Welcome


Minggu, 12 April 2009

Pendidikan Melalui Penguatan Budaya


Oleh: AEP S. ABDULLAH

SEORANG teman yang juga doktor dalam bidang pendidikan, mengeluhkan begitu memudarnya nilai-nilai budaya kesundaan kita. Di sekolah, katanya, tidak sedikit siswa yang bicaranya kasar, penampilannya tak mencerminkan anak sekolah, kurang hormat pada guru, dll. Dengan agak emosional, ia mempertanyakan hal ini pada pendidik di salah satu sekolah. "Apa di sekolah guru tidak mengajarkan budaya Sunda?" ujarnya agak ketus.

Apa yang dipertanyakan teman saya itu memang tidak salah. Kegiatan budaya, menurut berbagai literatur, merupakan alat penting yang dapat membantu kita untuk menolong anak dan orang dewasa untuk meraih pengalaman dan kompetensi sosial dan emosionalnya suatu kompetensi yang sering terabaikan oleh pendidikan formal. Kompetensi sosial dan emosional tidak hanya penting untuk kesejahteraan anak, tetapi kadang-kadang juga mencegah dan mengurangi kegagalan dan karenanya mencegah perasaan tidak berharga ketika anak tidak berhasil dalam melakukan tugas tertentu atau misalnya memahami semua yang diajarkan di kelas. Namun, bila kegiatan budaya diajarkan sebagai mata pelajaran keterampilan yang diwajibkan oleh kurikulum, bukan atas dasar minat individu siswa, kegiatan budaya juga dapat melahirkan kebosanan serta perasaan gagal.

Jika kita sungguh-sungguh ingin menggunakan kegiatan budaya sebagai alat untuk pertumbuhan dan bukan hanya sebagai orientasi budaya atau aktivitas waktu luang atau rekreasi, kita harus menggunakan alat ini secara saksama dan dengan kesadaran. Oleh karena itu, guru dan pendidik guru, orangtua, artis, dan amatir/sukarelawan harus diberikan penyuluhan tentang bagaimana dan mengapa kegiatan budaya itu sangat penting. Juga otoritas yang bertanggung jawab untuk membuat kurikulum dan mereka yang memberikan dana harus diberikan penyuluhan serupa. Penting untuk menyediakan cukup waktu dan pelatihan yang kompeten di lembaga pendidikan guru, sekolah, dan taman kanak-kanak.

Guru harus melibatkan dirinya ke dalam aktivitas tersebut dan mempunyai pengalaman pribadi sebelum mereka dapat benar-benar memahami dan mengerti bagaimana aktivitas ini "bekerja" dan bagaimana cara menerapkan aktivitas tersebut sebagai alat pendidikan (dan pendidikan kebutuhan khusus).

Guru harus dapat memahami bagaimana mereka dapat menggunakan kegiatan budaya sebagai media untuk membantu anak mengembangkan rasa harga diri dan untuk memperkaya pengalaman mereka dan cakupan belajarnya.

Tidak cukup bagi guru untuk hanya memperoleh pemahaman melalui partisipasi. Guru juga harus belajar untuk menganalisis hakikat kegiatan tersebut dan bagaimana kegiatan ini dapat berdampak pada siswanya.

Oleh karena itu, guru dan para profesional lainnya yang bekerja dengan orang yang berada pada masa pertumbuhan harus diberi kesempatan untuk membuat dirinya memenuhi syarat untuk menggunakan dan menerapkan kegiatan budaya untuk mempromosikan pertumbuhan individu siswa dan untuk mempromosikan proses belajar. Ini bukan hanya sebatas belajar keterampilan dan metode. Guru harus memahami melalui pengalamannya bagaimana kegiatan tersebut dapat berpengaruh dan memicu emosi/perasaan dan rasa harga diri serta kegembiraan karena aktif secara fisik, emosional, intelektual, dan sosial.

Budaya Sunda

Oleh karena itu, menurut pakar pendidikan dan budaya Sunda, Prof. Dr. H. Engkoswa, M.Ed., guru dalam praktik mengajarnya tidak terlepas dari pengimplementasian budaya Sunda di sekolah. Budaya Sunda seharusnya bisa jadi pedoman berperilaku bagi urang sunda. Dalam pandangan hidup urang Sunda, katanya, ada istilah cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher.

Dalam pandangan hidup urang Sunda ini memang terdapat tiga kelompok sistem nilai atau budaya yang sangat berharga yang menjadi karakter dan jati diri orang Sunda, berlandaskan pandangan hidup di atas. Cageur, bageur, dan bener hasil olah hati nurani dan kalbu serta olahraga yang membentuk sikap orang sehat, sehat rohani, dan jasmani.

Kedua, pinter atau cerdas, singer atau terampil, dan maher atau ahli atau profesional yang berlandaskan penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dari yang sederhana sampai kepada yang sangat canggih sebagai bekal hidup mandiri.Pinter, singer, dan maher hasil olah pikir, akal, nalar yang sistematis sebagai dasar kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan khususnya kemandirian dalam bidang ekonomi untuk mencari nafkah atau upah jiwa minimal untuk diri sendiri dan berangsur-angsur menafkahkan sebagian rezekinya kepada orang lain.

Ketiga, moher arti asalnya adalah wanoja yang demplon tetapi sebenarnya adalah nilai lebih atau tambah bagi seseorang yang karena kreativitas terpuji yang bernilai indah atau seni yang patut dihargai atau diganjar dengan penghargaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar