Welcome


Selasa, 22 Desember 2009

Lagi, Tentang PKL

KEMBALI kericuhan "kecil" mewarnai penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bandung, Senin (21/12). Antara petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan sejumlah PKL nyaris terjadi baku hantam. Penertiban PKL itu nyaris ricuh karena sejumlah pedagang menolak barangnya dibawa petugas Satpol PP.

Kota Bandung memiliki catatan buruk soal penertiban PKL yang berujung pada kerusuhan massa, yakni yang terjadi di kawasan Alun-alun dan Jln. A. Yani beberapa tahun lalu. Pola penanganan konvensional seperti ini seharusnya bisa ditinggalkan, diganti dengan cara-cara yang lebih manusiawi.

Masyarakat, khususnya para PKL di Kota Bandung tadinya berharap, studi banding yang dilakukan para anggota DPRD dan Wali Kota Bandung ke Solo dan Surabaya Oktober 2009 lalu akan membawa "oleh-oleh" yang membahagiakan. Yakni pola penanganan PKL yang lebih proporsional dan tidak memandang mereka sebagai "sampah kota" yang harus disapu bersih dari kota. Bayangkan, untuk "menyapu bersih" para PKL dan pelanggar Perda K3 lainnya di tujuh titik dalam 10 hari kerja Senin (21/12) hingga Kamis (31/12), kata Kepala Satpol PP Kota Bandung, Ferdi Ligaswara, menghabiskan anggaran operasional 300 juta.

Wali Kota Bandung, Dada Rosada seusai melakukan studi banding ke dua kota tersebut mengatakan, untuk mencegah berjamurnya PKL di Kota Bandung, hanya bisa dilakukan dengan pemberian Bawaku Makmur dan relokasi. Relokasi di Bandung, katanya, tidak mudah, tapi pernah ada yang menawarkan bangunan bioskop di Cicadas yang sudah tidak terpakai untuk dijadikan sebagai penampungan PKL yang ada di trotoar Cicadas.

Sebelumnya 11 anggota Komisi B Kota Bandung ke Batam, kata Iqbal, untuk melihat pola penertiban PKL. Hasilnya, mereka melihat pemerintah setempat juga menyediakan lahan relokasi yang memadai bagi PKL yang jumlahnya mencapai 6.000 itu.

Ironisnya, setelah DPRD dan Wali Kota Bandung melakukan studi banding ke Solo dan Surabaya, DPRD Kota Bandung meminta Wali Kota Dada Rosada lebih berani dan tegas mengatasi masalah PKL dan berapa pun dana yang dibutuhkan akan dikeluarkan oleh dewan.

Seorang anggota dewan mengungkapkan, jumlah PKL yang ada di Surakarta hanya 5.000 orang dan itu jauh berbeda dengan yang ada di Bandung. Jika Bandung harus mengundang seluruh PKL untuk makan bersama, seperti yang dilakukan Wali Kota Solo, tentu tidak mungkin.

Masalahnya bukan itu, konsistensi terhadap aturan harus dijalankan semua jajaran petugas yang bertanggung jawab atas penegakan Perda K3. Mereka harus bisa steril dari uang-uang pemberian para PKL, sehingga bisa lebih berwibawa di mata para PKL. Sejalan dengan itu, lahan-lahan untuk relokasi perlu disediakan karena tidak mungkin menyapu bersih para PKL tanpa memikirkan lahan nafkah untuk mereka. Terlebih dikaitkan dengan Kota Bandung sebagai tujuan wisata belanja, tentu pemerintah harus lebih adil dalam membuka ruang ekonomi, termasuk pada kalangan bawah ini. Terlebih dalam sebuah percakapan, Wali Kota Bandung sendiri pernah mengatakan merasa berutang budi pada para PKL, karena dukungan mereka saat pecalonkannya sebagai Wali Kota Bandung periode kedua ini.(Rabu, 23 Desember 2009) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar