Welcome


Sabtu, 12 Desember 2009

Rumah Dinas DPRD

JADI anggota DPRD itu memang tidak mudah. Mereka perlu perjuangan baik moril maupun materil. Mereka harus mau merendah-rendah kepada masyarakat, bahkan tetangga, yang sebelumnya tidak pernah disapa, agar bersedia memilihnya. Tak jarang, puluhan juta uang mereka tebarkan kepada masyarakat agar memilihnya.

Maka, ketika mereka sekarang jadi, sepertinya ada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi terlepas karena alasan aturan hukum. Seperti yang sekarang sedang hangat, masalah perumahan untuk 100 anggota DPRD Jabar. Para wakil rakyat yang belum lama dilantik ini menolak mengisi perumahan yang ada, mereka menginginkan disediakan perumahan di Kota Bandung, paling tidak menyewa.

Namun masalahnya, untuk menyewakan rumah anggota DPRD Jabar tentu tidak seperti rumah-rumah untuk korban gempa bumi di Kec. Pangalengan, yang kata Bupati Bandung cukup rata-rata Rp 1 juta/tahun. Atau rumah-rumah untuk guru, buruh pabrik yang tentu tidak akan lebih dari Rp 5 juta/tahun. Untuk tunjangan rumah periode September-Desember 2009 saja disediakan Rp 7,5 juta/bulan. Atau dalam empat bulan mereka menerima tunjangan perumahan Rp 30 juta. Alasan pemberian tunjangan ini karena rumah-rumah dinas yang di Cimahi belum bisa ditempati.

Kita tentu merasa prihatin karena momennya bersamaan dengan keprihatinan-keprihatinan yang tengah mendera masyarakat di berbagai pelosok di Jawa Barat. Gempa bumi yang belum lama ini mengguncang, telah menghancurkan ratusan rumah di berbagai pelosok, sehingga mengakibatkan masyarakat korban gempa hingga sekarang masih tidur di tenda-tenda. Begitu juga anak-anak sekolah yang pada Rabu, 30 September 2009 nanti sudah harus masuk sekolah di lokasi gempa, masih banyak yang belum disiapkan secara maksimal. Karena selain tenda-tenda, tentu sarana belajar bagi mereka juga sangat diperlukan.

Kita juga sangat prihatin, permintaan anggota dewan untuk sewa rumah sebesar Rp 150 juta itu sangat menyakitkan hati para guru honorer di Kota Bandung yang Lebaran kemarin terpaksa gigit jari. Tunjangan yang mereka nantikan selama delapan bulan ini tak kunjung cair karena terkendala payung hukum. Berdasarkan Permendagri No. 13/2006, pemerintah daerah dilarang memberikan tunjangan pada pegawai non-PNS. "Kami kecewa dan berkabung, tunjangan bagi honorer tak bisa cair," ujar Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer Kota Bandung, Tia Irawan, Rabu (16/9).

Alasan tidak cairnya tunjangan guru honorer itu karena terganjal PP 48/2008, Permendagri 13/2006, dan Permendagri 59/2007. Asal tahu saja, penantian mereka selama delapan bulan itu hanya untuk berharap tunjangan sebesar Rp 200 ribu/bulan atau kalau dirapelkan selama delapan bulan hanyalah Rp 1,6 juta. Masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan perumahan para anggota DPRD Jabar.

Hilangnya sense of crisis para wakil rakyat ini tentu akan menimbulkan sebuah perasaan kolektif di masyarakat, bahwa memilih wakil rakyat yang telah mereka lakukan pada pemilu lalu, ternyata hanyalah ajang pembodohan. Nilai uang yang mereka terima ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan fasilitas yang diterima para wakil rakyat itu. (Senin, 28 September 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar