Welcome


Selasa, 15 Desember 2009

Putusan MA





HINGGA hari ini, pemerintah masih belum mengambil keputusan jadi-tidaknya ujian nasional (UN) dilaksanakan. Sikap mengambang ini jelas menggusarkan berbagai pihak, baik yang pro pelaksanaan UN maupun yang menolak. Pihak yang pro butuh kepastian hukum untuk lebih menyiapkan pelaksanaan UN tersebut. Sementara yang kontra, tentu akan melakukan tekanan yang lebih keras agar UN tidak jadi dilaksanakan.

Bahkan Ketua Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip), Yanti Sriyulianti meminta agar Mahkamah Agung (MA) segera melakukan eksekusi atas dikabulkannya permohonan ditolaknya UN sebagai penentu kelulusan siswa di sekolah. Hal itu perlu dilakukan agar hak atas perlindungan anak dapat diwujudkan.

Sebagai salah satu penggugat atas penolakan UN yang dimenangkan oleh MA, Yanti mengatakan salah satunya adalah dengan segera meminta salinan keputusan MA. Sebab, saat ini pihaknya belum menerima salinan atas MA tersebut.

MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu diputus pada 14 September 2009. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan Kristiono dkk.

Dalam isi putusan ini, para tegugat yakni presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Atas dikabulkannya gugatan itu, penggugat yang menamakan diri Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Education Forum mendesak pemerintah mematuhi putusan MA tersebut.

Dengan ditolaknya kasasi yang diajukan pemerintah, maka Presiden RI harus merevisi kebijakan UN dengan menghapusnya sebagai syarat utama kelulusan. Mendiknas diminta membangun sistem pendidikan yang lebih baik jika UN ditiadakan dengan putusan kasasi MA ini.

Tentu sangatlah tidak adil kalau pendidikan yang ditempuh para siswa selama tiga tahun gagal hanya karena satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN tidak lulus. Hal ini bukan hanya mengusik rasa keadilan dalam pelaksanaan UN, tapi juga merupakan ketidakkadilan dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Karena, tidak sedikit sekolah-sekolah yang standar kualitas pendidikannya dibawah namun hasil UN-nya bisa melampaui sekolah-sekolah favorit.

Kalau sampai UN ini jadi dihapuskan, tentu kita berharap ada metode lain yang bisa mengukur standar kualitas hasil pendidikan siswa yang lebih baik. Artinya, para siswa dari sekolah-sekolah yang menerapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang lebih baik akan mendapatkan peluang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih baik pula. Tidak seperti sekarang, para siswa dari sekolah-sekolah yang bermutu gagal mendapatkan pendidikan di jenjang selanjutnya karena terjegal hasil UN.

Pendidikan hakikatnya adalah menciptakan manusia yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Maka, harus dipikirkan pula proses yang lebih baik dan adil agar memberikan kesempatan yang sama untuk para siswa, terutama yang berkualitas.
(Selasa, 15 Desember 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar