Welcome


Minggu, 13 Desember 2009

"Membudidayakan" Korupsi

DALAM pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Unpad, Jumat (11/12), Sjahruddin Rasul
mengatakan, Corruption Perception Index (CPI) atau Indek Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia menurut Transparansi Internasional menun
jukan ada kenaikan skor 0,2 dari sebelumnya 2,6 menjadi 2,8.
Kenaikan angka ini memang belum ada apa-apanya karena dari 180
negara yang di survei, IPK Indonesia masih bercokol di urutan
111.
Kita menyadari, penegakan hukum untuk membahas tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini, terbukti
mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa, melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta
bebas.
Sehingga lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK seka
rang ini menjadi satu-satunya harapan masyarakat Indonesia yang
menginginkan Indonesia bersih dari korupsi dan naik urutan IPK-
nya.
Tidak mudah memang memberantas korupsi di Indonesia. Bahkan
terkesan di lembaga-lembaga tertentu sengaja tetap dipelihara
bahkan di "budidayakan". Bahkan cara orang berkorupsi pun semakin
hari kemampuannya semakin meningkat.
Ini salah cerita dari kalangan para kepala sekolah. Hasil audit
BOS dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagian sekolah ada
catatan yang harus dibetulkan dalam laporan keuangannya, dan
sebagian yang lain lolos. Namun ketika manajer BOS setempat
melakukan pemeriksaan, banyak catatan yang menyebutkan adanya
penyimpangan. Ujung-ujungnya, semua sekolah diminta
mengumpukan dana 10% ke manajer BOS - tidak melalui rekening
BPK - untuk mengurus masalah tersebut. Hebatnya, semua kepala
sekolah dikumpulkan disebuah sekolah, kemudian semuanya harus
membuat pernyataan diatas materai bahwa tidak ada pungutan
tersebut. Hal ini bisa terjadi kenapa? Ada intimidasi.
Cerita lain, saat Penerimaan Siswa Baru (PSB) tahun 2009/2010,
petunjuk pelaksanaan (Juklak) PSB belum keluar dari kepala daer
ah. Sehingga, aturan larangan memungut uang dari para orang tua
siswa masih kabur. Sejumlah komite sekolah tetap mengajak orang
tua siswa untuk membayar dana sumbangan pendidikan bulanan
(DSPB) dan dana sumbangan pendidikan tahunan (DSPT). Ketika
Juklak PSB keluar, kepala dinas pendidikan setempat, menghimbau
sekolah untuk tidak melakukan pungutan apapun kepada orang tua
siswa.
Pungutan yang sudah terlanjur dirapatkan, tetap berjalan. Aturan
nya semua pungutan harus dikembalikan. Lalu dananya kemana? Raib,
dan tak jelas pertanggungjawabannya. Bahkan, banyak komite seko
lah yang juga tidak tahu penggunaan dana tersebut. Ketika ada
pemeriksaan baik dari BPK atau kejaksaan, kepala sekolah yang
paling panik.
Korupsi, semakin hari semakin canggih. Hal ini tentunya karena
lemahnya para penegak hukum, terutama yang tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) memberantas korupsi. Selama mereka masih mau
menerima uang dari koruptor, tentu korupsi akan terus berkembang,
karena mereka bisa menjadi mesin ATM, dan terus di-"budidayakan".
(Senin, 14 Desember 2009)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar