Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

RUU Ketenagalistrikan

MASYARAKAT tampaknya harus siap-siap menghadapi "kejutan" naiknya tarif dasar listrik (TDL) ke depan, seiring dengan diperbolehkannya pihak swasta berinvestasi di bidang pembangkit dan penjualan tenaga listrik. Selasa (8/9), DPR sudah mengesahkan Undang-undang Ketenagalistrikan yang baru, menggantikan UU No. 15/1985.

Upaya "liberalisasi" ketenagalistrikan sebetulnya sudah dilakukan dengan munculnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun karena banyak dicaplok perusahaan swasta, Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU itu pada 15 Desember 2004. Dengan keputusan itu, UU yang mengatur ketenagalistrikan kembali kepada UU No. 15/1985.

Baru saja UU itu disahkan DPR dan belum mendapat pengesahan presiden, aroma bakal adanya kenaikan harga listrik langsung terasa. Begitu selesai sidang, DPR langsung mengusulkan untuk menurunkan subsidi listrik dengan menaikkan TDL. Menurut Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Suharso Monoarfa, pemerintah dapat menaikkan TDL berdasarkan pengelompokan pelanggan.

Sayangnya dalam UU yang baru disahkan itu tidak dijelaskan pengelompokan pelanggan tersebut. Tidak ada pasal yang memproteksi atau menjamin rakyat kecil tetap mendapat pasokan listrik dengan harga murah. Pada pasal 3 misalnya, penyediaan tenaga listrik dikuasai negara dan penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dan pemda, berlandaskan prinsip otonomi daerah. Pemda uangnya dari mana untuk penyelenggaraan usaha tersebut kalau bukan dengan menggandeng pihak swasta. Kalau hal ini dilakukan, artinya, TDL bisa ditentukan pihak swasta. Ujung-ujungnya rakyat pun akan merasakan tarif dasar listrik yang mahal.

Kalangan dalam di PLN sendiri mengkhawatirkan kondisi tersebut. Maka sebelum UU ini disahkan, aksi demo yang dilakukan Serikat Pekerja (SP) PLN serta organisasi pendukungnya, dilakukan secara besar-besaran, menolak pengesahan UU Ketenagalistrikan tersebut.

Aksi yang sama juga dilakukan Komite Solidaritas Nasional, yang terdiri atas Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (SP BUMN), Indonesian Corruption Watch (ICW), dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka menyatakan penolakannya terhadap UU Ketenagalistrikan.

Meski demikian, kita berharap, apa yang dikatakan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, bahwa UU Ketenagalistrikan yang baru akan memberikan tarif yang sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat, bisa lebih ditegaskan oleh peraturan daerah. Tentunya para pegiat sosial diharapkan juga benar-benar berpihak pada rakyat kecil dan bisa menjadi anjing penjaga (watch dog) untuk tetap mengawal TDL yang berpihak pada rakyat kecil.

Bagaimanapun, dengan adanya UU tersebut, keterlibatan pihak swasta dalam usaha penyediaan dan penjualan listrik akan semakin besar. Pemda, seperti kita tahu, untuk mengurus masalah tunjangan daerah guru saja, banyak yang mengalami kesulitan, apalagi untuk berinvestasi di bidang ketenagalistrikan. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar