Welcome


Kamis, 14 Mei 2009

Seribu Pelanggaran



KALAU melihat banyaknya pelanggaran yang terjadi selama berlangsungnya masa kampanye dan pelaksanaan Pemilu 2009 di Jawa Barat, mengindikansikan betapa pemilu kali ini yang tersulit. Karena seperti diungkapkan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Daerah Jawa Barat, Mahi M. Hikmat, pihaknya menemukan 1.000 pelanggaran.

Dari jumlah tersebut, kata Mahi, 600 pelanggaran di antaranya terindikasi pelanggaran pidana. Namun, tukasnya, ke-600 pelanggaran tersebut ada yang gugur saat diplenokan di panwaslu atau di gerakan hukum terpadu (gakumku) karena tidak cukup bukti. Meski demikian, 9 pelanggaran di antaranya berlanjut hingga ke pengadilan dan sudah divonis. Di antaranya 3 kasus di Kab. Tasikmalaya, yakni money politics, kampanye di luar jadwal, dan kampanye di masjid. Di Sumedang money politics dan di Subang serta Cianjur kampanye di tempat pendidikan dll.

Dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 126 (2) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) Dalam pelaksanaan kampanye Pemilu Bawaslu melakukan: a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana pemilu dimaksud kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.

Penyelesaian apa pun yang dilakukan, bahkan yang tidak diselesaikan sekalipun namun kalau mengacu pada statistik yang ada, jumlah laporan yang diterima Panwaslu Jabar, diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Pada Pemilu 1999, dari jumlah pelanggaran yang ada, kategori pelanggaran yang menonjol secara kuantitatif maupun kualitatif adalah kekerasan terhadap parpol lain, termasuk di dalamnya adalah upaya intimidasi terhadap calon pemilih untuk memberikan suaranya pada parpol tertentu maupun penyogokan (money politics).

Saat itu, dengan daerah pemilihan yang sangat luas, pengerahan massa saat kampanye seolah menjadi hal wajib dan kekerasan fisik dan simbolis pun terus melekat bersamanya. Hasilnya, Panwas pada Pemilu 1999 dan 2004, misalnya, mencatat bahwa pelanggaran terbanyak pada masa kampanye terjadi karena pengerahan dan pawai massa, pemasangan atribut parpol pada tempat yang tidak semestinya, perusakan atribut parpol lain. Panwas dalam laporannya juga menyatakan bahwa Panwas maupun aparat Kepolisian Negara RI memilih tidak menindak secara ketat karena dikhawatirkan justru menyebabkan kondisi semakin parah.

Itu untuk pelanggaran pidana. Problem lain, kejelasan mekanisme standar penanganan pelanggaran administratif di KPU. Padahal tanpa ada mekanisme baku, selain akan menyulitkan penyelesaiannya, keputusan KPU pun bisa beragam, tidak standar bergantung pada penafsiran masing-masing. Tanpa tindakan yang menimbulkan efek jera, pelaksanaan pemilu ke depan tetap akan diwarnai oleh banyaknya pelanggaran. **


Tidak ada komentar:

Posting Komentar