Welcome


Kamis, 31 Desember 2009

Sang Pluralis

SEORANG pengamat asing memandang, Indonesia tidak akan pernah mendapatkan figur pemimpin yang seperti K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam 100 tahun ke depan. Dr. Larry Marshal dari La Trobe University, Australia, menyebut Gus Dur sebagai pemikir cemerlang yang memiliki pandangan luas. Marshal bahkan sangsi Indonesia bisa melahirkan pemikir-aktivis seperti Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. Apresiasi dan pujian dari masyarakat intelektual dunia ini bukan sekali ini saja. Gus Dur kerap menerima sejumlah penghargaan dari banyak lembaga internasional yang bersimpati terhadap perjuangannya selama ini.

Dalam konferensi tahunan ketujuh yang diadakan Globalization for The Common Good, From The Middle East to Asia Facific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions, 30 Juni-3 Juli 2008, di Melbourne, Australia, para peserta dan pembicara yang berasal dari universitas-universitas terkemuka pelbagai negara ini hampir selalu menyebut Gus Dur sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.

Bahkan, Prof. Muddathir Abdel-Rahim dari International Institute of Islamic Thought and Civilization Malaysia, menunjuk Gus Dur sebagai sosok yang berhasil membalik prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam yang cenderung dipersepsi tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian. Prof. Abdullah Saeed dari The University of Melbourne juga mengakui posisi penting Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal Alquran. Dr. Natalie Mobini Kesheh dari Australian Baha'i Community mengatakan, satu-satunya pemimpin Islam dunia yang begitu akomodatif terhadap komunitas Baha'i adalah Gus Dur. Prof. James Haire dari Charles Stuart University, New South Wales, berkali-kali memberi pujian kepada mantan Presiden Republik Indonesia yang ia nilai paling gigih dalam memberi perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Di sisi lain, khususnya di dalam negeri, Gus Dur adalah tokoh yang pernyataan-pernyataannya kerap mengundang kontroversi. Di satu sisi ia mengedepankan sekularisme, tapi di sisi lain ia habis-habisan menunggangi simbol-simbol keagamaan seperti pesantren, ke-kiai-annya, atau ke-Gus-annya. Di sana-sini ia berteriak agar jangan terlalu mengeksploitasi hukum Islam dalam kehidupan berbangsa yang pluralis. Namun ketika ada yang hendak melengserkannya dari kursi kepresidenan, tiba-tiba muncul istilah "fikih dalam menghadapi makar terhadap pemimpin umat". Tiba-tiba saja ayat-ayat Alquran digunakan untuk mengecam orang-orang yang hendak menjatuhkan dirinya. Tapi, itulah Gus Dur.

Sebagai politisi dan pejuang hak asasi manusia (HAM), Gus Dur memang manusia yang sangat langka. Dan, kemampuannya melakukan pembedaan secara jernih mengenai posisinya itu adalah sesuatu yang mengagumkan. Perjuangannya untuk tetap membela hak-hak minoritas tak pernah surut kendati tampak tidak menguntungkan secara politik. Ketika kebanyakan politisi angkat tangan dan bungkam terhadap kasus minoritas Ahmadiyah, Gus Dur justru tampil di garda depan sebagai pembela hak-haknya. Selamat jalan Gus....(Kamis, 31 Desember 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar