DPP PDIP nanti. Hanya para pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) dan Ranting di desa-desa berharap, pasangan (cawabup) yang akan diusung nanti tetap dibicarakan dengan mereka.

Parpol yang sementara ini dianggap chemistry-nya memungkinkan dengan PDIP, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih getol membahas calon yang akan diusungnya. Sempat muncul nama-nama dari kader PKS sendiri, seperti Haris Yuliana dan Arifin Sobari. Sementara dari luar PKS, nama-nama yang muncul di antaranya Dadang Rusdiana dan Tatang Rustandar. Untuk PKS, sejauh ini popularitas bisa dinomorduakan asal kandidat selain kapabel, juga punya kemampuan finansial yang memadai.

Sementara Partai Demokrat (PD) tinggal menggodok sembilan kandidat yang sudah mendaftar ke parpol besutan SBY ini. Melihat banyaknya kandidat, di internal Partai Demokrat sendiri sempat muncul cabup dan cawabupnya satu paket. Namun hal ini tampaknya masih diperdebatkan.

Sementara itu, ruang untuk calon independen sepertinya bakal tertutup akibat gencarnya manuver yang dilakukan oleh Tatang Rustandar dan Djamu Kertabudi. Kedua kandidat ini mampu mengoleksi puluhan ribu bahkan mungkin sudah mencapai ratusan ribu kartu tanda penduduk (KTP) sebagai bukti dukungan terhadap mereka. Untuk kandidat dari independen, undang-undang mensyaratkan dukungan minimal 100 ribu orang.

Yang menarik, apakah Tatang dan Djamu sendiri akan benar-benar mencalonkan diri atau hanya jadi mission imposible? Karena, dengan mengkoleksi banyak KTP maka kemungkinan terjadi duplikasi dukungan terhadap calon independen yang lain dan tentu ini bisa menggugurkan mereka. Ataukah mau berdagang? Karena sekarang ini isunya per KTP sudah Rp 10.000, sehingga untuk kandidat independen, untuk maju saja dengan bukti dukungan 100.000 orang harus minimal harus mengeluarkan dana Rp 1 miliar, belum untuk kebutuhan lainnya. Masih adakah calon independen yang akan maju? (Senin, 08 Februari 2010)**