Welcome


Senin, 08 Februari 2010

Dinamika Jelang Pilbup

KETUA Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kab. Bandung H. Yadi Srimulyadi memastikan sebagai kandidat satu-satunya dari parpol berlambang banteng bermoncong putih itu sebagai calon bupati (cabup). Dalam Konferensi Cabang (Konfercab) yang diselenggarakan Minggu (7/2), ia menghapus semua spekulasi yang sebelumnya muncul bahwa di parpol itu akan ada nama lain dari kalangan pesohor.

Dengan majunya Yadi sebagai cabup berarti sudah dua nama yang sudah dipastikan oleh partainya akan maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Kab. Bandung 2010. Sebelumnya, dalam Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar (DPD PG), H. Dadang M. Nasser sebagai satu-satunya calon yang diusung parpol berlambang pohon beringin rindang itu. Saat itu, H. Hilman Sukirman terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD PG menggantikan ketua sebelumnya H. Obar Sobarna. Paket ini kemudian di kalangan kadernya muncul sebutan "Danhil" (Dadang-Hilman).

Berbeda dengan kandidat PG yang masih berpotensi konflik, Yadi kemungkinan besar akan melaju dan tinggal mencari pendamping. Pada rapat kemarin, DPP PDIP lebih berharap Konfercab bisa menelurkan langsung paket cabup. Namun karena peta kekuatan parpol-parpol lain belum jelas, maka untuk pasangan calon wakil bupati (cawabup) sepenuhnya diserahkan kepada cabup yang direkomendasikan DPP PDIP nanti. Hanya para pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) dan Ranting di desa-desa berharap, pasangan (cawabup) yang akan diusung nanti tetap dibicarakan dengan mereka.

Parpol yang sementara ini dianggap chemistry-nya memungkinkan dengan PDIP, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih getol membahas calon yang akan diusungnya. Sempat muncul nama-nama dari kader PKS sendiri, seperti Haris Yuliana dan Arifin Sobari. Sementara dari luar PKS, nama-nama yang muncul di antaranya Dadang Rusdiana dan Tatang Rustandar. Untuk PKS, sejauh ini popularitas bisa dinomorduakan asal kandidat selain kapabel, juga punya kemampuan finansial yang memadai.

Sementara Partai Demokrat (PD) tinggal menggodok sembilan kandidat yang sudah mendaftar ke parpol besutan SBY ini. Melihat banyaknya kandidat, di internal Partai Demokrat sendiri sempat muncul cabup dan cawabupnya satu paket. Namun hal ini tampaknya masih diperdebatkan.

Sementara itu, ruang untuk calon independen sepertinya bakal tertutup akibat gencarnya manuver yang dilakukan oleh Tatang Rustandar dan Djamu Kertabudi. Kedua kandidat ini mampu mengoleksi puluhan ribu bahkan mungkin sudah mencapai ratusan ribu kartu tanda penduduk (KTP) sebagai bukti dukungan terhadap mereka. Untuk kandidat dari independen, undang-undang mensyaratkan dukungan minimal 100 ribu orang.

Yang menarik, apakah Tatang dan Djamu sendiri akan benar-benar mencalonkan diri atau hanya jadi mission imposible? Karena, dengan mengkoleksi banyak KTP maka kemungkinan terjadi duplikasi dukungan terhadap calon independen yang lain dan tentu ini bisa menggugurkan mereka. Ataukah mau berdagang? Karena sekarang ini isunya per KTP sudah Rp 10.000, sehingga untuk kandidat independen, untuk maju saja dengan bukti dukungan 100.000 orang harus minimal harus mengeluarkan dana Rp 1 miliar, belum untuk kebutuhan lainnya. Masih adakah calon independen yang akan maju? (Senin, 08 Februari 2010)**



Dana BOS

KEHADIRAN dana biaya operasional sekolah (BOS) selain mengimplementasikan program "sekolah gratis", juga sebagai tindak lanjut dari Undang-undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Namun sangat ironis ketika semangat itu didorong, dana yang digelontorkan pemerintah melalui program tersebut tidak terserap. Di Jawa Barat sebagaimana ditulis harian ini, masih Rp 24 miliar lebih dana BOS yang tidak terserap dari total dana BOS provinsi tahun 2009 sebesar Rp 622 miliar lebih.

Padahal kalau kita melihat ke pelosok, masih sangat banyak sekolah yang memerlukan dana bantuan seperti ini. Tentunya tetap harus ditunjang pengawasan serta manajemen yang lebih baik di sekolah penerima dana tersebut. Agar dana yang tujuannya mulia untuk membantu memperlancar pendidikan anak-anak di sekolah tidak malah menjadi dana milik Bos (kepala sekolah).

Ketika melihat kenyataan masih begitu banyak dana BOS yang tidak terserap, kita tentu prihatin. Perjalanan dana BOS ini melalui perjuangan yang tidak mudah.

Amanat UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatur pendanaan tersebut selama bertahun-tahun, pemerintah belum merealisasikan anggaran 20%. Dalam kurun 2005-2008, para guru dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menuntut pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) untuk mematuhi UU 20/2003 agar APBN memberi porsi 20% bagi pendidikan.

Hingga Mei 2008, para guru memenangkan gugatan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar pemerintah SBY-JK mematuhi UU 20/2003, khususnya anggaran 20% APBN untuk pendidikan. Inilah salah satu kemenangan para pendidik menuntut hak mendidik generasi muda. Pemerintah SBY-JK "terpaksa" menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan. Angka ini meningkat cukup signifikan, karena kita tahu bahwa sektor pendidikan pada tahun 2007 hanya menerima sebesar 11,8% dari APBN (Rp 50,02 triliun). Dan pada tahun 2008 hanya 12% dari APBN (Rp 61,4 triliun). Dan pada tahun 2009, pemerintah baru menganggarkan pendidikan 20% APBN setelah digugat di antaranya oleh para guru melalui PGRI. Hasil perjuangan para guru yang tergabung dalam PGRI yang tidak henti-henti menyuarakan 20% selama 3 tahun akhirnya benar-benar dapat direalisasikan.

Tentu hasil yang diupayakan dengan tenaga dan pikiran itu sangatlah disayangkan kalau benar-benar tidak dilaksanakan dengan baik. Sistemnya harus lebih dibenahi agar dana tersebut dianggarkan sesuai dengan jumlah siswa dan benar-benar bisa seluruhnya terserap sekolah-sekolah. Alasan ketidaklengkapan administrasi karena banyaknya siswa yang berubah status sekolahnya tentunya jangan dibiarkan, namun harus segera dibantu dengan teknologi informasi yang bisa setiap saat meng-update data siswa paling mutakhir.(Sabtu, 06 Februari 2010) **


Raperda

KOTA Bandung akan memprioritaskan lima rancangan peraturan daerah (raperda) yang diajukan pihak eksekutif kepada anggota DPRD. Kelima raperda tersebut, yaitu Raperda Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), Raperda Bangunan Gedung, Raperda Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Tempat Khusus Parkir, Raperda Pajak Hiburan, dan Raperda Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol serta Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.

Yang menarik, untuk membahas lima raperda itu diperkirakan membutuhkan anggaran Rp 1,5 miliar atau rata-rata satu raperda butuh dana Rp 300 juta. Ini barangkali tidak terlalu mahal kalau reperda ini bisa memberikan dampak yang baik. Tidak seperti raperda-raperda sebelumnya yang setelah disahkan jadi perda, malah hanya dijadikan pelengkap perpustakaan di bagian hukum.

Ini sebuah ilustrasi. Seorang wakil kepala daerah mengeluhkan perda yang dengan mudah diganti oleh perda juga yang kontra dengan perda sebelumnya. Perda itu berbunyi tentang larangan izin untuk industri celup di daerah tersebut, karena dianggap sangat mencemari lingkungan. Pada tahun 2008 perda tersebut tiba-tiba dicabut tanpa sepengetahuannya, apalagi disosialisasikan kemasyarakat atau stakeholder. Perda baru itu memberikan ruang untuk berdirinya industri pencelupan.

Raperda RT/RW diharapkan tidak saja memberikan kejelasan mengenai status lembaga terkecil yang banyak membantu tugas pemerintahan, juga bagaimana memberikan insentif yang lebih baik agar mereka bisa menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh. Bagaimanapun peran dan tanggung jawab RT dan RW sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Begitu pula Raperda Bangunan Gedung, Raperda Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Restribusi Tempat Khusus Parkir, Raperda Pajak Hiburan, dan Raperda Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol serta Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, harus berisi klausul-klausul dengan sasaran yang jelas dan dapat diimplementasikan di lapangan. Jangan sampai ada kesan perda dibuat untuk alasan yang sifatnya insidental dan kepentingan tertentu.

Selain perda-perda tersebut, kita juga masih berharap di Kota Bandung ada perda penataan pedagang kaki lima (PKL). Perda ini sangat penting karena Pemerintah Kota Bandung sepertinya belum secara serius melihat potensi PKL. PKL terkesan hanya dianggap sebagai biang kesemrawutan yang mengotori wajah kota. Namun belum ada lokasi-lokasi PKL yang bener-benar dilindungi perda, sehingga meskipun mereka menempati tempat-tempat tertentu, masih dianggap belum nyaman.

Lebih dari itu, tentu kita sangat berharap PKL menjadi bagian tujuan wisata belanja bagi wisatawan yang datang ke Bandung. Suatu saat kita berharap, bagi wisatawan yang mau berkunjung ke Bandung dengan cara hemat, bisa berlama-lama di pusat-pusat komoditas yang dijual PKL. (Jumat, 05 Februari 2010)**



Abubakar

BUPATI Bandung Barat, Abubakar, akhirnya memasuki babak baru dalam kariernya sebagai pimpinan sebuah partai politik. Birokrat tulen yang banyak menghabiskan waktunya di Pemkab Bandung ini, Minggu (31/1) lalu terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kab. Bandung Barat (KBB).

Melihat perjalanan kariernya, sulit diprediksi pria yang lahir di Bandung, 9 Desember 1952 ini bisa benar-benar larut dalam partai berlambang banteng tersebut. Saat "GM" ikut hadir dalam penetapan pasangan Cabup KBB dengan Wabup Ernawan Natawisastra ke Sekretariat DPD PDIP Jabar, Jln. Pelajar Pejuang, Januari 2008 lalu, ia masih begitu kaku. Begitu beres penetapan yang dihadiri Ketua DPD PDIP Jabar, Rudy Harsa Tanaya dan salah satu Wakil Ketua DPD PDIP Jabar, Rahardi Zakaria di lantai dua, ia turun dari tangga dengan senyum yang juga masih kaku dan langsung meninggalkan sekretariat parpol tersebut. Berbeda dengan Ernawan yang saat itu membaur dan bercanda dengan beberapa pengurus DPD PDIP, pengurus DPC PDIP KBB serta anggota dewan partai tersebut.

Namun rupanya waktu telah mengubah tampilan Abubakar, terutama saat pemilihan presiden (pilpres). Ia terkesan "habis-habisan" membela pasangan Mega-Prabowo sampai nyaris offside karena munculnya dugaan penggunaan dana APBD untuk kepentingan kampanye tersebut. Namun terlepas dari benar atau tidaknya, momentum itu benar-benar telah mengangkat citra Abubakar di mata kader dan pengurus partai tersebut.

Suami dari Elin Suharliah ini, setelah terpilih menjadi orang nomor satu di DPC PDIP KBB, praktis melakukan metamorfosis penuh dari warna kuning ke warna merah. Ia harus terbiasa dengan tradisi politik PDIP yang cenderung lebih terbuka dan demokratis. Berbeda dengan suasana di birokrasi yang terkesan ia sebagai pemegang "komando" tertinggi.

Ayah dari Alia Kadarsih, Aulia Hasan Sumantri, dan Aulia Husen Subagja ini memang kalau tidak sampai memimpin parpol tersebut, cukup riskan dalam perjalanan politiknya ke depan. Seperti yang sebelumnya dilakukan dengan taktis oleh wakilnya, Ernawan Natasaputra yang telah lebih awal terpilih sebagai Ketua DPD Partai Golkar KBB.

Bagi masyarakat KBB, terpilihnya Abubakar sebagai Ketua DPC PDIP ini diharapkan bisa lebih mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat, sesuai tradisi politik yang berkembang di PDIP. Karena kalau tidak piawai di trek barunya ini, jangan-jangan ia malah dijauhi kader maupun pengurus PDIP, baik yang ada di ranting maupun di pimpinan anak cabang (PAC). Kalau hal ini terjadi, tentu akan berakibat buruk pada perjalanan kariernya sebagai orang nomor satu di KBB.

Kita berharap kehadiran Abubakar di jagat barunya ini bisa lebih memberikan pencitraan yang lebih baik untuk PDIP di masyarakat, sebuah modal bagi partai modern ke depan. Karena ke depan, masyarakat lebih berharap, parpol sebagai kendaraan bagi wakil mereka di legislatif, bisa memberikan harapan baru yang lebih jelas, kompeten, dan konsisten dengan apa yang akan diperjuangkannya. Selamat!(Selasa, 02 Februari 2010) **



Wakil Rakyat

PANTAS saja proses jenjang karier di lingkungan pemerintahan di Indonesia tidak berjalan mulus dan sering zig-zag. Seorang pegawai biasa, tiba-tiba naik pangkat menjadi kepala subbagian (kasubag) dan tidak lama kemudian jadi kepala bagian. Sementara tidak sedikit orang yang benar-benar mempersiapkan diri, baik dari sisi akademis maupun kompetensi, tetap saja kariernya bergerak lambat seperti siput.

Menghadapi kondisi ini pada tahun 2010 ini pemerintah rencananya membuat undang-undang untuk pengaturan jenjang karier agar orang-orang yang kompeten bisa diberi ruang dan lebih terakomodasi. Beberapa pasal di undang-undang itu menyebutkan, wakil kepala sekolah dipromosikan menjadi kepala sekolah, wakil kepala dinas menjadi kepala dinas, wakil kepala bagian menjadi kepala bagian, wakil bupati atau wakil wali kota menjadi bupati atau wali kota, dan wakil gubernur menjadi gubernur.

Namun ternyata, ketika undang-undang itu diajukan, wakil rakyat di lembaga terhormat tidak pernah mau menyetujuinya. Lo! Apa yang jadi penyebab? Ternyata gara-garanya satu klausul yang berbunyi, "wakil rakyat harus siap dipromosikan menjadi rakyat!"

Cerita wakil rakyat memang tidak akan pernah ada putusnya, seperti anekdot di atas. Dari cerita menggelikan seperti yang pernah disampaikan almarhum Gus Dur di sidang paripurna DPR RI, yang menyebut wakil rakyat seperti taman kanak-kanak hingga kasus-kasus yang membelitnya.

Seperti kasus yang tengah membelit puluhan wakil rakyat dari Kota Cirebon dan Kota Bogor. Di Cirebon, sebanyak 23 wakil rakyat, baik yang masih aktif maupun yang sudah "dipromosikan" menjadi rakyat, disidang karena dugaan korupsi dana APBD 2004 senilai Rp 4,9 miliar. Sedangkan di Bogor 40 wakil rakyat dan juga mantan wakil rakyat ditahan karena terlibat dana fiktif APBD 2002 senilai 6,8 miliar.

Ironis memang kalau melihat kasus-kasus yang melilit wakil rakyat ini, karena sangat kontraproduktif dengan apa yang sering dikampanyekan saat mereka berusaha merebut simpati rakyat untuk duduk di lembaga terhormat itu. Kasus-kasus seperti ini jelas akan sangat melukai rakyat. Bukan saja rakyat merasa dibohongi, namun juga merasa dikhianati oleh mereka yang dipercaya sebagai penyambung lidah rakyat.

Kasus yang menimpa para wakil rakyat ini memang bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Sistem pemerintahan kita tentu harus lebih dibenahi agar standar operasional prosedural (SOP)-nya tidak memberikan celah terjadinya pengeluaran dana untuk dikorupsi. Begitu juga orang-orang yang duduk di instansi pengawas dana pemerintah, baik inspektorat maupun badan pemeriksa keuangan, tentu harus bisa lebih steril dari praktik-praktik yang bisa merusak wibawa mereka.

Untuk para wakil rakyat yang duduk di lembaga terhormat, tentu masyarakat berharap bisa bekerja jauh lebih baik dari periode sebelumnya. Kalau tidak, tentu nasibnya akan sama dengan rekan mereka yang berada di Bogor dan Cirebon. Jadi rakyat setelah menjadi wakil rakyat memang sangat tidak mengenakkan!(Kamis, 04 Februari 2010) **




Infrastruktur

SAYANG, Menteri Perindustrian, Moch. S. Hidayat hanya terjebak macet satu jam pada kunjungannya ke kawasan industri di Jln. Moh. Toha, Senin (1/2). Mungkin akan lebih menarik kalau ia juga terjebak banjir yang biasa menyergap kawasan itu, sehingga kendaraannya bisa tertahan beberapa jam, seperti yang sering dialami warga yang akan menuju Bandung Selatan.

Tapi kita masih bersyukur Tuhan mengingatkan menteri dengan kemacetan tersebut, sehingga dalam kunjungan itu, ia mengingatkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk lebih membenahi infrastruktur, khususnya di cluster-cluster industri. Ini masalah lama memang, yang hanya bisa diharapkan segera teratasi, namun realisasinya seperti pungguk merindukan bulan.

Kita bermimpi infrastruktur di kawasan industri bisa dibenahi sehingga bisa memberikan kenyamanan kepada para investor, yang pada akhirnya akan meningkatkan roda ekonomi daerah, serta bisa memberikan kontribusi pada peningakatan pendapatan masyarakatnya. Dengan kondisi infrastruktur seperti sekarang, bagaimana mungkin bisa menarik investor baru. Banjir kerap menggenangi jalan di kawasan tersebut, pembuangan air limbah terpadu tidak ada (kalau pun ada di Cisirung, belum termanfaatkan secara optimal). Kalau malam, penerangan jalan umum (PJU) di kawasan itu pun banyak yang mati dan seperti kurang pemeliharaan.

Kawasan industri Jln. Moh. Toha adalah "gerbang" menuju kawasan industri di Bandung Selatan yang nyambung ke kawasan industri di Jln. Siliwangi Baleendah dan Jln. Laswi Majalaya. Tentu peningkatan kualitas jalan dan saluran yang tertata serta terpelihara dengan baik akan mampu mengulang kembali kejayaan Kab. Bandung sebagai kontributor terbesar tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Mimpi tersebut mudah-mudahan segera menjadi kenyataan karena pada 2010 ini, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan meningkatkan anggaran APBD 100% untuk perbaikan infrastruktur. Kalau pada tahun 2009 hanya dianggarkan Rp 500 miliar, maka pada tahun ini kata gubernur dianggarkan Rp 1 triliun. Kita berharap, dana yang dialokasikan itu benar-benar bisa digunakan secara optimal serta bisa menekan kebocoran agar kualitas infrastruktur selain lebih baik juga tahan lama. Kita percaya, pasangan gubernur dan wakil gubernur yang berjuang untuk mengedepankan pemerintahan yang akuntabel bisa terefleksikan pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur.

Upaya ini akan berkorelasi positif terhadap upaya Pemprov Jabar yang mendorong terbukanya satu juta lapangan kerja. Tentu dengan tumbuh kembangnya industri di kawasan ini akan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap upaya tersebut, selain upaya menciptakan wirausaha mandiri yang sekarang tengah digalakkan.

Ibadah dari pemerintah provinsi ini tentunya bisa berefek domino pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan ekonomi serta peningkatan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan. Semoga. (Rabu, 03 Februari 2010)**



Bantuan Gempa

KEPALA SMAN Pangalengan, Udis Karmawijaya mengatakan beruntung gempa 7,3 skala richter (SR) yang mengguncang daerah Kec. Pangalengan, Kab. Bandung pada 2 September 2009 tertolong oleh "koma". Coba kalau menggelinding dan menjadi "titik", katanya, akibat yang ditimbulkan akan jauh lebih parah. Udis tidak mengatakan, titik yang dimaksud seperti ramalan bangsa Maya yang menentukan titik itu pada 21 Desember 2012.

Meski demikian, akibat gempa 7,3 SR itu, dua bangunan sekolahnya ambruk total, puluhan komputer di lab. komputer dan ruang internet terguncang-guncang seperti dalam sauh yang tengah diempas gelombang laut. Akibatnya, tidak seperempatnya sisa komputer yang bisa digunakan. Untuk kembali melanjutkan "kehidupan" di sekolah itu, dirinya dan jajaran komite sekolah berusaha keras untuk melengkapi sarana dan prasarana yang ada di sekolah itu.

Akibat gempa itu, kalau kita jalan-jalan ke kawasan Pangalengan, tidak hanya sekolah, puluhan bangunan porak-poranda dan seperti meminta bantuan kita semua. Harapan yang digantungkan pada pemerintah seperti asap yang menggumpal kemudian perlahan hilang.

Padahal, pemerintah pusat berjanji menggelontorkan dana untuk menuntaskan anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi gempa di Jawa Barat pada tahun 2010 ini. Untuk itu, pemerintah pusat telah menganggarkan dana sekitar Rp 1,3 trilun dalam APBN 2010. Masyarakat korban gempa di Pangalengan sangat berharap segera terealisasinya janji tersebut. Ucapan itu disampaikan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) Jabar, Ujualprana Sigit kepada wartawan di sela-sela acara pelantikan pejabat eselon III dan IV di Aula Pusdai Bandung, Jumat (29/1) lalu.

Dana tersebut, merupakan dana on-call BNPB sebesar Rp 3 triliun. Jadi jika digunakan untuk menalangi dana bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa di Jabar, anggaran on-call BNPB masih tersisa banyak. Dana Rp 1,3 triliun itu, jelasnya, akan digunakan untuk membangun rumah korban gempa Jabar di 14 kota/kabupaten.

Kab. Bandung termasuk daerah yang terlambat mencairkan dana bantuan itu di samping Kab. Garut. Setelah berkoordinasi dengan provinsi, semuanya sudah terselesaikan dan dana bantuan itu sudah ada di rekening kelompok masyarakat (pokmas).

Kita berharap, bantuan tersebut tidak hanya bisa segera dicairkan dan segera sampai ke tangan para korban gempa, namun juga benar-benar tepat sasaran. Di beberapa daerah masih ada potensi terjadinya konflik antara pokmas dengan masyarakat yang berhak menerima bantuan tersebut, juga dengan pengurus daerah seperti RT dan RW.

Penjelasan yang baik dan transparan tentu sangat diperlukan agar bantuan yang seharusnya bisa membantu meringankan beban para korban tidak menambah beban baru karena salah dalam penyalurannya.

Tentunya yang paling penting, kita semua telah diingatkan Tuhan yang Maha Perkasa oleh guncangan yang hanya bertanda "koma" agar kita semua segera berbenah diri sebelum ada guncangan yang berupa "titik" akhir kehidupan. (Senin, 01 Februari 2010)**


Minggu, 07 Februari 2010

Jual Bayi

KALAU boleh menyarankan kepada para janin yang akan lahir, hati-hatilah memilih rahim orang Indonesia. Sekarang ini sedang terjadi gejala aneh. Jangan-jangan kamu sedang dijadikan komoditas ibumu. Begitu lahir, ibumu akan mencari pembeli dan kalian pun berpisah. Besok-besoknya, ibumu kembali berpikir untuk membuat bayi seperti kamu lagi.

Seperti yang dilakukan seorang ibu di Tasikmalaya yang Jumat (15/1) lalu menjual bayi perempuannya yang baru berusia lima bulan seharga Rp 3 juta kepada seorang istri anggota DPRD setempat. Siti Hasanah, ibu kandung sang bayi, mengaku terpaksa menjual anaknya, Elsa, karena lilitan ekonomi.

Di Bandung, transaksinya lebih murah lagi. Seorang ibu muda, Ida Hamidah (23), warga Gg. Blok Beas RT 04/RW 05 Kel. Caringin, Kec. Bandung Kulon, menjual anak kandungnya usia 9 bulan, Diva Naibaho seharga Rp 500 ribu. Seperti juga Siti Hasanah, Ida menjual buah hatinya itu karena alasan ekonomi.

Kemiskinan bagi sebagian masyarakat kita demikian telah memorakporandakan sisi kemanusiaan yang seharusnya dipelihara. Anak yang sejatinya investasi yang harus ditumbuhkembangkan orangtua dan bisa menjadi penolong di hari tua, dicerabut untuk kepentingan sesaat. Daya tahan hidup orangtua demikian lemah sehingga tega memisahkan dirinya dengan belahan jiwanya.

Kalau sampai kecederungan ini tidak segera diatasi, jangan-jangan nanti malah berkembang menjadi usaha baru, di mana posisi wanita yang tega menjual anaknya menjadi sebuah alat produksi. Karena merasakan keuntungan ekonomi dari menjual bayi tersebut, ia akan melakukan dan melakukannya lagi. Naudzubillahimindzalik!

Kita faham, ini bukan hanya masalah orangtua, namun juga masalah pemeritah. Karena sebagaimana diatur dalam UUD'45 pada pasal 34 ayat 1, fakir miskin dan anak - anak telantar dipelihara oleh negara. UUD 1945 pasal 34 ayat 1 tersebut mempunyai makna bahwa negara bertanggung jawab untuk membantu fakir miskin untuk lebih berdaya, dan orangtua yang tak mampu memelihara anaknya karena alasan kemiskinan, bisa dibantu oleh negara. Representasi dari negara, tentu pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui berbagai jaminan sosial dan kesehatan.

Atau jangan-jangan penyelenggara negara mengartikannya dengan cara lain. Seperti sebuah anekdot berikut ini.

Utusan dari PBB datang untuk meninjau keadaan anak-anak miskin di Indonesia. Setelah melihat kondisi yang memprihatinkan dan jumlahnya yang banyak, utusan itu mengusap dada dan bertanya kepada utusan pemerintah yang menemuinya. "Bagaimana tanggung jawab pemerintah saat ini? Bagaimana mungkin begitu banyak anak-anak miskin dan telantar di negeri yang besar ini? Bagaimana pemerintah merealisasikan undang-undang tentang pemeliharaan anak telantar?"

Dengan tenang, utusan pemerintah menjawab, "Undang-undang itu mengatakan bahwa anak-anak miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Undang-undang itu tidak mengatakan tanggung jawab negara. Jadi mereka semua ya, dipelihara saja". Nah! Sabtu, 30 Januari 2010**