Welcome


Rabu, 27 Januari 2010

Buruh

HUBUNGAN buruh dan majikan kadangkala ada dalam situasi yang pelik, terutama bila perusahaan menganggap buruh hanyalah instrumen produksi. Hal ini kerap menyebabkan keberadaan buruh kurang dihargai, sehingga upah, hak cuti, hak atas jaminan keselamatan, dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang diabaikan.

Barangkali itulah yang membuat ratusan buruh di Kota Cimahi dan Kab. Bandung, Senin (25/1), mengadukan nasibnya ke wakil mereka yang ada di gedung DPRD. Mereka umumnya meminta bantuan dewan untuk memfasilitasi pertemuan dengan pengusaha dalam menyelesaikan masalah perburuhan yang berlarut-larut.

Pemerintah sebetulnya sudah mengatur hubungan kerja antara buruh dan pengusaha melalui lembaga bipartit. Buruh biasanya diwakili unit organisasi buruh yang ada di perusahaan dan perusahaan diwakili manajer SDM. Namun, tidak jarang perundingan bipartit ini tidak mencapai titik temu manakala buruh tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan.

Ironisnya, ketika masalah ini diadukan ke instansi yang seharusnya membela buruh, malah buruhnya sendiri diperdaya dengan menjustifikasi kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan. Alasan umumnya untuk menjaga kelangsungan usaha dan kelangsungan pekerjaan para buruh. Jarang sekali instansi yang seharusnya membela buruh ini bersikap tegas meminta perusahaan untuk mengajukan penangguhan hak-hak buruh, termasuk upah minimum sebagaimana yang ditetapkan pemerintah.

"Perlindungan" yang diberikan kepada perusahaan tidak jarang menimbulkan sikap kesewenang-wenangan dari pengusaha. Seperti yang dialami buruh Cimahi yang mendatangi gedung DPRD setempat, Senin lalu, karena pengusaha dengan seenaknya mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat. Bahkan di Kab. Bandung, sebagaimana dikeluhkan buruh yang demo pada hari yang sama, sebuah perusahaan dengan seenaknya membayar upah buruh Rp 180.000/minggu atau hanya Rp 720.000/bulan. Itu masih mendingan karena ada lagi perusahaan garmen di Jalan Raya Laswi, Jelekong, yang buruhnya ratusan, hanya membayar upah Rp 100.000/minggu atau hanya Rp 400.000/bulan untuk pekerja pemula. Padahal jam kerja mereka melampaui batas jam kerja yang diatur UU Ketenagakerjaan.

Bahkan di sebuah industri sepatu besar bermerek internasional di Jln. Gedebage Bandung, buruh mereka "dijatah" uang kesehatan hanya sekitar Rp 8.500. Kalau mereka berobat ke balai pengobatan yang ada di pabrik untuk obat dan pemeriksaan medis hanya diberi jatah sebesar itu.

Semua ini tentu karena pengawasan yang dilakukan instansi yang berwenang, terutama Disnakertrans lemah. Kita yakin, kalau petugas di Disnakertrans, khususnya yang membidangi pengawasan bisa bekerja profesional dan proporsional, tentu akan menjadi amunisi yang sangat berarti bagi perubahan kesejahteraan buruh kita. (Rabu, 27 Januari 2010)**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar