Welcome


Minggu, 07 Februari 2010

Jual Bayi

KALAU boleh menyarankan kepada para janin yang akan lahir, hati-hatilah memilih rahim orang Indonesia. Sekarang ini sedang terjadi gejala aneh. Jangan-jangan kamu sedang dijadikan komoditas ibumu. Begitu lahir, ibumu akan mencari pembeli dan kalian pun berpisah. Besok-besoknya, ibumu kembali berpikir untuk membuat bayi seperti kamu lagi.

Seperti yang dilakukan seorang ibu di Tasikmalaya yang Jumat (15/1) lalu menjual bayi perempuannya yang baru berusia lima bulan seharga Rp 3 juta kepada seorang istri anggota DPRD setempat. Siti Hasanah, ibu kandung sang bayi, mengaku terpaksa menjual anaknya, Elsa, karena lilitan ekonomi.

Di Bandung, transaksinya lebih murah lagi. Seorang ibu muda, Ida Hamidah (23), warga Gg. Blok Beas RT 04/RW 05 Kel. Caringin, Kec. Bandung Kulon, menjual anak kandungnya usia 9 bulan, Diva Naibaho seharga Rp 500 ribu. Seperti juga Siti Hasanah, Ida menjual buah hatinya itu karena alasan ekonomi.

Kemiskinan bagi sebagian masyarakat kita demikian telah memorakporandakan sisi kemanusiaan yang seharusnya dipelihara. Anak yang sejatinya investasi yang harus ditumbuhkembangkan orangtua dan bisa menjadi penolong di hari tua, dicerabut untuk kepentingan sesaat. Daya tahan hidup orangtua demikian lemah sehingga tega memisahkan dirinya dengan belahan jiwanya.

Kalau sampai kecederungan ini tidak segera diatasi, jangan-jangan nanti malah berkembang menjadi usaha baru, di mana posisi wanita yang tega menjual anaknya menjadi sebuah alat produksi. Karena merasakan keuntungan ekonomi dari menjual bayi tersebut, ia akan melakukan dan melakukannya lagi. Naudzubillahimindzalik!

Kita faham, ini bukan hanya masalah orangtua, namun juga masalah pemeritah. Karena sebagaimana diatur dalam UUD'45 pada pasal 34 ayat 1, fakir miskin dan anak - anak telantar dipelihara oleh negara. UUD 1945 pasal 34 ayat 1 tersebut mempunyai makna bahwa negara bertanggung jawab untuk membantu fakir miskin untuk lebih berdaya, dan orangtua yang tak mampu memelihara anaknya karena alasan kemiskinan, bisa dibantu oleh negara. Representasi dari negara, tentu pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui berbagai jaminan sosial dan kesehatan.

Atau jangan-jangan penyelenggara negara mengartikannya dengan cara lain. Seperti sebuah anekdot berikut ini.

Utusan dari PBB datang untuk meninjau keadaan anak-anak miskin di Indonesia. Setelah melihat kondisi yang memprihatinkan dan jumlahnya yang banyak, utusan itu mengusap dada dan bertanya kepada utusan pemerintah yang menemuinya. "Bagaimana tanggung jawab pemerintah saat ini? Bagaimana mungkin begitu banyak anak-anak miskin dan telantar di negeri yang besar ini? Bagaimana pemerintah merealisasikan undang-undang tentang pemeliharaan anak telantar?"

Dengan tenang, utusan pemerintah menjawab, "Undang-undang itu mengatakan bahwa anak-anak miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Undang-undang itu tidak mengatakan tanggung jawab negara. Jadi mereka semua ya, dipelihara saja". Nah! Sabtu, 30 Januari 2010**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar