Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Banjir Lagi, Mi Instan Lagi

HUJAN lagi, banjir lagi. Banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot sepertinya tak pernah bisa teratasi, setiap kali musim hujan banjir selalu datang. Sabtu (21/11) malam, Jln. Siliwangi Baleendah, depan POM bensin, terputus akibat air yang menggenangi ruas jalan tersebut naik lebih dari setengah meter.

Camat Baleendah Rulia Hadiana, bersama Ketua LPM Baleendah Agus Rusmawan dan sekretarisnya Wawan Chandra yang tengah malam masih nongkrongin banjir mengatakan, salah satu penyebab genangan itu karena tanggul yang dibuat Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum retak. Kondisi ini yang sebelumnya dikhawatirkan warga Kp. Cieunteung, yang secara swadaya membuat tanggul sepanjang 300 meter di pinggiran sungai tersebut. Kualitas tanggul yang dibuat BBWS tersebut, menurut warga, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanggul buatan warga, terutama dalam campuran semennya.

Kalau serius, pemerintah daerah sebetulnya bisa meminimalisasi genangan air yang rutin menyerang warga di kampung tersebut. Selama ini, pemerintah hanya "ngabebenjokeun" dengan makanan atau bahan kebutuhan pokok. Masalah-masalah urgen seperti untuk mengatasi banjir itu sendiri dan kemungkinan terjadinya kekurangan air bersih, nyaris tidak pernah ada upaya yang serius. Atau lebih terkesan mengandalkan bantuan dan upaya dari pemerintah pusat.

Upaya penanggulan pinggiran sungai yang dilakukan warga sebetulnya memakan biaya yang tidak terlalu besar. Untuk membuat tanggul sepanjang 300 meter dengan lebar tanggul 60 cm dan kedalaman rata-rata 2,5 meter hanya menghabiskan anggaran sekira Rp 100 juta (minus tenaga kerja, karena warga otomatis mau kerja bakti untuk menyelamatkan daerahnya sendiri). Kalau kualitas tanggul ini mau ditingkatkan, barangkali dengan anggaran Rp 300 juta, bisa dilakukan penanggulan dengan kualitas yang lebih baik lagi. Penanggulan seperti ini terbukti bisa sedikit mengatasi banjir yang terjadi di kawasan Parunghalang, Kel. Andir.

Selain itu, yang seharusnya ada, yaitu alat untuk pengolahan air bersih, karena saat banjir, air bersih yang disediakan pemerintah melalui mobil tangki bisa jadi bahan rebutan. Pemerintah daerah, sebetulnya bisa menyediakan alat permanen untuk mengolah air Sungai Citarum menjadi air bersih yang bisa langsung diminum, seperti mobil pengolah air yang pernah disediakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kab. Bandung beberapa waktu lalu.

Yang menjadi keprihatinan kita adalah belum adanya upaya yang lebih serius dan simultan dalam mengatasi penderitaan warga tersebut. Kecuali yang menonjol hanyalah mengumpulkan bantuan-bantuan berupa sembako, seperti mi instan, air mineral, dan beras. Sementara sekolah yang terendam hingga sekarang tidak pernah bisa diatasi, rumah-rumah warga yang terendam, setiap tahun semakin tinggi saja air yang menggenanginya kalau tanpa upaya dari warga sendiri. Banjir tidaklah cukup hanya diatasi dengan sembako atau mi instan! (Senin, 23 November 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar