Welcome


Minggu, 03 Januari 2010

Bea Masuk

MULAI Januari 2010 ini, Indonesia harus ikut mengimplementasikan hasil kesepakatan yang tertuang dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Isinya antara lain penurunan tarif bea masuk yang semula 20% (2005) turun menjadi 12% (2007), kemudian 5% (2009), dan 0% (2010). Konsekuensinya, produk indonesia yang masuk dalam daftar kesepakatan itu harus mampu bersaing dengan produk dari luar.

Manfaat dari kesepakatan tersebut, sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang telah ditandatangani bersama, khusus untuk sektor pertanian antara lain: (a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea masuk di negara RRC, yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerja sama investasi; (c) kerja sama ekonomi melalui kerja sama peningkatan capacity building.

Di samping manfaat di atas, mengingat pengelolaan produksi pertanian oleh petani RRC sudah maju dan sangat efisien, pemerintah dan para pelaku usaha agrobisnis Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan daya saing komoditas, khususnya untuk produk sayuran dan buah-buahan.

Namun implementasinya di lapangan tidaklah mudah. Sejak April 2006, perusahaan ekspor buah-buahan nasional, PT Friendship Prima telah melayangkan komplain karena adanya penolakan ekspor produk pepaya, mangga, dan salak oleh Kepabeanan RRC. Alasannya Indonesia hanya diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Produk pertanian termasuk komoditas yang ada dalam kesepakatan itu.

Pada konsultasi bilateral RI-RRC di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak Cina atas penolakan ekspor buah-buahan tersebut. Tapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang.

Selain masalah tersebut, yang paling krusial adalah dorongan pemerintah untuk ikut membantu para petani dan produsen dalam menekan biaya produksi. Mustahil pengusaha kita bisa bersaing kalau ekonomi biaya tinggi masih terus berjalan dan tingkat suku bunga perbankan masih tinggi. Sebagai perbandingan, di Cina tingkat suku bunga pinjaman hanya 4-6% per tahun, sementara di Indonesia 14-16% per tahun.

Selain itu, tentunya pemerintah juga bisa mengeluarkan regulasi lainnya, yang mendorong pengusaha Indonesia lebih kompetitif dalam menjual produknya. Kalau tidak demikian, tentu tidak adil karena para pengusaha Indonesia harus menghadapi dua musuh. Musuh di dalam negeri dan serangan dari luar negeri. Berat tentunya bagi mereka untuk tetap bisa bertahan dan kalau pengusaha kita kalah dalam persaingan keras pada tahun 2010 ini, artinya bakal muncul permasalahan baru, yakni jutaan pekerja kita yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tentu upaya pemerintah untuk membuka jutaan lapangan kerja seperti mengukir di atas air alias sia-sia.(Sabtu, 02 Januari 2010) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar