Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Kekuatan Media Massa

HAMPIR sepekan, Indonesia "dibius" kasus seputar perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Puncaknya ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman pembicaraan orang-orang yang diduga terlibat dalam upaya kriminalisasi KPK.

Kasus "cicak" (KPK) melawan "buaya" (Polri) memang menarik. Apalagi informasi perkembangan kasus yang melibatkan petinggi KPK dan petinggi Polri tersebut, dapat diperoleh dengan sangat mudah. Dalam hitungan menit, masyarakat bisa memperoleh informasi tersebut. Tak heran jika masyarakat begitu hafal kronologi kasus yang membawa Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka. Hampir setiap waktu mereka membaca, melihat, dan mendengar perkembangan kasus tersebut.

Begitu banyak informasi yang berseliweran di media massa. Begitu banyak narasumber dari beragam profesi yang memberikan komentar. Bagi sebagian orang, keadaan ini membingungkan, karena masing-masing narasumber memberikan komentar yang menurutnya paling benar. Belum lagi klarifikasi yang disampaikan oleh mereka yang terkait dalam kasus tersebut, seperti Susno Duadji, Anggodo Widjojo, Ari Muladi, Eddy Sumarsono, Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, dan terakhir Antasari Azhar, yang baru dimintai keterangan oleh Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (Tim 8). Mereka pun mengatakan bahwa pengakuan mereka paling benar.

Menyikapi kasus tersebut masyarakat terbelah, sebagian memberikan dukungan kepada Bibit dan Chandra, sebagian lagi kepada Polri. Terlepas dari sikap masyarakat, kasus cicak vs buaya ini menjadi besar, tidak lepas dari peranan media. Begitu media memberitakan ada kejanggalan dalam penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka oleh polisi, kasus ini menyita perhatian publik. Apalagi selanjutnya diberitakan, sangkaan kepada Bibit dan Chandra berubah-ubah.

Masyarakat selanjutnya dibombardir dengan komentar-komentar narasumber yang cenderung "memanaskan" situasi. Apalagi komentar-komentar narasumber di media televisi yang disiarkan secara langsung, ditelan mentah-mentah oleh pemirsa.

Kasus cicak vs buaya merupakan bukti kekuatan media massa dalam membentuk opini masyarakat. Walaupun media tidak bermaksud mengarahkan opini masyarakat, namun tayangan-tayangan langsung serta komentar-komentar narasumber mampu menggiring pendapat, persepsi, dan dukungan masyarakat. Tak heran jika kemudian, sikap masyarakat condong pada pihak tertentu.

Kekuatan yang dimilikinya, tidak harus membuat media massa merasa jumawa. Merasa bisa mengatur ke arah mana opini masyarakat digiring. Apalagi menggunakan kekuatannya untuk kepentingan segelintir orang. Mudah-mudahan, dalam kasus cicak vs buaya, media massa sudah tepat menggunakan kekuatannya untuk kepentingan masyarakat. Lebih besar lagi, untuk kepentingan bangsa dan negara.(Senin, 09 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar