Welcome


Kamis, 23 April 2009

Korupsi Berjemaah



MANTAN Ketua DPRD Kota Bogor periode 1999-2004, H. Moch Sahid, Selasa (14/4), dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Paledang oleh kejaksaan negeri setempat. Sahid didakwa telah melakukan "korupsi berjemaah" APBD 2002 dengan total senilai Rp 8,3 miliar. Ia diganjar hukuman 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 3 bulan, dan uang pengganti Rp 183 juta.

Potensi terjadinya korupsi seperti ini tentu bukan hanya di Kota Bogor. Di daerah-daerah lainnya pun demikian. Bahkan di Kab. Bandung, seluruh anggota DPRD sudah dipanggil Polda Jabar atas dugaan kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos). Mereka diperiksa November 2008 terkait kasus dugaan korupsi dana bansos tahun anggaran 2005/2006 bernilai puluhan miliar rupiah.

Pemeriksaan kepada anggota dewan tersebut terkait dengan penganggaran dana bansos APBD Pemkab Bandung, pengajuan proposal dana bansos dari DPRD ke Pemkab Bandung, dan proses pencairan dana tersebut. Namun, sampai sekarang kasus tersebut seperti tenggelam dan tidak ada perkembangannya.

Begitu pula di Subang, Kepala Bagian Sosial Pemkab Subang, H.E. Kusdinar kepada koran ini pernah mengatakan, dana bantuan yang berasal dari APBD murni tahun 2008 dengan total Rp 35 miliar itu sasarannya untuk berbagai kegiatan yang bersifat membantu masyarakat, seperti peningkatan ekonomi kerakyatan, pembangunan sarana ibadah, pembangunan sarana pendidikan, hingga pendirian lembaga perkreditan rakyat. Namun setelah dana tersalurkan, baru sebagian yang telah menyerahkan SPJ. Sebagian besar lagi malah tidak ada kabar beritanya.

Selain dana sosial yang sangat rawan menimbulkan korupsi berjemaah, juga di antaranya dana yang digulirkan Depdiknas dalam bentuk block grant sebesar Rp 374,55 miliar secara nasional; Depag, dalam bentuk tunjangan fungsional guru sebesar Rp 62,12 miliar; guliran dana BOS KITA -dalam bentuk potongan-potongan jual dedet barang oleh oknum di instansi Disdik, dll.

Korupsi, menurut catatan Ayip Rosidi, memang sudah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Pada periode 1945-1950 dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (a.l. Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lubis (a.l. Maut dan Cinta), kita baca tentang orang-orang yang mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.

Pada tahun 1950-an, korupsi tetap dilakukan orang. Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1954 menulis roman Korupsi, yang mengisahkan PNS yang melakukan korupsi secara kecil-kecilan.

Pada masa demokrasi terpimpin, korupsi kian marak, tetapi yang diseret ke pengadilan hampir tidak ada, atau kalau ada pun dibebaskan atau dijatuhi hukuman ringan saja, sehingga di kalangan rakyat lahir pemeo: maling ayam dihukum tiga bulan, tapi kalau maling duit negara jutaan, bebas. Pada waktu itu rakyat mengartikan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menjadi, kasih uang habis perkara!

Dan pada masa Orde Baru, Presiden Suharto sengaja memberi gaji yang kecil kepada PNS, tetapi menberikan kesempatan untuk korupsi melalui proyek-proyek yang disediakannya, supaya semua pegawai negeri dan jajarannya (termasuk tentara dan polisi), dapat melakukan korupsi.

Pada masa reformasi, korupsi bukannya berkurang, melainkan merebak ke daerah-daerah. Dengan adanya undang-undang otonomi daerah, para pejabat daerah (eksekutif, legislatif, yudikatif termasuk polisi) merasa mendapat giliran untuk mempraktikkan ilmu korupsi berjemaah yang dicontohkan pemerintahan Orde Baru. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar