Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Perang Opini

BARANGKALI baru sekarang inilah "perang opini" antara institusi penegak hukum dan yang dijadikan tersangka begitu terbuka. Masyarakat dengan mudah mengikuti institusi Polri maupun kejaksaan tengah "menelanjangi" dirinya, sehingga dengan mudah memberikan opininya masing-masing.

Masyarakat terus diberi suguhan menarik dari peristiwa nyata yang dipertontonkan Antasari, Chandra, dan Bibit dengan pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung. Setiap kali ada kejutan menarik dalam kasus yang dituduhkan kepada Antasari serta Chandra dan Bibit, seketika itu pula pihak kepolisian maupun kejaksaan memberikan alibi, bahkan dengan menunjukkan video segala.

Ada hal yang menarik dalam perang opini tersebut, betapa alat-alat pembuktian yang dijadikan fakta hukum bagi Antasari maupun Chandra dan Bibit, yang dipertunjukkan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan terkesan lemah. Misalnya ketika polisi mendakwakan adanya aliran dana dari Anggoro melalui Ari Muladi ke Chandra dan Bibit, ternyata fakta hukumnya tidak bisa diungkapkan. Sehingga Tim 8 bentukan Presiden SBY yang diketuai Adnan Buyung Nasution menganggap terjadi missing link (jaringan terputus) dari aliran dana yang diduga diterima Chandra dan Bibit.

Begitu pula fakta-fakta hukum lainnya yang diperlihatkan penegak hukum tersebut, seperti saat adanya bantahan Wiliardi Wizar atas berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik. Polri malah mempertontonkan video Antasari yang menyampaikan testimoni untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga, kesan dari komunikasi yang disampaikan Polri tersebut malah memperkuat dugaan adanya skenario besar untuk membubarkan lembaga yang menjadi saingan Polri maupun kejaksaan tersebut, yakni KPK.

Masyarakat merasakan, semakin Polri atau kejaksaan beralibi, semakin memperkuat dugaan adanya rekayasa untuk mengkriminalisasikan KPK. Hal ini kemungkinan dari perjalanan panjang kinerja kedua lembaga tersebut yang telah banyak mengecewakan masyarakat. Akumulasi kekecewaan masyarakat tersebut menjadikan sulit bagi mereka untuk mempercayai lagi institusi penegak hukum yang dipimpin Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan Hendarman Supanji itu.

Masyarakat mungkin lebih berharap, biarlah KPK tidak diusik dulu hingga Polri maupun kejaksaan benar-benar menunjukkan prestasi kerjanya dalam pemberantasan korupsi. Tunjukkan kepada masyarakat dalam satu atau dua tahun ke depan kedua institusi ini benar-benar mampu membersihkan dirinya dari pemerasan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan jual beli pasal. Masyarakat dengan sendirinya akan percaya kalau kedua institusi itu mampu memberikan hukuman berat bagi oknum-oknum yang telah merusak citra institusinya sendiri.

Kita tentunya sangat prihatin ketika mendengar sosialisasi yang disampaikan seorang kepala kejaksaan negeri yang hanya dibebani target menjerat 3 kasus korupsi per tahun. Ternyata, yang dijerat hanyalah kasus-kasus teri, di mana korbannya hanyalah kepala desa dan pengurus koperasi. Sementara kasus besar dibiarkan berlalu karena target dari tugasnya sudah tercapai. Mengecewakan memang. (Jumat, 13 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar