Welcome


Rabu, 18 Januari 2012

Guru Oh Guru....

SEORANG GURU, Pak Ikhlas, bukan nama sebenarnya, hampir 20 tahun menjadi guru. Ia
tidak pernah mengeluhkan ketika setiap hari harus berjalan kaki untuk menjangkau
sekolah dasar tempatnya mengajar.”Ah da kumaha, gaji guru mah pas-pasan, boro-boro
kanggo meser kendaraan, bumi ge abdi mah masih ngontrak
,” ujarnya.Namun ia tidak
kehilangan semangat untuk mengajar karena kecintaannya pada anak-anak.
Sekolahnya tempat mengajar ternyata tidak lebih baik. Dari 6 lokal bangunan yang ada
di sekolah dasar tersebut, dua bangungan langit-langitnya sudah pada bolong.
Gentingnya sudah sebagian hilang, jendelanya pecah-pecah, dan papan tulisnya tinggal
sepotong. Lebih parah lagi, ruang kepala sekolahnya, disana-sini sudah di-tunjel
dengan kayu. Beruntung, angin puting beliung, hingga sekarang belum menyapu kawasan
ini. Kalau datang, insya Allah, sekali sapu langsung ambruk.
Namun yang lebih mengejutkan kepala sekolah tempat Pak Ikhlas mengajar, ketika pekan
lalu menerima undangan dari dinas pendidikan.”Undangan itu begitu tiba-tiba. Hari ini
datang undangan besok sudah harus ngumpul,” ujar kepala sekolah itu. Baru duduk,
katanya, tiba-tiba mereka semua disodori soal-soal untuk ujian sertifikasi.
Kok bisa mendadak seperti ini, tanpa pemberitahuan lebih dulu,” ungkapnya
terheran-heran. Padahal di surat undangannya itu, tanggalnya jauh sebelum pelaksanaan
ujian sertifikasi tersebut.
Namun seperti juga Pak Ikhlas, hatinya yang bersih, menerima saja hal itu. Tekadnya
bulat, ingin memberikan keteladanan bagi anak-anak didik maupun lingkungan sosialnya.
Ia lurus menjalankan tugasnya, dan besok-besoknya masalah itu dilupakannya dan ia
sudah menjalankan tugasnya seperti biasa.
Nasib Bu Dharma, sebut saja begitu, juga seorang guru SD tidak lebih baik. Bahkan
lebih parah lagi, setiap akhir bulan sisa uang gajinya dua lembar uang seratus
ribuan. “Seep gaji ibu mah ku potongan bank. Ku BPD dipotong, kitu oge ku BPR.
Tinggal nyesa dua ratus rebu perak
,” ungkapnya.
Dalah dikumaha deui atuh, kapaksa we ka sakola oge menta izin teu ngajar mun tos teu
aya ongkos,
” ungkap ibu tiga orang putra yang terpaksa membiayai hidupnya sendiri
setelah bercerai dengan suaminya itu.
Namun kondisi seperti itu, katanya, masih mendingan karena jelas alasannya akibat ia
menggunakan uang pinjaman dari bank. Yang lebih parah lagi, katanya, “jual dedet “
barang-barang kesekolahnya. Mulai dari kain, kalender, hingga jam dinding. “Bahkan,
sekolah saya kan tidak punya WC, tapi tiba-tiba saja dikirimi terus alat-alat
pembersih WC sekolah. Bayarannya, yang di potong dari siapa lagi…” ungkapnya
tergelak.
Tapi lain Pak Cerdik, sebut saja demikian, mantan guru lainnya. Kariernya melaju
bagaikan roket yang melesat. 8 Tahun lalu, ia masih hanya seorang kepala sekolah
dasar biasa, namun tiba-tiba menjadi orang yang cukup penting dilingkungan dinas
pendidikan. Belum sampai setahun menduduki jabatannya itu, tunggangannya yang
sebelumnya hanyalah mobil tahun 1980-an, tiba-tiba berubah wujud menjadi mobil baru
yang harganya lebih dari 7 kali mobil itu. Tapi yang paling membuat tetangganya
geleng-geleng kepala, rumahnya juga tiba-tiba menjadi begitu’wah’. “Sabaraha gajina
eta kepala dinas pendidikan teh
,” ujar tetangganya yang menyangka ia menjadi kepala
dinas pendidikan.
Bahkan, salah seorang tokoh pendidikan yang tinggal dikawasan itu juga merasa miris
melihat cara ia merubah penampilannya itu. “Itu mah sangat mencolok. Padahal sebagai
pendidik seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat. Benar-benar tidak perlu
ditiru,” ujarnya tak habis pikir. Katanya, andai saja orang tuanya miliarder, dan ia
mendapat warisan miliaran kalau ia benar-benar punya komitmen terhadap pendidikan
tidak seharusnya “berubah wujud” seperti itu. “Apalagi kalau berasal dari masyarakat
biasa”.
***
Di Bank Jabar sendiri, menurut informasi yang didapat, total pinjaman guru di Kab.
Bandung sudah mencapai Rp 17 miliar, belum lagi yang di bank-bank kecil seperti Bank
Perkereditan Rakyat (BPR) yang jumlahnya tidak kurang dari Rp 3 miliar. Dari jumlah
pinjaman tersebut, seorang pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung mengatakan,
Bank Jabar saja mengeluarkan fee setiap bulannya sebesar 1% atau Rp 170 juta! (Data
tahun 2007). Namun aliran dana fee tersebut ke kocek mana masuknya,…Walahualam. Namun
yang jelas, kalau uang ini bisa dipertanggungjawabkan, tentunya akan muncul dana
sekitar Rp 2 miliar di digit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2007
sebagai fee pinjaman guru dari Bank Jabar.
Keprihatinan terhadap kondisi “jomplang” seperti itu ternyata (alhamdulillah) masih
menyentuh anggota DPRD Kabupaten Bandung (mudah-mudahan benar).”Perkawis guru sok
nyakolakeun SK ka bank atanapi BPR, eta mah fenomena anu tos teu tiasa
disumputkeun…Katingalna kedah aya dorongan kebijakan anggaran kangge ngadukung
peningkatan kesejahteraan guru. Insya Allah diperhatoskeun,” ungkap seorang anggota
DPRD Kab. Bandung.
Senada, salah seorang anggota Komisi D DPRD Kab. Bandung juga mengatakan, bahwa
komisinya akan sangat memperhatikan nasib para guru ini. “Insya Allah kami dari
Komisi D akan segera melakukan cross chek ke Bank Jabar serta BPR-BPR yang lain. Saya
sungguh sangat terkejut kalau jumlahnya sudah sampai sebesar itu. Kami ingin tahu
berapa sesungguhnya total pinjaman guru ke bank. Nanti kalau sudah ada datanya di
kabari lagi,” ungkapnya.
Rasa keprihatinan yang sama juga dikemukakan oleh seorang tokoh politik pimpinan
sebuah partai besar di Kab. Bandung. Ia mengatakan dirinya sangat berkepentingan
untuk memperhatikan nasib dan kesejahteraan para guru ini. Menurutnya, bagaimana guru
bisa berkonsentrasi mengajar dengan baik kalau ia terbebani oleh masalah keuangan
akibat mereka tidak diproteksi. Seharusnya, kata dia, ada batas minimal uang yang
dibawa ke rumah (take home pay-THP). Kalau THP-nya sudah dibawah sekali, atasannya
seharusnya melindungi guru tersebut untuk tidak melakukan pinjaman lagi. Jangan
karena mengejar fee, katanya, maka tidak memperhatikan lagi kondisi keuangan mereka.
“Ini akan menjadi tekad saya untuk memperbaiki kehidupan para guru tersebut,”
janjinya. Leres eta teh?***