Welcome


Rabu, 16 Desember 2009

Anggota DPRD


TIDAK sedikit anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang makmak-mekmek saat duduk di kursi dewan dan tidak memperhitungkan bakal kembali ke asal. Ketua DPC PDI Perjuangan Kab. Bandung, H. Yadi Srimulyadi menceritakan, ada mantan anggota dewan yang saat tidak terpilih lagi, hidupnya terpuruk. Kebiasaan hidup dengan ekonomi biaya tinggi terbawa-bawa. Sehingga cepat menguras kekayaan yang didapatnya selama menjadi anggota dewan. Ia pun hidup sebagai tukang ojek.

Bahkan, katanya, ada juga anggota dewan yang menjadi salah satu petinggi di eksekutif, yang ketika tidak terpilih lagi, dengan cepat hidupnya terpuruk. Bahkan pulang kampung dan menjadi buruh.

Posisi sebagai anggota dewan memang amanah. Ketika mereka tidak bisa menjaga amanah yang diemban sebagai wakil rakyat, bahkan lupa daratan, maka ketika kembali ke masyarakat seperti orang yang terjatuh dari ketinggian. Rasa hormat kepadanya hilang, ucapannya menjadi bahan cibiran.

Memang kehidupan sebagai wakil rakyat diimpikan sebagian masyarakat, terutama kader partai. Menurut PP No. 37/2008, untuk provinsi dengan APBD di atas Rp 1,5 triliun, seorang Ketua DPRD dalam satu bulan mendapat gaji maksimum Rp 32.250.250, Wakil Ketua Rp 22.787.500, dan anggota Rp 12.862.000. Sedangkan untuk kabupaten/kota dengan APBD di atas Rp 500 miliar, seorang Ketua DPRD mendapat gaji Rp 24.721.375 per bulan, wakil ketua Rp 17.677.450 per bulan, dan anggota Rp 10.624.600 per bulan.

Itu belum seberapa tentunya, karena masih ada fasilitas dan tunjangan-tunjangan lainnya. Seperti yang sekarang dinikmati anggota DPRD Kota Bandung, yang tengah melakukan perjalanan ke Laos, Kamboja dan beberapa kota besar di Indonesia. Begitu pula 100 anggota DPRD Provinsi Jabar yang sebentar lagi akan menikmati mobil inventaris dengan anggaran Rp 16 miliar. Namun apakah pendapatan dan fasilitas yang mereka nikmati itu sudah seimbang dengan keringat yang mereka keluarkan?

Kerapkali dalam perjalanan yang dilakukan anggota dewan, yang dibungkus dengan program studi banding, ketika pulang tidak membawa "oleh-oleh" hasil studi bandingnya itu. Pada sebuah perusahaan swasta yang berkembang, seorang karyawan yang mengikuti seminar atau studi banding ke perusahaan lain, harus menularkan ilmunya kepada karyawan yang lain melalui presentasi yang didisajikan dan didiskusikan, agar memiliki visi yang sama terhadap sebuah permasalahan yang berkembang. Sehingga divisi tersebut memiliki pemahaman yang sama. Di lingkungan dewan, hasil kunjungan jarang yang dipresentasikan kepada anggota dewan lainnya.

Begitu pula dalam kunjungan anggota dewan, jarang, bahkan hampir tidak pernah mengajak objek yang menjadi perhatiannya. Misalnya studi banding mengenai pedagang kaki lima (PKL), tak pernah mengajak koordinator PKL itu sendiri. Begitu pula studi banding mengenai pendidikan, yang diajak kepala sekolah, komite sekolah sebagai representasi dari masyarakat jarang diajak. Sehingga kerap terjadi, hasil studi banding hanya di tataran konsep dan susah diimplementasikan.
(Rabu, 16 Desember 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar